Gedung Linggarjati yang terletak di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, menjadi saksi bisu dari salah satu momen penting dalam sejarah Indonesia pascakemerdekaan.
Bangunan dengan ornamen khas bergaya kolonial itu, merupakan tempat berkumpulnya para diplomat ulung Indonesia yang berjuang untuk menegakkan kedaulatan negara melalui jalur diplomasi.
Setelah teks proklamasi dibacakan pada 17 Agustus 1945, perjalanan Indonesia menuju kedaulatan penuh tidaklah mudah.
Negeri yang baru meraih kebebasannya harus menghadapi tantangan besar untuk mendapat pengakuan di mata komunitas internasional. Saat itu Belanda enggan mengakui wilayah bekas koloninya telah menjadi bangsa mandiri.
Meskipun dihadapkan pada rintangan yang sulit, semangat perjuangan dan tekad untuk mempertahankan kemerdekaan tidak pernah padam.
Berbagai strategi diterapkan dalam menyelesaikan sengketa dengan Belanda, hingga akhirnya Indonesia mendapatkan pengakuan dunia sebagai negara berdaulat.
Kini, jejak perjuangan itu bersemayam dan terpatri di dalam Gedung Linggarjati. Masyarakat yang singgah di gedung itu bisa menjelajahi serta menghayati kembali kisah-kisah dari para pejuang diplomasi.
Gubuk sederhana
Gedung Linggarjati berjarak sekitar 24 kilometer dari pusat Kota Cirebon, bisa diakses dengan mudah menggunakan sepeda motor maupun mobil pribadi.
Dari luar, gedung ini menampilkan arsitektur klasik dengan dinding kokoh bercorak art deco berupa pola garis lurus, sudut tajam, dan bentuk geometris yang jelas.
Saat memasuki Gedung Linggarjati, pengunjung dapat melihat barang koleksi, terdiri dari foto dokumentasi yang menangkap momen bersejarah saat pertemuan antara delegasi Belanda dan Indonesia diadakan.
Gambar-gambar itu dipajang di setiap sudut ruangan, untuk mengajak pengunjung berkontemplasi merasakan nuansa sejarah yang teramat kental.
Di ruangan utama, terdapat berbagai furnitur orisinil dan replika yang ditempatkan sesuai dengan peristiwa perundingan pada 78 tahun silam.
Kemudian, tersembunyi di sebuah ruangan kecil, pengunjung akan menemukan koleksi keramik tua peninggalan Belanda yang disusun rapi di dalam lemari.
Sebelum seperti sekarang, Gedung Linggarjati pada mulanya hanya merupakan gubuk sederhana yang didiami oleh seorang perempuan bernama Jasitem.
Pada dekade 1910-an, perempuan itu datang ke Kuningan untuk menetap di gubuk tersebut. Selama bertahun-tahun Jasitem menjalani kehidupan seperti kebanyakan penduduk pribumi lainnya. Dia tinggal sendirian karena tidak memiliki keturunan.
Nasib Jasitem berubah ketika seorang Belanda bernama Tersana datang menemuinya pada 1918. Peristiwa ini menjadi awal dari pembangunan Gedung Linggarjati yang sangat bersejarah itu.
Staf juru pelihara Gedung Linggarjati Toto Rudianto kepada ANTARA bercerita, Tersana diketahui merupakan pejabat berpengaruh di Pabrik Gula Tersana yang ada di Cirebon timur. Ada juga yang menyebutnya sebagai tuan Marghen atau Margen. Tokoh ini kemudian meminang Jasitem.
Setelah pertemuan itu, tepatnya pada 1921, Tersana mengubah gubuk sederhana milik Jasitem menjadi hunian semi permanen dengan menambahkan beberapa tembok di bagian fasadnya.
Banguan tersebut dijadikan sebagai tempat peristirahatan pasangan itu. Kemudian sekitar 1930-an, bekas gubuk ini dijual kepada pengusaha bernama JJ van Os, sedangkan Jasitem ikut bersama Tersana pindah ke Belanda.
Properti di kaki Gunung Ciremai tersebut, kemudian direnovasi oleh pengusaha itu menjadi lebih megah dengan luas mencapai 1.052 meter persegi dan memiliki delapan kamar tidur.
Pada 1935, gedung tersebut dikontrak oleh rekan JJ van Os, yakni Heiker untuk dijadikan wisma yang bernama Hotel Restroond. Tujuh tahun berselang, bangunan itu kemudian diambil alih Jepang dan diganti nama menjadi Hotel Hokai Ryokai.
Pejuang Indonesia akhirnya dapat merebut gedung ini pada 1943, yang selanjutnya difungsikan sebagai markas, sekaligus menjadi dapur umum.
Setelah tahun 1945, nama Gedung Linggarjati berubah lagi menjadi Hotel Merdeka karena berganti kepemilikan, dan bertahan terus sampai tahun 1946.
Perjanjian Linggarjati
Di sepanjang lorong yang menghubungkan berbagai ruangan di Gedung Linggarjati, pengunjung dapat merefleksikan perjuangan dari mendiang Sutan Syahrir dan rekan-rekannya dalam mempertahankan kedaulatan Indonesia di hadapan perwakilan Belanda.
Selain itu di bagian barat gedung, pengunjung pun bisa menemukan ruangan yang pernah dipakai oleh Presiden Soekarno untuk bertemu dengan Lord Killearn, seorang utusan asal Inggris, sebelum berlangsungnya Perundingan Linggarjati pada 10-13 November 1946.
Dosen Jurusan ilmu Sejarah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syekh Nurjati Cirebon Tendi menjelaskan Perundingan Linggarjati menjadi tonggak awal dalam pengakuan kedaulatan Indonesia secara internasional, meskipun hasilnya, kala itu tidak sepenuhnya memuaskan.
Sebelumnya, Indonesia dan Belanda telah berkali-kali menjalin negosiasi, tetapi tidak pernah menghasilkan kesepakatan.
Meskipun demikian, upaya untuk mencapai kesepakatan dengan Belanda terus berlanjut, dan Gedung Linggarjati terpilih sebagai tempat yang paling netral untuk memfasilitasi perundingan tersebut.
Keputusan untuk menggunakan Linggarjati sebagai tempat perundingan bukanlah kebetulan. Usulan tersebut berasal dari Maria Ulfah Santoso, tokoh berpengaruh dan merupakan anak dari R Mohamad Ahmad (Bupati Kuningan periode 1921-1940).
Dipilihnya Linggarjati sebagai tempat perundingan merupakan langkah yang tepat, karena lokasinya dianggap strategis, sehingga memungkinkan perundingan berlangsung dengan lancar.
Pada saat itu, keamanan di wilayah Linggarjati sudah dijamin serta gejolak di tengah masyarakat pribumi diredam agar tidak memantik gerakan penolakan atas adanya perundingan Indonesia dengan Belanda.
Selama perundingan, Presiden Soekarno telah memberikan mandat kepada Sutan Syahrir untuk memimpin delegasi Indonesia dalam “perang diplomatik” di Linggarjati.
Sutan Syahrir bersama koleganya, yaitu AK Gani, Susanto Tirtoprojo, dan Mohammad Roem berupaya keras merumuskan dasar-dasar kesepakatan. Syahrir bahkan harus menginap di tempat terpisah, agar strategi diplomasi itu tidak bocor atau diketahui pihak Belanda.
Sebagian besar delegasi Indonesia itu menetap sementara di sebuah bangunan yang lokasinya tidak jauh dari Gedung Linggarjati. Nantinya bangunan tersebut dikenal sebagai Gedung Syahrir.
Dalam Perundingan Linggarjati, Belanda mengirim Wim Schermerhorn sebagai ketua delegasi beserta beberapa anggota, yakni Max Von Poll, HJ Van Mook, serta F de Baer.
Perundingan selama lima hari yang dimediasi oleh Lord Killearn itu berlangsung sengit, panas, dan kedua negara selalu mengejar kepentingan masing-masing.
Pertemuan itu bahkan sempat dihentikan sementara, untuk mendinginkan suasana.
Seiring berjalannya waktu, negosiasi panjang dan melelahkan itu mencapai babak akhir. Perundingan Linggarjati menghasilkan sedikitnya 17 pasal yang isinya lebih condong merugikan Indonesia.
Pokok utama perjanjian tersebut menekankan kalau Belanda hanya mengakui secara de facto wilayah Indonesia hanya terdiri dari Sumatera, Jawa, dan Madura, serta pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS).
RIS itu nantinya harus bergabung sebagai negara persemakmuran di bawah Kerajaan Belanda. Isi perjanjian lainnya, Belanda harus meninggalkan Indonesia selambat-lambatnya pada 1 Januari 1949.
Beberapa bulan usai negosiasi di Linggarjati, tepatnya pada 25 Maret 1947, isi dari perjanjian tersebut ditandatangani dalam sebuah upacara kenegaraan di Istana Negara Jakarta.
Simbol persatuan
Meskipun hasilnya tidak sesuai harapan, nyatanya pihak Belanda tetap mengingkari isi perjanjian itu, bahkan mereka melakukan konfrontasi militer ke wilayah Indonesia dengan membonceng nama besar Sekutu.
Kendati begitu, pertemuan di Gedung Linggarjati telah menjadi titik balik bagi Indonesia, karena setelahnya kedaulatan bangsa diakui di mata dunia.
Gedung Linggarjati juga saat ini telah menjadi ikon wisata bersejarah di Kabupaten Kuningan, yang bisa mendatangkan turis domestik maupun wisatawan asing, terutama keturunan dari para delegasi Belanda.
Dari beberapa arsip dan dokumentasi yang dihimpun menunjukkan kalau orang-orang dari Belanda itu merasa terkesan dan antusias saat berkunjung ke Gedung Linggarjati. Interaksi itu mencerminkan upaya damai antarnegara.
Selain itu, kedatangan mereka menjadi momentum yang tepat akan pentingnya mengenang sejarah dan berdamai dengan masa lalu.
Masyarakat pun bisa mendatangi Gedung Linggarjati, karena bangunan ini tidak hanya menjadi saksi bisu dari peristiwa bersejarah tersebut, tetapi juga menjadi simbol penting dalam perjuangan bangsa Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan bangsa.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2024
Bangunan dengan ornamen khas bergaya kolonial itu, merupakan tempat berkumpulnya para diplomat ulung Indonesia yang berjuang untuk menegakkan kedaulatan negara melalui jalur diplomasi.
Setelah teks proklamasi dibacakan pada 17 Agustus 1945, perjalanan Indonesia menuju kedaulatan penuh tidaklah mudah.
Negeri yang baru meraih kebebasannya harus menghadapi tantangan besar untuk mendapat pengakuan di mata komunitas internasional. Saat itu Belanda enggan mengakui wilayah bekas koloninya telah menjadi bangsa mandiri.
Meskipun dihadapkan pada rintangan yang sulit, semangat perjuangan dan tekad untuk mempertahankan kemerdekaan tidak pernah padam.
Berbagai strategi diterapkan dalam menyelesaikan sengketa dengan Belanda, hingga akhirnya Indonesia mendapatkan pengakuan dunia sebagai negara berdaulat.
Kini, jejak perjuangan itu bersemayam dan terpatri di dalam Gedung Linggarjati. Masyarakat yang singgah di gedung itu bisa menjelajahi serta menghayati kembali kisah-kisah dari para pejuang diplomasi.
Gubuk sederhana
Gedung Linggarjati berjarak sekitar 24 kilometer dari pusat Kota Cirebon, bisa diakses dengan mudah menggunakan sepeda motor maupun mobil pribadi.
Dari luar, gedung ini menampilkan arsitektur klasik dengan dinding kokoh bercorak art deco berupa pola garis lurus, sudut tajam, dan bentuk geometris yang jelas.
Saat memasuki Gedung Linggarjati, pengunjung dapat melihat barang koleksi, terdiri dari foto dokumentasi yang menangkap momen bersejarah saat pertemuan antara delegasi Belanda dan Indonesia diadakan.
Gambar-gambar itu dipajang di setiap sudut ruangan, untuk mengajak pengunjung berkontemplasi merasakan nuansa sejarah yang teramat kental.
Di ruangan utama, terdapat berbagai furnitur orisinil dan replika yang ditempatkan sesuai dengan peristiwa perundingan pada 78 tahun silam.
Kemudian, tersembunyi di sebuah ruangan kecil, pengunjung akan menemukan koleksi keramik tua peninggalan Belanda yang disusun rapi di dalam lemari.
Sebelum seperti sekarang, Gedung Linggarjati pada mulanya hanya merupakan gubuk sederhana yang didiami oleh seorang perempuan bernama Jasitem.
Pada dekade 1910-an, perempuan itu datang ke Kuningan untuk menetap di gubuk tersebut. Selama bertahun-tahun Jasitem menjalani kehidupan seperti kebanyakan penduduk pribumi lainnya. Dia tinggal sendirian karena tidak memiliki keturunan.
Nasib Jasitem berubah ketika seorang Belanda bernama Tersana datang menemuinya pada 1918. Peristiwa ini menjadi awal dari pembangunan Gedung Linggarjati yang sangat bersejarah itu.
Staf juru pelihara Gedung Linggarjati Toto Rudianto kepada ANTARA bercerita, Tersana diketahui merupakan pejabat berpengaruh di Pabrik Gula Tersana yang ada di Cirebon timur. Ada juga yang menyebutnya sebagai tuan Marghen atau Margen. Tokoh ini kemudian meminang Jasitem.
Setelah pertemuan itu, tepatnya pada 1921, Tersana mengubah gubuk sederhana milik Jasitem menjadi hunian semi permanen dengan menambahkan beberapa tembok di bagian fasadnya.
Banguan tersebut dijadikan sebagai tempat peristirahatan pasangan itu. Kemudian sekitar 1930-an, bekas gubuk ini dijual kepada pengusaha bernama JJ van Os, sedangkan Jasitem ikut bersama Tersana pindah ke Belanda.
Properti di kaki Gunung Ciremai tersebut, kemudian direnovasi oleh pengusaha itu menjadi lebih megah dengan luas mencapai 1.052 meter persegi dan memiliki delapan kamar tidur.
Pada 1935, gedung tersebut dikontrak oleh rekan JJ van Os, yakni Heiker untuk dijadikan wisma yang bernama Hotel Restroond. Tujuh tahun berselang, bangunan itu kemudian diambil alih Jepang dan diganti nama menjadi Hotel Hokai Ryokai.
Pejuang Indonesia akhirnya dapat merebut gedung ini pada 1943, yang selanjutnya difungsikan sebagai markas, sekaligus menjadi dapur umum.
Setelah tahun 1945, nama Gedung Linggarjati berubah lagi menjadi Hotel Merdeka karena berganti kepemilikan, dan bertahan terus sampai tahun 1946.
Perjanjian Linggarjati
Di sepanjang lorong yang menghubungkan berbagai ruangan di Gedung Linggarjati, pengunjung dapat merefleksikan perjuangan dari mendiang Sutan Syahrir dan rekan-rekannya dalam mempertahankan kedaulatan Indonesia di hadapan perwakilan Belanda.
Selain itu di bagian barat gedung, pengunjung pun bisa menemukan ruangan yang pernah dipakai oleh Presiden Soekarno untuk bertemu dengan Lord Killearn, seorang utusan asal Inggris, sebelum berlangsungnya Perundingan Linggarjati pada 10-13 November 1946.
Dosen Jurusan ilmu Sejarah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syekh Nurjati Cirebon Tendi menjelaskan Perundingan Linggarjati menjadi tonggak awal dalam pengakuan kedaulatan Indonesia secara internasional, meskipun hasilnya, kala itu tidak sepenuhnya memuaskan.
Sebelumnya, Indonesia dan Belanda telah berkali-kali menjalin negosiasi, tetapi tidak pernah menghasilkan kesepakatan.
Meskipun demikian, upaya untuk mencapai kesepakatan dengan Belanda terus berlanjut, dan Gedung Linggarjati terpilih sebagai tempat yang paling netral untuk memfasilitasi perundingan tersebut.
Keputusan untuk menggunakan Linggarjati sebagai tempat perundingan bukanlah kebetulan. Usulan tersebut berasal dari Maria Ulfah Santoso, tokoh berpengaruh dan merupakan anak dari R Mohamad Ahmad (Bupati Kuningan periode 1921-1940).
Dipilihnya Linggarjati sebagai tempat perundingan merupakan langkah yang tepat, karena lokasinya dianggap strategis, sehingga memungkinkan perundingan berlangsung dengan lancar.
Pada saat itu, keamanan di wilayah Linggarjati sudah dijamin serta gejolak di tengah masyarakat pribumi diredam agar tidak memantik gerakan penolakan atas adanya perundingan Indonesia dengan Belanda.
Selama perundingan, Presiden Soekarno telah memberikan mandat kepada Sutan Syahrir untuk memimpin delegasi Indonesia dalam “perang diplomatik” di Linggarjati.
Sutan Syahrir bersama koleganya, yaitu AK Gani, Susanto Tirtoprojo, dan Mohammad Roem berupaya keras merumuskan dasar-dasar kesepakatan. Syahrir bahkan harus menginap di tempat terpisah, agar strategi diplomasi itu tidak bocor atau diketahui pihak Belanda.
Sebagian besar delegasi Indonesia itu menetap sementara di sebuah bangunan yang lokasinya tidak jauh dari Gedung Linggarjati. Nantinya bangunan tersebut dikenal sebagai Gedung Syahrir.
Dalam Perundingan Linggarjati, Belanda mengirim Wim Schermerhorn sebagai ketua delegasi beserta beberapa anggota, yakni Max Von Poll, HJ Van Mook, serta F de Baer.
Perundingan selama lima hari yang dimediasi oleh Lord Killearn itu berlangsung sengit, panas, dan kedua negara selalu mengejar kepentingan masing-masing.
Pertemuan itu bahkan sempat dihentikan sementara, untuk mendinginkan suasana.
Seiring berjalannya waktu, negosiasi panjang dan melelahkan itu mencapai babak akhir. Perundingan Linggarjati menghasilkan sedikitnya 17 pasal yang isinya lebih condong merugikan Indonesia.
Pokok utama perjanjian tersebut menekankan kalau Belanda hanya mengakui secara de facto wilayah Indonesia hanya terdiri dari Sumatera, Jawa, dan Madura, serta pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS).
RIS itu nantinya harus bergabung sebagai negara persemakmuran di bawah Kerajaan Belanda. Isi perjanjian lainnya, Belanda harus meninggalkan Indonesia selambat-lambatnya pada 1 Januari 1949.
Beberapa bulan usai negosiasi di Linggarjati, tepatnya pada 25 Maret 1947, isi dari perjanjian tersebut ditandatangani dalam sebuah upacara kenegaraan di Istana Negara Jakarta.
Simbol persatuan
Meskipun hasilnya tidak sesuai harapan, nyatanya pihak Belanda tetap mengingkari isi perjanjian itu, bahkan mereka melakukan konfrontasi militer ke wilayah Indonesia dengan membonceng nama besar Sekutu.
Kendati begitu, pertemuan di Gedung Linggarjati telah menjadi titik balik bagi Indonesia, karena setelahnya kedaulatan bangsa diakui di mata dunia.
Gedung Linggarjati juga saat ini telah menjadi ikon wisata bersejarah di Kabupaten Kuningan, yang bisa mendatangkan turis domestik maupun wisatawan asing, terutama keturunan dari para delegasi Belanda.
Dari beberapa arsip dan dokumentasi yang dihimpun menunjukkan kalau orang-orang dari Belanda itu merasa terkesan dan antusias saat berkunjung ke Gedung Linggarjati. Interaksi itu mencerminkan upaya damai antarnegara.
Selain itu, kedatangan mereka menjadi momentum yang tepat akan pentingnya mengenang sejarah dan berdamai dengan masa lalu.
Masyarakat pun bisa mendatangi Gedung Linggarjati, karena bangunan ini tidak hanya menjadi saksi bisu dari peristiwa bersejarah tersebut, tetapi juga menjadi simbol penting dalam perjuangan bangsa Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan bangsa.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2024