Perkembangan kondisi sosial politik terhadap penetapan Habib Riziek Syihab sebagai tersangka oleh pihak Polda Metro Jaya. Penetapan tersebut menuai pro dan kontra di tengah-tengah masyarakat, termasuk di kalangan para ulama dan tokoh-tokoh organisasi masyarakat (Ormas) terhadap persoalan tersebut.

KH Misbahul Munir menyatakan, keberaniaan Habib Rizieq Syihab ber "Mubahalah"/ "Mula'anah", inilah cara yang dilakukan beliau ketika pemerintah atau sebahagian masyarakat yang menuduh dirinya, sekalipun secara hukum positif tidak ada kaitannya namun ini menjadi catatan penting bagi kita sebagai ulama untuk sebagai bahan renungan dan juga memberikan pendidikan agar masyarakat tidak suudzon (berperasangka buruk) terhadap ulama.

Menurut KH DR Nur Alam Bakhtir, dalam perspektif Islam terhadap perilaku buruk manusia menurut Imam ar-Razi terbagi tiga : 1). Al-Fahsya (dosanya antara hamba dengan Allah SWT, contohnya berzina, minuman keras), 2). Al-Munkar (antara seorang hamba dengan sesama manusia, contohnya membunuh, mencuri dan mendzolimi orang lain) , dan 3). al-Baghyu (antara seorang hamba dengan dirinya yang melahirkan "Hawa" sehingga dapat merugikan banyak orang contohnya ungkapan Ahok yang menistakan agama Islam).
 Sedangkan Habib Rizieq Syihab dari ketiga hal di atas tidak masuk dalam salah satu kategori tersebut. Oleh karena itu sebagai ulama jangan sampai tergiriring oleh opini publik dengan menjadikan Habib Rizieq Syihab tersudutkan. Apakah ini kasus hukum murni atau ada unsur politik?, Oleh karena itu saya melihat sikap Habib Rizieq Syihab tidak kembali ke Indonesia sebagai "Dar'ul Mafasid Muqoddamun 'alaa jalbil Mashalih" (Menghindari Kerusakan lebih baik daripada mengambil kemaslahatan). Kriminalisasi targetnya bukan untuk diadili tapi untuk ditahan atau dihilangkan. Bisa jadi inipun pengalihan opini karena banyak persoalan bangsa ini, contohnya munculnya paham komunis, ISIS, dan lain-lain. Saya optimistis semua yang tidak benar yang direkayasa manusia maka Allah SWT akan bukakan kebenaran yang sesungguhnya.
 
Dukungan terhadap Rizieq Syihab juga dikemukakan berbagai kalangan tokoh agama, yang intinya antara lain: pertama, penetapan status tersangka Habib Rizieq Syihab oleh Polda Metro Jaya tidak jelas, dalam istilah fiqih ada "Mahkum Fiihi" (Tindakannya) dan "Mahkum' Alaihi" (Pelakunya), jika ada perbuatan dan pelakunya jadi tersangka maka yang melihat atau mempublikasikan harus juga kena delik hukum juga.
 
Kedua, Rizieq Syihab merupakan seorang tokoh yang dapat mempersatukan dan mengumpulkan jutaan ummat Islam, terbukti dengan suksesnya Gerakan Membela Islam 212. Oleh karena itu pihak-pihak yang merasa dirugikan dengan kehadiran dan sepak terjang Habib Rizieq Syihab maka akan dibuat cara bagaimana beliau menjadi buruk di tengah-tengah ummat Islam dengan cara di adu domba. Persoalan Habib Rizieq Syihab sampai mendunia seperti Presiden Turki meminta PBB dan Raja Arab Saudi memberikan tempat perlindungan kepada Habib Rizieq Syihab.

Ketiga, kasus Habib Rizieq Syihab harus dibuktikan dengan fakat-fakta atau bukti-bukti yang kuat, jika tidak maka banyak kalangan akan beranggapan ini adalah politisasi hukum. Persepsi yang berkembang saat ini bahwa penetapan tersangka Habib Rizieq Syihab bernuansa politik.

Keempat, penetapan tersangka Habib Rizieq Syihab sangat kental dengan nuansa politik. Karena ada ketakutan yang sangat tinggi terhadap keberadaan beliau yang bisa mempersatukan ummat Islam.
Sedangkan KH Asif Munawwar berpendapat Indonesia merupakan Negara Hukum maka saya mengusulkan MUI untuk menawarkan untuk rekonsiliasi antar pemerintah dan kubu Habib Rizieq Syihab.

Rekonsiliasi atau Revolusi
   
Dalam pernyataan resminya yang tersebar di Medsos, Rizieq Syihab menyatakan dirinya telah melemparkan ultimatum perjuangan, walaupun ultimatum ini bukan sikap menyerah.

Rekonsiliasi dilakukan dengan syarat stop kriminalisasi ulama dan aktivis; Stop penistaan terhadap agama apapun; Stop penyebaran paham komunisme, Leninisme dan Marxisme serta paham sesat lainnya; Stop kezaliman terhadap rakyat kecil yang lemah dan tidak berdaya; Tidak ada rekonsiliasi tanpa menjunjung tinggi asas musyawarah dan asas proporsionalitas di seluruh aspek dan sektor serta bidang dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Jika syarat-syarat tersebut tidak dapat dipenuhi, maka tidak ada kata lain kecuali revolusi.
    
Yang perlu dijelaskan di sini adalah, selama ini pemerintah tidak melakukan kriminalisasi terhadap ulama dan aktivis, bahkan jika pemerintah dinilai melakukan kriminalisasi ada mekanisme hukum untuk melakukan praperadilan. Upaya yang dilakukan pemerintah semata-mata adalah penegakan hukum dengan prinsip equality before the law, atau intinya semua warga sama kedudukannya di depan hukum.

Statement adanya kriminalisasi terhadap ulama hanyalah propaganda kelompok tertentu untuk tetap memanaskan suasana, sehingga konsentrasi pemerintah menjadi terbelah. Sejauh ini, komunikasi antara pemerintah dengan kalangan ulama dan pemuka agama lainnya berjalan dengan harmonis dan baik. Bahkan, banyak di antara mereka yang mendukung sepenuhnya langkagh-langkah yang diambil pemerintah.

Sementara itu, lembaga survei Indo Barometer merilis hasil survei 'Evaluasi Publik Dua Setengah Tahun Pemerintahan Jokowi-JK'. Hasil survei, mayoritas publik (82%) menyatakan negara sedang bergerak ke arah yang benar, sebesar 5,2% publik masih berpendapat bergerak ke arah yang salah, dan sekitar 12,8% menjawab tidak tahu atau tidak menjawab.

Tingkat kepuasan publik terhadap kinerja Presiden Joko Widodo saat ini sebesar 66,4%, yang tidak puas 32%, dan yang tidak tahu/tidak jawab sebesar 1,6%. Dari hasil survei ini diketahui tingkat keyakinan publik terhadap kemampuan Presiden Jokowi dalam memimpin Indonesia ke depan yang lebih baik juga terbilang cukup. Survei menunjukkan tingkat keyakinan itu berada di angka 69,2%. Untuk publik yang tidak yakin ada 27% dan yang tidak tahu/tidak menjawab sebanyak 3,7%.

Menyimak dari hasil survei di atas, maka kemungkinan adanya revolusi di Indonesia hanyalah isapan jempol dan gertakan politik semata. Apalagi syarat-syarat untuk terjadinya revolusi di Indonesia tidak terpenuhi sama sekali.

*) Penulis adalah pemerhati masalah sosial dan budaya. Tinggal di Depok, Jawa Barat.

Pewarta: Agung Wahyudin *)

Editor : M. Tohamaksun


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2017