Pangkalan Bun (Antara Megapolitan) - Sejumlah transmigran di Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT) Kumai Seberang, Kotawaringin Barat, Kalteng, Seberang, meminta hak lahan usaha II seluas masing-masing satu hektare agar dibagikan karena sudah 10 tahun mereka bermukim di sana.
"Semua lahan usaha II milik trasmigran seluas 275 hektare telah ditanami sawit oleh PT ASMR yang kesepakatan semula kami dijadikan plasma. Namun sekarang sawit sudah berbuah, lahan itu belum juga dibagikan," kata Basirun (53) di Kumai Seberang, Senin.
Transmigran asal Cilacap itu mengakui salah satu masalahnya adalah adanya 35 hektare lahan II itu yang diklaim dari warga setempat, tetapi sisanya seharusnya sudah bisa dibagikan, apalagi lahan sejak semula sudah diserahkan kepada pemerintah untuk dijadikan lokasi trasmigrasi.
"Kami perlu kepastian karena lahan usaha satu untuk tanaman pangan tidak bisa diharapkan akibat keasaman yang tinggi," katanya.
Hal senada diungkap Mamat, Ketua Kelompok Tani Transmigran yang mengatakan harapan hidup transmigran hanya pada sawit yang sudah dikerjasamakan dengan PT Andalan Sawit Makmur yang dikenal sebagai PT ASMR.
"Berulang kali, kami gagal panen akibat hama tikus dan kalaupun bisa panen hasilnya justru rugi karena tingkat keasaman lahan sampai 4,5," kata Transmigran asal Bandung Barat itu.
Ia mengungkapkan transmigran sudah didata untuk mendapatkan kartu anggota koperasi plasma dari PT ASMR, tapi tak juga terealisasi.
"Seharusnya karena sudah panen sejak dua tahun lalu, sebagian hasilnya seharusnya jadi hak transmigran karena kesepakatan awalnya saat mereka menggarap, kami akan dijadikan plasma," katanya.
Mereka juga sudah menyampaikan aspirasi ke DPRD setempat, namun ada belum ada titik terang.
Mereka juga berharap dapat segera mendapatkan sertifikat lahan pekarangan dan lahan usaha I karena UPT itu sudah diserahkan ke Pemkab Kotawaringin Barat sejak Desember 2015.
Kepala Bidang Transmigrasi pada Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten, Kotawaringin Barat Syahruni SHut MSi mengatakan, karena UPT transmigrasi itu sudah diserahkan ke Pemda Kobar maka penyelesaiannya ditangani Tim Sengketa Lahan yang ada di bagian Tata Pemerintahan Pemkab Kobar.
Namun, ia menjelaskan kemungkinan solusinya adalah warga lokal yang mengklaim tanah itu akan dijadikan transmigran lokal untuk menggantikan transmigran yang sudah meninggalkan lokasi.
"Ada sekitar 56 kk transmigran yang meninggalkan lokasi dan warga yang mengklaim tanah akan menjadi transmigran pengganti," katanya.
Permukiman Transmigrasi Kumai Seberang mulai ditempati transmigran sejak 2008 sampai dengan tahun 2010 dengan total penempatan 275 kepala keluarga dimana 50 persen transmigran lokal dan 50 persen lainnya berasal dari Pulau Jawa.
Sementara transmigran nonlokal antara lain berasal dari Bekasi, Bandung Barat, Pati, Blora, dan Cilacap.
Pola transmigrasinya adalah tanaman pangan, namun karena lahan tidak cocok ditanami padi dan palawija, sebagian beralih ke tanaman sawit.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2017
"Semua lahan usaha II milik trasmigran seluas 275 hektare telah ditanami sawit oleh PT ASMR yang kesepakatan semula kami dijadikan plasma. Namun sekarang sawit sudah berbuah, lahan itu belum juga dibagikan," kata Basirun (53) di Kumai Seberang, Senin.
Transmigran asal Cilacap itu mengakui salah satu masalahnya adalah adanya 35 hektare lahan II itu yang diklaim dari warga setempat, tetapi sisanya seharusnya sudah bisa dibagikan, apalagi lahan sejak semula sudah diserahkan kepada pemerintah untuk dijadikan lokasi trasmigrasi.
"Kami perlu kepastian karena lahan usaha satu untuk tanaman pangan tidak bisa diharapkan akibat keasaman yang tinggi," katanya.
Hal senada diungkap Mamat, Ketua Kelompok Tani Transmigran yang mengatakan harapan hidup transmigran hanya pada sawit yang sudah dikerjasamakan dengan PT Andalan Sawit Makmur yang dikenal sebagai PT ASMR.
"Berulang kali, kami gagal panen akibat hama tikus dan kalaupun bisa panen hasilnya justru rugi karena tingkat keasaman lahan sampai 4,5," kata Transmigran asal Bandung Barat itu.
Ia mengungkapkan transmigran sudah didata untuk mendapatkan kartu anggota koperasi plasma dari PT ASMR, tapi tak juga terealisasi.
"Seharusnya karena sudah panen sejak dua tahun lalu, sebagian hasilnya seharusnya jadi hak transmigran karena kesepakatan awalnya saat mereka menggarap, kami akan dijadikan plasma," katanya.
Mereka juga sudah menyampaikan aspirasi ke DPRD setempat, namun ada belum ada titik terang.
Mereka juga berharap dapat segera mendapatkan sertifikat lahan pekarangan dan lahan usaha I karena UPT itu sudah diserahkan ke Pemkab Kotawaringin Barat sejak Desember 2015.
Kepala Bidang Transmigrasi pada Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten, Kotawaringin Barat Syahruni SHut MSi mengatakan, karena UPT transmigrasi itu sudah diserahkan ke Pemda Kobar maka penyelesaiannya ditangani Tim Sengketa Lahan yang ada di bagian Tata Pemerintahan Pemkab Kobar.
Namun, ia menjelaskan kemungkinan solusinya adalah warga lokal yang mengklaim tanah itu akan dijadikan transmigran lokal untuk menggantikan transmigran yang sudah meninggalkan lokasi.
"Ada sekitar 56 kk transmigran yang meninggalkan lokasi dan warga yang mengklaim tanah akan menjadi transmigran pengganti," katanya.
Permukiman Transmigrasi Kumai Seberang mulai ditempati transmigran sejak 2008 sampai dengan tahun 2010 dengan total penempatan 275 kepala keluarga dimana 50 persen transmigran lokal dan 50 persen lainnya berasal dari Pulau Jawa.
Sementara transmigran nonlokal antara lain berasal dari Bekasi, Bandung Barat, Pati, Blora, dan Cilacap.
Pola transmigrasinya adalah tanaman pangan, namun karena lahan tidak cocok ditanami padi dan palawija, sebagian beralih ke tanaman sawit.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2017