Wakil Ketua Komisi X Dede Yusuf menyinggung persoalan biaya pendidikan kedokteran di Indonesia yang bernilai mahal, bahkan setara dengan harga mobil Toyota Alphard yang berkisar Rp104,7 miliar.
"Saya sudah dapat data, masyaallah itu biaya institusinya bisa beli Alphard satu hanya untuk membayar biaya gedung, belum UKT-nya mungkin ratusan juta," kata Dede saat memberikan pengantar dalam Rapat Dengan Pendapat Panitia Kerja (Panja) Pembiayaan Pendidikan bersama Kemendikbudristek dan Kemendagri di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu.
Hal tersebut, kata Dede melanjutkan, menjadi persoalan yang bernilai penting untuk diselesaikan karena Indonesia membutuhkan dokter.
"Menteri Kesehatan selalu mengatakan kita kekurangan dokter, ini kita dilematis," kata dia.
Baca juga: Lidia Puspita Hasri lulus dokter UI tanpa biaya selama pendidikan
Lebih lanjut, ia menilai, sejauh ini persoalan biaya pendidikan yang mahal merupakan salah satu masalah yang tak kunjung selesai. Bahkan, kata dia menambahkan, masyarakat mulai mempertanyakan terkait amanat pemerintah agar 20 persen anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) untuk sektor pendidikan telah dijalankan dengan baik atau belum.
"Masalah pembiayaan pendidikan ini masih belum tuntas. Masyarakat bertanya apakah 20 persen tadi sebetulnya di kemanakan ke mana saja dan digunakan untuk apa saja," ujar Dede.
Oleh karena itu, baik terkait pendidikan umum maupun kedokteran, Dede meminta kepada Kemendikbudristek agar kembali membedah prioritas anggaran sehingga biaya pendidikan tinggi tidak membebani peserta didik dan orang tuanya.
Sebelumnya, Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin telah mengatakan terdapat tiga masalah dalam penyediaan sumber daya manusia (SDM) kesehatan di Indonesia yaitu jumlah, distribusi, serta kualitas.
Baca juga: 75 dokter muda Unhan menjalani program klinik di Kota Bogor
"Rata-rata dunia, jumlah dokter per populasi 1,76 per seribu. Negara maju yang kita inginkan, ya itu di atas dua lah. Dua per seribu, tiga per seribu, ada yang empat per seribu," ujar Menkes Budi.
"Rata-rata dunia, jumlah dokter per populasi 1,76 per seribu. Negara maju yang kita inginkan, ya itu di atas dua lah. Dua per seribu, tiga per seribu, ada yang empat per seribu," ujar Menkes Budi Gunadi dalam acara Forum Komunikasi Tenaga Kesehatan di Jakarta, Selasa.
Dia mengatakan bahwa di negara-negara yang hampir miskin atau upper middle income country, jumlah dokter per populasi adalah satu banding seribu. Dengan demikian, ujarnya, rasio dokter di Indonesia perlu naik 0,5 persen untuk memenuhi angka tersebut.
Baca juga: UMS hanya akan terima 180 mahasiswa baru Fakultas Kedokteran
Apabila populasi sebesar 280 juta, ujarnya, maka dibutuhkan 140 ribu dokter lagi dan jika setahun produksi dokter adalah 12 ribu, maka butuh 10 tahun untuk mencapai rasio itu.
Selain itu Menkes menyebutkan bahwa sekitar 500 puskesmas di Indonesia tidak ada dokter. Dia juga menyebut kenyataan bahwa seorang dokter dapat bekerja di tiga tempat sekaligus menunjukkan bahwa tenaga kesehatan masih kurang.
Menurutnya, Indonesia masih kekurangan sekitar 29.000 dokter spesialis. Selain kekurangan tersebut, distribusi juga sulit, karena semua terpusat di Pulau Jawa.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2024
"Saya sudah dapat data, masyaallah itu biaya institusinya bisa beli Alphard satu hanya untuk membayar biaya gedung, belum UKT-nya mungkin ratusan juta," kata Dede saat memberikan pengantar dalam Rapat Dengan Pendapat Panitia Kerja (Panja) Pembiayaan Pendidikan bersama Kemendikbudristek dan Kemendagri di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu.
Hal tersebut, kata Dede melanjutkan, menjadi persoalan yang bernilai penting untuk diselesaikan karena Indonesia membutuhkan dokter.
"Menteri Kesehatan selalu mengatakan kita kekurangan dokter, ini kita dilematis," kata dia.
Baca juga: Lidia Puspita Hasri lulus dokter UI tanpa biaya selama pendidikan
Lebih lanjut, ia menilai, sejauh ini persoalan biaya pendidikan yang mahal merupakan salah satu masalah yang tak kunjung selesai. Bahkan, kata dia menambahkan, masyarakat mulai mempertanyakan terkait amanat pemerintah agar 20 persen anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) untuk sektor pendidikan telah dijalankan dengan baik atau belum.
"Masalah pembiayaan pendidikan ini masih belum tuntas. Masyarakat bertanya apakah 20 persen tadi sebetulnya di kemanakan ke mana saja dan digunakan untuk apa saja," ujar Dede.
Oleh karena itu, baik terkait pendidikan umum maupun kedokteran, Dede meminta kepada Kemendikbudristek agar kembali membedah prioritas anggaran sehingga biaya pendidikan tinggi tidak membebani peserta didik dan orang tuanya.
Sebelumnya, Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin telah mengatakan terdapat tiga masalah dalam penyediaan sumber daya manusia (SDM) kesehatan di Indonesia yaitu jumlah, distribusi, serta kualitas.
Baca juga: 75 dokter muda Unhan menjalani program klinik di Kota Bogor
"Rata-rata dunia, jumlah dokter per populasi 1,76 per seribu. Negara maju yang kita inginkan, ya itu di atas dua lah. Dua per seribu, tiga per seribu, ada yang empat per seribu," ujar Menkes Budi.
"Rata-rata dunia, jumlah dokter per populasi 1,76 per seribu. Negara maju yang kita inginkan, ya itu di atas dua lah. Dua per seribu, tiga per seribu, ada yang empat per seribu," ujar Menkes Budi Gunadi dalam acara Forum Komunikasi Tenaga Kesehatan di Jakarta, Selasa.
Dia mengatakan bahwa di negara-negara yang hampir miskin atau upper middle income country, jumlah dokter per populasi adalah satu banding seribu. Dengan demikian, ujarnya, rasio dokter di Indonesia perlu naik 0,5 persen untuk memenuhi angka tersebut.
Baca juga: UMS hanya akan terima 180 mahasiswa baru Fakultas Kedokteran
Apabila populasi sebesar 280 juta, ujarnya, maka dibutuhkan 140 ribu dokter lagi dan jika setahun produksi dokter adalah 12 ribu, maka butuh 10 tahun untuk mencapai rasio itu.
Selain itu Menkes menyebutkan bahwa sekitar 500 puskesmas di Indonesia tidak ada dokter. Dia juga menyebut kenyataan bahwa seorang dokter dapat bekerja di tiga tempat sekaligus menunjukkan bahwa tenaga kesehatan masih kurang.
Menurutnya, Indonesia masih kekurangan sekitar 29.000 dokter spesialis. Selain kekurangan tersebut, distribusi juga sulit, karena semua terpusat di Pulau Jawa.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2024