Bogor (Antara Megapolitan) - Dinas Kesehatan Kota Bogor, Jawa Barat memiliki strategi khusus dalam mencegah lahirnya bayi `stunting` atau bertubuh pendek dengan cara melakukan intervensi terhadap remaja putri sejak dini.

"Pencegahan harus dilakukan sejak dini, melalukan intervensi kepada remaja putri," kata Kepala Bidang Kesehatan Masyarakat, Dinas Kesehatan Kota Bogor, Erna Nuraini, di Bogor, Jumat.

Erna menjelaskan, intervensi yang dilakukan berupa mengedukasi remaja putri untuk memperhatikan pola hidup sehat, dan gizi seimbang melalui pola makan yang baik dan benar.

"Kami juga melakukan pembagian suplemen tambah darah khusus remaja putri," katanya.

Kenapa remaja putri, lanjutnya, karena remaja putri cenderung lebih rentan terkena anemia karena mengalami periode menstruasi setiap bulan. Berdasarkan hasil penelitian anemia dapat mempengaruhi tingkat kecerdasan seseorang.

"Rencananya pembagian suplement penambah darah ini akan dibagikan pada peringatan Hari Anak bulan Juli mendatang," katanya.

Ia mengatakan, dari hasil studi Kohort yang dilakukan Puslitbang Gizi, Kementerian Kesehatan, di lima kelurahan yang ada di Kecamatan Bogor Tengah, terdapat 918 ibu hamil melahirkan 920 bayi, beberapa diantaranya melahirkan kembar. Dari 920 bayi tersebut sepertiganya lahir dalam kondisi `stunting` atau bertumbuh pendek.

Lahirnya bayi `stunting` ini disebabkan beberapa faktor yakni, salah satunya berasal dari ibunya. Karena 918 ibu hamil tersebut, satu pertiga dari jumlah ibu hamil tersebut, adalah kelompok beresiko.

Kelompok resiko yang dimaksud yakni, ada yang melahirkan terlalu muda usia kurang dari 20 tahun, atau lebih dari 35 tahun. Berat badan semasa kehamilan kurang dari 45 kg. Selama hamil kenaikan badan kurang dari 11 kg, darah tinggi, 2/5 atau 40 persen ibu hamil tinggi badan kurang yakni 150 cm, serta 20 persen anemia.

"Pada waktu masuk hamil sudah anemia," katanya.

Studi Kohort yang dilakukan, mengikuti pertumbuhan bayi dari mulai hamil, hingga melahirkan. Dan ternyata 920 bayi yang lahir, 1/3nya stunting atau pendek. Mereka lahir dengan panjang kurang dari 50 cm dan berat kurang dari 3 kg.

Bayi yang stunting beresiko lahir prematur dan dikhawatirkan organ tubuhnya tidak sempurna. Studi berlanjut, dengan memantau pertumbuhan bayi yang lahir stunting dengan melihat seperti apa pertumbuhannya.

Saat ini usia bayi yang jadi koresponden sudah empat tahun sejak disurvei 2011. Pemantauan dilakukan untuk mengetahui apakah bayi stunting mempunyai resiko Penyakit Tidak Menular (PTM).

"Karenan diduga mereka beresiko PTN dikhawatirkan fungsi organ-organ tubuh yang tidak optimal akibat stunting," katanya.

Dari hasil analisis terhadap Studi Kohort tersebut. Diketahui, bayi stunting kebanyakan lahir dari ibu yang pendek pula. Karena, sorang ibu yang pendek beresiko dua kali lebih besar untuk melahirkan bayi stunting dari pada ibu normal.

Selain itu, faktor lainnya yang menyebabkan adalah dari lingkungan yang kurang sehat, ventilasi udara tidak bagus dan kurangnya pemberian ASI.

"Makanya kita melakukan pencegahan sejak dini dimulai dari remaja putri," katanya.

Ia mengatakan, sesuai instruksi Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto perlu ada gerakan untuk mengedukasi masyarakat, agar kedepan Kota Bogor dapat menghasilkan generasi yang berkualitas.

"Melalui Gerakan Satu Hari Sehat yang diluncurkan Juli nanti, kita mulai edukasi dari sekolah-sekolah. Siswa diminta membawa bekal sehat dari rumah dan mengaktifkan kembali Senam Kesehatan Jasmani (SKJ)," kata Erna.***4***Budi Suyanto

(T.KR-LR/B/B008/B008) 09-06-2017 13:01:45

Pewarta: Laily Rahmawati

Editor : Naryo


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2017