Ekosistem hutan dan manusia tak dapat dipisahkan, karena itu merupakan satu kesatuan utuh kehidupan manusia. Demikian disampaikan Profesor Ervizal A M Zuhud, Guru Besar Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor (Fahutan IPB).

Bukti keterkaitan itu bisa dilihat secara jelas dalam kehidupan etnis Badui, di hutan Banten, dan etnis Suku Anak Dalam di hutan Jambi. Selain itu, juga terlihat dalam kehidupan etnis Dayak di hutan Kalimantan serta ratusan etnis masyarakat tradisional lainnya yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. 

Hubungan masyarakat yang beragam, ganda dan dalam waktu panjang dengan hutan lebih cenderung menghargai keutuhan jangka panjang seluruh ekosistem hutan, dibandingkan dengan masyarakat dengan hubungan yang terbatas pada satu atau dua sasaran sempit, seperti pengambilan kayu atau penambangan. 

Meskipun hanya menempati 1,3 persen daratan dunia, namun di dalamnya terdapat sekitar 17 persen spesies yang ada di bumi. Hutan Indonesia ditumbuhi 11 persen tumbuhan, dihuni 12 persen mamalia, 15 persen reptil dan amfibi dan 17 persen burung. 

Hutan-hutan tersebut juga memberikan banyak macam produk seperti kayu, buah, sayuran, kacang-kacangan, minyak, rempah-rempah, obat-obatan, parfum, biji-bijian, makanan ternak, serat, bahan pewarna, bahan pengawet dan pestisida. Lebih dari 6 ribu spesies tumbuhan dan hewan yang dapat digunakan oleh masyarakat Indonesia dalam kehidupan sehari-hari.

"Sekitar 550 kelompok etnik dengan ribuan budaya lokal tinggal di dalam dan di sekitar hutan Indonesia. Mereka dulunya telah mengelola keanekaragaman hayati pangan secara arif untuk menjamin kesinambungan pemanfaatannya," katanya.

Sistem perladangan terutama dikembangkan oleh suku-suku di luar Jawa. Itu dilakukan untuk membudidayakan berbagai tumbuhan penghasil bahan makanan pokok dan bahan yang bermanfaat lainnya di sekitar hutan tropis baik dengan cara campuran maupun agroforest. 

Sementara itu, masyarakat pedesaan di lembah-lembah sungai di sekitar gunung berapi, khususnya di pulau Jawa, mengembangkan sistem persawahan.

Menurut Profesor Azmu, sumberdaya pangan lokal dan sumber-sumber hayati liar yang belum sempat ternikmati masyarakat luas telah banyak yang hilang dari muka bumi Indonesia. Kebijakan yang hanya terfokus pada peningkatan satu sumber pangan secara nasional yaitu beras dengan mengabaikan sumber pangan lokal lainnya telah membunuh karakter dan mental sebagian masyarakat pengguna pangan lokal non beras. 

Pada gilirannya, terjadi eliminasi secara perlahan terhadap sumber-sumber pangan lokal yang sangat berharga bagi kelangsungan keanekaragaman hayati. Kearifan pemanfaatan tumbuhan pangan lokal perlahan, namun pasti telah tersingkir dari peradaban. Akibatnya, Indonesia terjajah melalui pangan impor dari negara lain.  

"Beras yang seolah-olah menjadi satu-satunya sumber pangan pokok menyebabkan sumber tumbuhan pangan liar dari hutan tidak terungkap secara maksimal dan tidak banyak orang melakukan pengembangan secara optimal," kata dia.

Pengembangan tumbuhan pangan liar hanya terbatas di kawasan-kawasan masyarakat hutan pedalaman atau masyarakat adat yang memanfaatkannya pada lingkup sangat kecil. Pengembangan jenis-jenis ini boleh dikata tak pernah dilakukan orang kecuali masyarakat lokal untuk kebutuhan sendiri. 

"Padahal di dalam hutan, masyarakat sekitar hutan mampu memenuhi kebutuhan hidupnya seperti pangan, obat-obatan, dan energi. Oleh sebab itu, dibutuhkan sinergi antar setiap lini yang terkait untuk bisa mendampingi masyarakat sekitar hutan agar lebih berkembang, bukan memaksanya menjadi maju sesuai definisi “maju” yang diseragamkan di semua daerah," jelasnya. 

Pewarta: Humas IPB

Editor : M.Ali Khumaini


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2017