Jakarta (Antara Megapolitan) - Pengamat minyak dan gas bumi (migas) Pri Agung Rakhmanto menilai harga minyak sampai akhir tahun 2017 masih rendah atau tidak akan melebihi 60 dolar AS per barel.
"Saya kira masih di angka 50-55 dolar AS. Sudah agak naik karena OPEC memutuskan memangkas produksinya. Kira-kira kalau pun naik -gradient`-nya nggak langsung tinggi. Kecuali ada gejolak luar biasa seperti perang itu bisa jadi naik luar biasa," kata Pri Agung Rakhmanto yang juga sebagai penasihat ReforMiner Institute di Jakarta, Selasa.
Menurutnya, hal tersebut karena "oversupply" sudah lama sejak 2015. Pasokan banjir melebihi permintaan, sama seperti yang terjadi 2017. Jadi harga minyak masih akan bertahan rendah dalam jangka waktu cukup lama.
"Kalau mau lihat bakal seperti apa, OPEC bukan satu-satunya penentu, tapi 30 persen produksi dunia tetap bisa memengaruhi. Kalau dia berbaik hati mau turunkan produksinya, mungkin harga minyak naik. Tapi dia nggak mau kalau harga minyak dunia terlalu tinggi. Jadi sekarang politis aja, hanya menjaga `balance` saja," tuturnya.
Implikasi dari hal tersebut adalah sejak 2014 investasi di semua negara turun. Termasuk juga Indonesia turut turun. Pada 2016 hanya ada 11 miliar dolar AS investasi hulu migas, padahal sebelumnya 15-20 miliar dolar AS.
Untuk upaya investasi di Indonesia, Ia menilai sebaiknya skema "gross split" lebih fleksibel untuk penentuan biayanya.
"Saya kira penerapan `gross split` seperti `gambling` (perjudian), sehingga belum banyak investor berani untuk jangka panjang. Cost-nya saya nilai baiknya fleksibel sehingga masih ada kemungkinan negosiasi," ucapnya.
Ia mengasumsikan dengan modal 10 kemudian mendapat 20 itu adalah hal bagus, namun akan lebih baik jika modal 50 tetapi mendapatkan 500, itu berarti lebih mengutamakan jangka panjang dengan modal fleksibel.
"Investasi sekarang kondisinya sedang menurun dan penuh ketidakpastian, sebab regulasi dan keadaan ekonomi politik nasional sangat mempengaruhi, itu yang harusnya diupayakan bisa diredam," ujarnya.
Menurut Pri, selain efisiensi, kepastian bagi investor juga harus menjadi perhatian utama. Dengan begitu investor bisa membuat strategi jangka panjang di Indonesia tanpa khawatir gantinya peraturan lagi.
Sebelumnya, Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar meminta efisiensi waktu dimasukkan dalam variabel keuntungan dalam skema "gross split" jika ingin dibandingkan.
"Kemarin ada kajian yang bilang bahwa hasilnya skema gross split tidak atraktif dan kurang menarik, saya akan tanya dan minta variabel apa saja yang dihitung, apakah waktu juga dimasukkan?" kata Arcandra.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2017
"Saya kira masih di angka 50-55 dolar AS. Sudah agak naik karena OPEC memutuskan memangkas produksinya. Kira-kira kalau pun naik -gradient`-nya nggak langsung tinggi. Kecuali ada gejolak luar biasa seperti perang itu bisa jadi naik luar biasa," kata Pri Agung Rakhmanto yang juga sebagai penasihat ReforMiner Institute di Jakarta, Selasa.
Menurutnya, hal tersebut karena "oversupply" sudah lama sejak 2015. Pasokan banjir melebihi permintaan, sama seperti yang terjadi 2017. Jadi harga minyak masih akan bertahan rendah dalam jangka waktu cukup lama.
"Kalau mau lihat bakal seperti apa, OPEC bukan satu-satunya penentu, tapi 30 persen produksi dunia tetap bisa memengaruhi. Kalau dia berbaik hati mau turunkan produksinya, mungkin harga minyak naik. Tapi dia nggak mau kalau harga minyak dunia terlalu tinggi. Jadi sekarang politis aja, hanya menjaga `balance` saja," tuturnya.
Implikasi dari hal tersebut adalah sejak 2014 investasi di semua negara turun. Termasuk juga Indonesia turut turun. Pada 2016 hanya ada 11 miliar dolar AS investasi hulu migas, padahal sebelumnya 15-20 miliar dolar AS.
Untuk upaya investasi di Indonesia, Ia menilai sebaiknya skema "gross split" lebih fleksibel untuk penentuan biayanya.
"Saya kira penerapan `gross split` seperti `gambling` (perjudian), sehingga belum banyak investor berani untuk jangka panjang. Cost-nya saya nilai baiknya fleksibel sehingga masih ada kemungkinan negosiasi," ucapnya.
Ia mengasumsikan dengan modal 10 kemudian mendapat 20 itu adalah hal bagus, namun akan lebih baik jika modal 50 tetapi mendapatkan 500, itu berarti lebih mengutamakan jangka panjang dengan modal fleksibel.
"Investasi sekarang kondisinya sedang menurun dan penuh ketidakpastian, sebab regulasi dan keadaan ekonomi politik nasional sangat mempengaruhi, itu yang harusnya diupayakan bisa diredam," ujarnya.
Menurut Pri, selain efisiensi, kepastian bagi investor juga harus menjadi perhatian utama. Dengan begitu investor bisa membuat strategi jangka panjang di Indonesia tanpa khawatir gantinya peraturan lagi.
Sebelumnya, Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar meminta efisiensi waktu dimasukkan dalam variabel keuntungan dalam skema "gross split" jika ingin dibandingkan.
"Kemarin ada kajian yang bilang bahwa hasilnya skema gross split tidak atraktif dan kurang menarik, saya akan tanya dan minta variabel apa saja yang dihitung, apakah waktu juga dimasukkan?" kata Arcandra.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2017