Bogor (Antara Megapolitan) - Hama belalang Locusta migratoria , telah menyedot perhatian publik Indonesia bahkan dunia. Pada bulan Juni 2017, hama ini  secara mengerikan menyerang semua jenis tanaman mulai jagung, singkong, kelapa, tanaman hutan, pada luasan  beribu hektar di Sumba, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Penampakan yang mengerikan, hingga seperti awan yang siap meluluhlantakkan, terjadi ketika belalang tersebut terbang di areal kebun yang terkenaserangan. Bahkan saking luar biasanya, ledakan hama belalang di Sumba tahun ini menyebabkan gangguan pada penerbangan. Bandara Waingapu sempat ditutup beberapa  hari.

Untuk itu, Institut Pertanian Bogor (IPB) mengirimkan Tim Pakar yang diketuai oleh Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Dr Prastowo dalam Ekspedisi Locusta IPB.

Para pakar yang terdiri dari Dr Hermanu Triwidodo (pakar ekologi serangga), Dr Yayi M. Kusumah (pakar pathogen serangga), Dr. Widodo (Kepala Klinik Tanaman) berada di Sumba sejak tanggal  9-13 Juli 2017.

Di Sumba, Tim melakukan penelitian lapang dan pelatihan untuk petani dan petugas tentang pengendalian belalang yang tidak merusak lingkungan. Penelitian dan pelatihan dilakukan dengan dukungan dosen Universitas Kristen Wirawacana Sumba dan Dinas Pertanian Sumba Timur.  

Dalam kesempatan  tersebut, Kepala LPPM IPB Dr Prastowo menyerahkan biang agens pengendali hayati   serangga seperti Lecanicillium, Beauveria dan Metarhizium kepada Sekda Sumba Timur, untuk diperbanyak. Teknologi ini sebagai salah satu komponen penting pengendalian belalang yang ramah lingkungan.

''Pada awal tahun 2017, peringatan tentang ledakan hama belalang ini sudah disampaikan oleh Dr. Hermanu Triwidodo.  Kami koordinasi  dengan Pemkab Sumba untuk menyusun strategi ke depan agar ledakan hama ini tidak terjadi lagi,'' ujarnya.

Tim IPB melakukan penilaian cepat terhadap kerusakan akibat ledakan hama belalang diantaranya, mengidentifikasi penyebab outbreak dan eksplorasi mikroorganisme yang bisa menjadi  penyakit belalang.

Seperti diketahui di luar negeri, belalang ini efektif dikendalikan dengan cendawan pathogen serangga yaitu Metarhizium anisopliae var. acridum.Namun strain Metarhizium asal belalang tersebut belum ada koleksinya di Indonesia.   

Berbagai lembaga   pertanian dan perkebunan di Indonesia mempunyai koleksi isolate Metarhizium asal kumbang kelapa atau wereng tetapi tidak bisa digunakan untuk pengendalian belalang.  

''Belalang ini seperti manusia juga, yang bisa terkena penyakit. Tim IPB sedang mengembangkan mikroorganisme (penyakit) yang efektif dalam mengendalikan belalang.  Mikroorganisme ini jauh lebih aman terhadap lingkungan dan juga  tidak berbahaya bagi manusia dan ternak,'' terang Dr Yayi M. Kusumah.

Sementara itu, menurut Dr. Hermanu, pengendalian belalang dengan menggunakan insektisida merupakan langkah bunuh diri. Penggunaan insektisida dalam skala yang massif akan mematikan kompleks musuh alami dan serangga berguna, sementara belalang sendiri tidak mati.  

Selanjutnya hal ini akan menimbulkan efek domino yang mengerikan, yaitu ledakan hama lain, serta pencemaran air dan tanah. Anggapan bahwa insektisida merupakan senjata pamungkas harus diluruskan.   

''Pamungkas apanya, wong tidak efektif,'' Kata Dr. Hermanu.

Dengan penelitian lapangan dilanjutkan dengan penggalian kelembagaan yang ada, serta pengembangan di laboratorium Departemen Proteksi Tanaman IPB, harapannya dalam waktu yang singkat bisa disusun strategi yang tepat untuk menangani belalang di NTT pada masa-masa mendatang.  (**/Zul).

Pewarta: Humas IPB

Editor : Naryo


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2017