Bogor (Antara Megapolitan) - Pernahkah anda memperhatikan tanah pertanian yang ada di Indonesia? Pada umumnya petani di Indonesia memiliki lahan dengan rata-rata luas lahan kecil sekitar 0,3 Ha.
Ahli pertanian pun banyak mengembangkan sarana mesin pertanian yang cocok dengan kondisi lahan kecil serta banyak tersebar di area pegunungan yang sulit diakses mesin besar yang diproduksi produsen di luar negeri.
Berbagai kondisi lapang pun dipelajari untuk mengembangkan alat pertanian untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas produk pertanian lokal.
Proses budidaya pertanian dimulai dari pengolahan tanah yang menggunakan alat berat seperti traktor.
Tanah yang gembur menjadi faktor penting untuk akar tanaman tumbuh dengan baik.
Begitu juga yang dibutuhkan dalam perkebunan tebu, pengolahan tanah menjadi kegiatan rutin yang dilaksanakan sebelum masa tanam dimulai.
Berbagai kendala dialami di pertanian tebu ini, daintaranya masalah sisa panen tebu dan plastik yang tidak terangkut dari lahan. Sisa panen dan plastik yang tidak terangkut dari lahan telah membuat pekerjaan bajak menjadi sulit.
Inovasi dilakukan oleh mahasiswa IPB melalui PKM Karsa Cipta untuk merancang alat Bajak Tiga Cakar (BTC) untuk mengatasi masalah tersebut.
Bajak Tiga Cakar adalah alat pengolah tanah yang bekerja seperti mesin pencacah tanah lahan tebu yang memiliki masalah sisa panen dan sampah tersebut.
Kunci dari alat BTC ada di mata bajak yang dirancang khusus oleh tim yang diketuai oleh Ihsanul Fajri dan anggotanya Fachmi Andriyanto, Sulthon Arif Rakhman, dan Tito Dwi Saputra dari jurusan Teknik Mesin dan Biosistem, Fakultas Teknologi Pertanian.
''Prinsip yang diterapkan dari mata BTC mengikuti cara kerja cangkul. Kondisi tanah setelah dibajak dengan BTC akan lebih gembur dan sisa panen maupun plastik yang ada menjadi ukuran lebih kecil. Efisiensi alat bajak pada pembajakan setelahnya akan meningkat karena pembajakan tidak lagi terhalangi elemen keras. Pembajakan yang lebih mudah tentunya membuat penggunaan bahan bakar bajak menjadi lebih hemat,'' Ujar Ihsanul Fajri.
Proses pabrikasi dilakukan di Bogor berupa prototype bajak yang membutuhkan daya 55 HP, lebih kecil dari bajak pada umumnya yang membutuhkan 110 HP. Tiga buah piringan BTC yang dirangkai masih dapat dimodifikasi menjadi lebih dari jumlah tersebut. Pengujian alat akan dilakukan di Kebun Percobaan Leuwikopo, Bogor.
''Kami berharap teknologi BTC dapat diimplementasikan di perkebunan tebu di Indonesia untuk meningkatkan pengelolaan produksi tebu. Sasaran utamanya adalah pabrikasi secara massal dan distribusi ke perkebunan-perkebunan tebu rakyat yang berskala kecil. Modifikasi alat juga sangat mungkin dilakukan seperti peningkatan daya dan penambahan piringan untuk perkebunan skala besar. Semoga inovasi terus mengalir dan pertanian Indonesia maju di masa depan,'' terangnya. (EAW/Zul)
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2017
Ahli pertanian pun banyak mengembangkan sarana mesin pertanian yang cocok dengan kondisi lahan kecil serta banyak tersebar di area pegunungan yang sulit diakses mesin besar yang diproduksi produsen di luar negeri.
Berbagai kondisi lapang pun dipelajari untuk mengembangkan alat pertanian untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas produk pertanian lokal.
Proses budidaya pertanian dimulai dari pengolahan tanah yang menggunakan alat berat seperti traktor.
Tanah yang gembur menjadi faktor penting untuk akar tanaman tumbuh dengan baik.
Begitu juga yang dibutuhkan dalam perkebunan tebu, pengolahan tanah menjadi kegiatan rutin yang dilaksanakan sebelum masa tanam dimulai.
Berbagai kendala dialami di pertanian tebu ini, daintaranya masalah sisa panen tebu dan plastik yang tidak terangkut dari lahan. Sisa panen dan plastik yang tidak terangkut dari lahan telah membuat pekerjaan bajak menjadi sulit.
Inovasi dilakukan oleh mahasiswa IPB melalui PKM Karsa Cipta untuk merancang alat Bajak Tiga Cakar (BTC) untuk mengatasi masalah tersebut.
Bajak Tiga Cakar adalah alat pengolah tanah yang bekerja seperti mesin pencacah tanah lahan tebu yang memiliki masalah sisa panen dan sampah tersebut.
Kunci dari alat BTC ada di mata bajak yang dirancang khusus oleh tim yang diketuai oleh Ihsanul Fajri dan anggotanya Fachmi Andriyanto, Sulthon Arif Rakhman, dan Tito Dwi Saputra dari jurusan Teknik Mesin dan Biosistem, Fakultas Teknologi Pertanian.
''Prinsip yang diterapkan dari mata BTC mengikuti cara kerja cangkul. Kondisi tanah setelah dibajak dengan BTC akan lebih gembur dan sisa panen maupun plastik yang ada menjadi ukuran lebih kecil. Efisiensi alat bajak pada pembajakan setelahnya akan meningkat karena pembajakan tidak lagi terhalangi elemen keras. Pembajakan yang lebih mudah tentunya membuat penggunaan bahan bakar bajak menjadi lebih hemat,'' Ujar Ihsanul Fajri.
Proses pabrikasi dilakukan di Bogor berupa prototype bajak yang membutuhkan daya 55 HP, lebih kecil dari bajak pada umumnya yang membutuhkan 110 HP. Tiga buah piringan BTC yang dirangkai masih dapat dimodifikasi menjadi lebih dari jumlah tersebut. Pengujian alat akan dilakukan di Kebun Percobaan Leuwikopo, Bogor.
''Kami berharap teknologi BTC dapat diimplementasikan di perkebunan tebu di Indonesia untuk meningkatkan pengelolaan produksi tebu. Sasaran utamanya adalah pabrikasi secara massal dan distribusi ke perkebunan-perkebunan tebu rakyat yang berskala kecil. Modifikasi alat juga sangat mungkin dilakukan seperti peningkatan daya dan penambahan piringan untuk perkebunan skala besar. Semoga inovasi terus mengalir dan pertanian Indonesia maju di masa depan,'' terangnya. (EAW/Zul)
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2017