Jakarta (Antara Megapolitan) - Tersembunyi di balik perbukitan berisi jajaran pohon kopi dan kakao, Air Terjun "Leke-Leke" merupakan "surga" baru yang tidak kalah menakjubkan dibanding Pantai Kuta, Seminyak, atau Legian di selatan Bali.

Berlokasi di Desa Adat (Banjar) Mekar Sari Kecamatan Baturiti, Tabanan, kawasan wisata Leke-Leke atau berarti "sukar ditemui" tidak hanya menawarkan indahnya pemandangan air terjun, tetapi juga pengalaman mengarungi arus sungai yang menantang serta memacu laju adrenalin.

Petualangan dapat dimulai dengan menaklukkan arus sungai yang cukup deras, kemudian berlanjut dengan melintasi areal persawahan, kebun kopi serta kakao hingga akhirnya tiba di air terjun Leke-Leke atau yang lama dikenal warga sebagai "Kepuan Kebo".

"Kepuan Kebo berarti tempat pemandian dan minum kerbau. Tempat ini masih dianggap sakral dan keramat oleh warga," kata Wayan, salah seorang pemandu yang ditemui di lokasi wisata itu belum lama ini.

Meski demikian pemandu itu menambahkan, pengunjung dapat menyusuri gua di belakang air terjun utama seraya menikmati dingin dan segarnya air terjun kecil yang berada tak jauh dari Kepuan Kebo

Selepas menikmati pemandangan alam air terjun, pengunjung dapat melanjutkan perjalanan menyusuri perkebunan berisi tanaman lokal yang mulai langka seperti buah sentul, ciremai, badung, cepundung, majagawuh, genitri, dan gunggung yang bentuk dan rasanya mirip stroberi.

"Selepas mengarungi arus sungai, menikmati indahnya air terjun, dan mendaki perbukitan, pengunjung dapat melepas lelah di rumah warga sekaligus menikmati panganan khas Bali seperti sayur batang pisang muda atau jukut ares, tumis pakis, sate lilit, sambal matah kecombrang, dan meminum teh jahe yang dibuat langsung oleh ibu-ibu di desa kami," kata pendiri kawasan wisata desa Leke-Leke, Nyoman Sukania saat ditemui Antara belum lama ini.

Berbeda dengan jenis wisata lain di Bali, Nyoman menambahkan, "Leke-Leke" terus berusaha mempertahankan keasrian alam dan keaslian cara hidup masyarakat desa di Bali.

"Leke-Leke sebenarnya merupakan kawasan terintegrasi yang menyatukan pariwisata dengan kehidupan masyarakat di pedesaan. Artinya, seluruh kegiatan wisata di sini justru datang dari, oleh dan untuk warga. Misalnya saja, pemandu arung jeram (body rafting) dan susur (trekking) air terjun adalah pemuda-pemudi setempat," kata Nyoman.

Pria yang baru memulai usahanya Maret tahun ini menambahkan paket wisata lain seperti kegiatan menanam padi, memasak masakan khas Bali, berkemah, dan bersepeda menyusuri desa juga melibatkan warga lokal sebagai pelaku usahanya.

"Inti wisata desa adalah memberdayakan masyarakatnya. Ini yang kami usahakan di Leke-Leke bagaimana wisata tidak didominasi oleh investor tetapi dimiliki dan dijalankan langsung oleh warga desa. Akan tetapi, itu tidak berarti kami anti-nvestor, warga tetap menyambut datangnya pemodal asalkan mereka tidak berupaya untuk mengubah tatanan masyarakat dan keasrian alam desa kami dengan membeton perkebunan dan hutan untuk membangun hotel-hotel mewah," kata Nyoman.

    
        Didukung pemerintah

Kementerian Pariwisata melalui Asisten Deputi (Asdep) Pengembangan Pasar Asia Tenggara menangkap besarnya potensi wisata desa "Leke-Leke" dengan menjadikannya salah satu destinasi program pengenalan "Familirization Trip" (FamTrip) yang melibatkan perwakilan dari 10 agen perjalanan internasional, khususnya dari Singapura, Malaysia, dan Filipina.

Dalam program pengenalan itu, pihak kementerian mengenalkan atraksi wisata desa yang dapat menjadi alternatif kunjungan berwisata di Pulau Dewata.

"Selama ini wisatawan mancanegara, khususnya yang berasal dari Asia Tenggara punya pengetahuan terbatas mengenai tujuan wisata di Bali. Sebagian besar mereka hanya tahu Pantai Kuta, Tanah Lot, atau Ubud, padahal pulau ini punya banyak destinasi yang tidak kalah menarik, misalnya Leke-Leke di Baturiti ini," kata Dwi Ratih Siswarini dari Asdep Pengembangan Pasar Asia Tenggara Kemenpar saat ditemui Senin lalu.

Dengan begitu, adanya program FamTrip yang rutin diadakan pihak kementerian diharapkan dapat membantu para agen perjalanan internasional mengenali destinasi lain, salah satunya atraksi wisata desa di Baturiti, tambahnya.

Salah seorang peserta FamTrip, manajer pemasaran Lucky 3 Tours asal Filipina,Reggie C Abenoja mengaku program FamTrip yang diadakan Kemenpar cukup membantu pihaknya mengenali destinasi wisata alternatif di Bali.

"Buat kami para agen perjalanan, kegiatan dari pemerintah ini merupakan kesempatan untuk mengenali langsung produk wisata yang akan dijual nantinya," kata Reggie.

Senada dengan itu, Manajer Safar Saeid Tour&Travel asal Malaysia,Wan Sapura Wan Mohd Hashim  mengaku kegiatan FamTrip menunjukkan besarnya komitmen pemerintah Indonesia untuk terus meningkatkan kunjungan wisatawan mancanegara.

"Program FamTrip dari pemerintah Indonesia ini sangat berguna untuk kami, karena misalnya wisata desa di Leke-Leke ternyata cocok untuk program outbond atau kegiatan company bonding," kata Sapura.

Sementara itu, Muhamad Faisol dari Ambar Travel Tour, berpusat di Selangor, Malaysia turut menyambut baik program FamTrip yang telah diadakan sejak 14 sampai 18 April tersebut.

"Saya cukup tertarik dengan panganan khas yang disajikan di Leke-Leke ini. Selama ini wisata kuliner di Indonesia menurut saya cukup tertinggal karena tidak terintegrasi dengan destinasi atau atraksi lainnya. Namun berbeda di wisata desa ini, pengunjung dapat langsung menikmati makanan unik selepas berpetualang di sungai dan air terjun," kata Faisol.

Penganan lokal, kata Faisol, dapat menjadi salah satu daya tarik bagi wisatawan mancanegara.

"Misalnya para turis di Negeri Sembilan akan disuguhi masakan khas setempat yang unik dan berbeda dari wilayah lain misalnya Selangor atau Langkawi. Suguhan itu merupakan bagian dari paket wisata yang tidak terpisah atau berdiri sendiri. Saya pikir jenis wisata desa terintegrasi di Leke-Leke ini merupakan model yang cukup bagus dan sangat menarik," kata Faisol.

Dengan demikian, pekerjaan rumah selanjutnya bagaimana mengembangkan atraksi wisata desa sebagai destinasi "arus utama" tidak hanya di Bali, tetapi juga wilayah lain seperti Bangkalan dan Sumenep di Pulau Madura, Jawa Timur.

Sejauh ini sebagaimana disampaikan pendiri Leke-Leke, Nyoman kendala utama mengembangkan wisata desa terletak di urusan pemasaran dan perizinan.

"Biaya untuk mengurus izin usaha masih terlampau mahal, sementara investasi di wisata desa terbilang kecil karena kami cukup selektif memilih modal yang masuk. Kami tentunya tetap menerima investor selama mereka tidak merusak alam di desa dengan membangun beton untuk hotel dan resort. Alasannya sederhana, buat kami pariwisata harus bisa ramah lingkungan dan menyejahterakan masyarakat," kata Nyoman menutup. 

Pewarta: Genta Tenri Mawangi

Editor : Andi Firdaus


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2017