Indonesia dikenal sebagai negara agraris karena sebagian besar penduduknya bekerja di sektor pertanian. Sektor pertanian merupakan sektor yang mempunyai peranan strategis dalam struktur pembangunan perekonomian nasional. 

Dalam sensus Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2013, sekira 26 juta lebih rumah tangga Indonesia bekerja di sektor pertanian, yang artinya lebih dari 100 juta orang menggantungkan hidupnya di pertanian. 

Walaupun sebagian besar masyarakat Indonesia bekerja di sektor pertanian, Indonesia masih harus mengimpor komoditas pertanian demi memenuhi kebutuhan nasional. Hal ini pula yang menjadi sebab rendahnya kesejahteraan petani di Indonesia.

Negara agraris yang sebagian besar penduduknya petani, tetapi kesejahteraan petani itu sendiri masih rendah. Pernyataan tersebut bukan hanya sebuah pernyataan tanpa data. 

Lima orang mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM) Institut Pertanian Bogor (IPB) yang tergabung dalam Program Kreativitas Mahasiswa melakukan penelitian dan analisis terhadap ekonomi petani Indonesia. 

Mereka adalah Dinda Aisyah Najmi, Santi Rahayu Wijayanti, Hanifah Dwiyana, Alif Fahmi Alim, dan Tri Juli Nabilla.

Melalui penelitian menggunakan data sekunder, mereka memperoleh hasil yang mencengangkan. Ketergantungan impor komoditas pertanian menjadi permasalahan yang berulang setiap tahun. 

Sangat ironis sebagai negara agraris yang kelimpahan sumberdaya alam, Indonesia harus mengimpor 29 komoditas pangan. 

Komoditas-komoditas tersebut adalah beras, jagung, kedelai, biji gandum dan mesin, tepung terigu, gula pasir, gula tebu, daging sejenis lembu, daging ayam, garam, mentega, minyak goreng, susu, bawang merah, bawang putih, kelapa, kelapa sawit, lada, teh, kopi, cengkeh, kakao, cabai, cabai kering, cabai awet, tembakau, ubi kayu, kentang.

Padahal, sebagian pangan yang diimpor tersebut justru bisa dihasilkan di negeri sendiri.

"Tidak masuk akal, garam juga diimpor di Indonesia. Padahal, Indonesia adalah negara maritim dengan garis pantai terpanjang ke-4 di dunia," ujar Dinda.

Terlebih lagi sejak tahun 2010 Indonesia sudah menghadapi ASEAN- China Free Trade Area (ACFTA) dan setelah ditetapkannya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada akhir tahun 2015 menyebabkan semakin banyak produk pertanian dari luar negeri termasuk ASEAN dan China yang masuk ke Indonesia.

Hal ini diperparah dengan semakin menurunnya pekerja yang beralih dari sektor pertanian ke sektor perdagangan. Pada Februari 2016, BPS mencatat, 31,74 persen pekerja Indonesia atau 38,29 juta orang bekerja di sektor pertanian. 

Jumlah ini mengalami penurunan dibandingkan dengan Februari tahun 2015, dimana jumlah pekerja di sektor pertanian mencapai 40,12 juta orang. Artinya, hampir dua juta pekerja sektor pertanian beralih ke sektor lain hanya dalam setahun. 

Jika tren itu terus berlanjut, bukan tidak mungkin jumlah petani atau pekerja di sektor pertanian di Indonesia akan habis dalam 20 tahun yang akan datang. 

Selain itu, angka kemiskinan di pedesaan yang sebagian besar penduduknya masih bekerja di sektor pertanian, pada 2015 meningkat menjadi 17,94 juta jiwa dari 17,73 juta jiwa pada 2014.

Tingginya tingkat kemiskinan di pedesaan disebabkan kebijakan pembangunan cenderung bias perkotaan dan sektor industri, sementara alokasi anggaran sektor pertanian menurun drastis.

Alokasi anggaran subsidi benih pada APBN selama sepuluh tahun terakhir rata-rata hanya 1,97 persen per tahun dari total subsidi non energi dan rata-rata 0.46 persen per tahun dari total subsidi. 

Sedangkan rata-rata subsidi yang dialokasikan dari APBN untuk pupuk adalah 31,32 persen dari subsidi non energi dan 9,35 persen dari total subsidi. Jumlah ini sangat sedikit untuk sebuah negara agraris. 

Berdasarkan masalah tersebut dapat melihat bagaimana keberpihakan pemerintah pada sektor pertanian dalam melakukan pembangunan dibandingkan dengan sektor industri.(KHO/NM)

Pewarta: Feru Lantara

Editor : Feru Lantara


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2017