Kudus (Antara Megapolitan) - Pengelola pasar tradisional di Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, mendapat pelatihan cara menguji kualitas garam  mengandung yodium atau tidak untuk meminimalkan peredaran garam tidak beryodium.

Pelatihan tata cara menguji kualitas garam konsumsi tersebut digelar di aula Badan Perencanaan Pembangunan, Penelitian, dan Pengembangan Daerah Kabupaten Kudus dengan menghadirkan pembicara dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Nutrisi Internasional Wilayah Jateng Nur Khayati.

"Jika semua pengelola pasar tradisional di Kudus rutin melakukan pengujian sampel kualitas garam yang beredar di pasar, kami optimistis produsen garam akan berfikir ulang untuk menjual garam tanpa yodium," kata pembicara dari LSM Nutrisi Internasional Wilayah Jateng Nur Khayati di Kudus, Kamis.

Setelah semua pengelola mampu menggunakan mini laboratorium uji yodium, dia berharap, peralatan tersebut benar-benar dimanfaatkan karena sudah mendapatkan pelatihan untuk mengoperasikannya.

Untuk memudahkan proses pengujiannya, kata dia, untuk tahap awal cukup menggunakan tes yodium, ketika tidak mengandung yodium tidak perlu dilanjutkan ke tahap berikutnya, sedangkan yang mengandung yodium bisa dilanjutkan ke tahap berikutnya.

"Pengujian yodium pada garam konsumsi dengan mini laboratorium tersebut bertujuan untuk mengetahui tingkat kadar yodium apakah sesuai standar atau belum," ujarnya di hadapan puluhan pengelola pasar tradisional di Kudus.

Masing-masing pengelola pasar disediakan mini laboratorium untuk melakukan praktik pengujian garam yang sudah disediakan apakah mengandung yodium sesuai standar atau tidak.

"Kandungan yodium pada setiap produk garam sesuai standar nasional Indonesia yang digunakan sebagai garam konsumsi harus memenuhi kadar yodium minimal 30 ppm (part per million)," ujarnya.

Apabila tidak sesuai standar, dia mengimbau, pengelola pasar untuk menginformasikan kepada pedagang yang menjual garam tersebut agar mengembalikannya kepada agen atau distributornya.

Ia berharap, pengelola pasar juga bersedia bersikap tegas terhadap pemasok garam yang tidak sesuai standar, karena demi kepentingan masyarakat luas.

"Jika ada penegasan, tentunya produsennya juga akan berubah untuk memasarkan garam yang mengandung yodium sesuai standar," ujarnya.

Setelah mendapatkan pelatihan, dia berharap, setiap triwulan melakukan pengujian, sehingga upaya produsen memasarkan garam tanpa yodium atau tidak sesuai standar bisa dideteksi sejak dini.

Kekurangan yodium, katanya, berdampak buruk terhadap kesehatan.

Di antaranya, mengalami pembesaran pada kelenjar gondok pada leher, gangguan perkembangan fisik, bayi lahir kurang sehat, pertumbuhan otak bayi terhambat, serta adanya gangguan mental yang dapat berpengaruh terhadap kehilangan IQ point yang identik dengan kecerdasan dan produktifitas.

Sementara itu, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan, Penelitian dan Pengembangan Daerah Kabupaten Kudus Sudjatmiko menambahkan, bahwa pelatihan tata cara pengujian kadar yodium pada garam dalam rangka menyiapkan generasi penerus yang sehat dan cerdas.

Oleh karena itu, lanjut dia, garam yang dijual di Kudus harus sesuai standar, karena garam yang tidak sesuai standar bisa berdampak buruk bagi kesehatan.

Apalagi, kata dia, hasil pengujian tingkat konsumsi garam beryodium, Kabupaten Kudus masih masuk kategori merah atau masih banyak ditemukan peredaran garam tidak sesuai standar.

Pemkab Kudus, kata Sudjatmiko, juga menerbitkan Perda nomor 4/2014 tentang Garam Konsumsi Beryodium mengamanatkan bahwa produsen, distributor, dan pengecer dilarang memproduksi, memperdagangkan atau mengedarkan garam konsumsi beryodium yang tidak memenuhi persyaratan standar nasional Indonesia (SNI).

"Manfaat yodium bagi tubuh sangat besar, karena bermanfaat sebagai pengatur pertumbuhan dan perkembangan otak manusia," ujarnya.

Karena begitu pentingnya kebutuhan yodium dalam kehidupan manusia, kata dia, tentunya menjadi kewajiban semua pihak untuk menyukseskan program konsumsi garam beryodium untuk semua di Indonesia.

Pewarta: Akhmad Nazaruddin Lathif

Editor : Andi Firdaus


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2017