Bogor (Antara Megapolitan) - Sejumlah angkutan kota (angkot) di wilayah Bogor, Jawa Barat mulai beroperasi, namun ada beberapa angkot yang mangkal di terminal batas wilayah Laladon memilih untuk tidak beroperasi, Kamis.
Menurut sejumlah sopir alasan mereka tidak beroperasi karena khawatir dengan adanya aksi susulan pascakericuhan Rabu (22/3) kemarin. Selain itu sopir juga ingin kejelasan atas kerusakan angkot yang dialaminya.
Angkot yang tidak beroperasi tersebut berasal dari wilayah Kota dan Kabupaten Bogor yakni trayek 02 (Bubulak-Sukasari), trayek 03 (Bubulak-Baranangsiang), trayek 32, trayek 05 Leuwiliang, dan Ciampea.
"Ya kami khawatirlah, apalagi kabarnya mau ada aksi susulan kami tidak mau jadi korban lagi," kata Jejen sopir angkot 02 saat ditemui di Terminal Laladon.
Hal senada juga disampaikan oleh Adi Raka dan Adit sopir angkot 03 (Kota Bogor) memilih tidak beroperasi sampai situasi meredam dan adanya jaminan dari Pemerintah Kota juga aparat kepolisian untuk kenyamanan mereka berusaha.
"Kami meminta kepastian dari pemerintah agar kami bisa berusaha dengan aman dan nyaman, jangan seperti ini kami jadi khawatir," kata Adi.
Kekhawatiran serupa juga disampaikan Orchita pemilik angkot 32 yang angkotnya dirusak saat aksi keributan terjadi. Total ada dua unit angkotnya yang menjadi sasaran amukan para pengendara ojek `online` yang bringas di Terminal Laladon.
"Sopir-sopir saya minta tidak beroperasi dulu, takutlah ada apa-apa lagi nanti saya yang rugi. Kita jaga-jaga dulu sampai situasi benar-benar normal," kata Orchita pemilik delapan angkot trayek 32.
Menurut Orchita, aksi brutal yang dilakukan pengendara ojek `online` merugikan pihaknya. Saat kejadian angkot yang dikendarai oleh sopirnya sedang beroperasi di Jl menurju Sindang Barang, tetapi langsung dilempari batu hingga kaca depan dan belakang pecah.
"Padahal angkot saya ini ada di luar Terminal Laladon, tetapi tetap jadi sasaran amukan mereka," katanya.
Sementara itu, informasi yang berkembang di antara sopir angkot, sejak aksi damai di Balai Kota Bogor, Selasa (21/3), pengemudi ojek `online` tidak boleh beroperasi sampai tanggal 1 April 2017.
"Ini yang disampaikan Wali Kota Bogor, katanya ojek `online` jangan dulu beroperasi sampai 1 April. Tetapi kenapa mereka tetap aja narik penumpang," kata Adi.
Info simpang siur
Selain itu, sejak Rabu (22/3) pagi, massa ojek `online` sudah berkumpul di wilayah Dramaga. Informasi yang berkembang di antara sopir angkot, massa ojek mau melakukan `swepping`. Simpang siur informasi tersebut yang membuat kedua belah pihak terlibat bentrok yang berujung pada pengerusakan lima unit angkot diantaranya dua angkot Kota Bogor yakni trayek 03 dan 02, serta tiga angkot dari Kabupaten Bogor yakni trayek 32, Ciampea dan dua unit trayek Leuwiliang.
Sopir angkot mengaku sehari tidak beroperasi mereka justru dirugikan, tetapi demi rasa aman mereka memilih menunggu kepastian. Jejen mengatakan, satu hari maksimal harus mendapatkan Rp400 ribu. Nilai tersebut untuk biaya setoran kepada pemilik, bensin dan upah sopir yang akan dibawa pulang.
"Satu hari itu maksimal kami harus dapat Rp400 ribu, Rp200 ribu untuk pemilik Rp150 ribu untuk bawa pulang, sisanya untuk bensin," katanya.
Kerusuhan antara ojek `online` dan angkot membuat mereka tidak punya pendapatan. Para sopir mengaku pendapatan mereka berkurang sejak adanya ojek `online`, pengurangan pendapatan mencapai 40 persen.
Jejen mencontoh, sebelum ada ojek `online` ia mengangkut penumpang dari Laladon menuju Stasiun Bogor antara tujuh sampai delapan penumpang. Untuk mendapatkan penghasilan yang normal, dalam satu rit minimal angkot dapat mengangkut 10 orang penumpang.
"Tapi sejak ojek `online` ada, penumpang yang kami dapatkan dari sini (Laladon) ke Stasiun Bogor cuma dua," katanya.
Adi dan Adit (sopir angkot 03) mengaku, pihaknya tidak masalah adanya ojek `online` beroperasi. Menurut mereka itu sudah kebutuhan masyarakat dengan semakin berkembangnya teknologi. Apalagi Adi juga memiliki dua provesi sebagai `drive` ojek `online` Uber.
Tetapi, mereka ingin ada keadilan dalam berusaha, apalagi mereka percaya rezeki sudah diatur oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Mereka tidak iri jika masyarakat banyak beralih memilih tranpostrasi berbasis aplikasi.
"Tetapi, dalam aturannya ojek `online` tersebut belum diatur, mereka tidak harus izin KIR, ataupun bayar pajak. Tetapi menjamur dimana-mana, apalagi mereka suka mangkal di halte, di trotar," kata Adit.
Sementara itu, lanjut Adit, ketika angkot ngetem ditegur bahkan ditilang, angkot juga diwajibkan berplat kuning, membayar KIR dan juga pajak kendaraan.
"Kenapa angkot diatur harus taat peraturan, ada ojek `online` yang tidak mengikuti aturan dibiarkan saja," katanya.
Selain itu, Adi juga mengeluhkan pihak administrasi ojek `online` yang melakukan perekrutan tanpa kualifikasi siapa yang mereka rekrut. Khususnya Grab yang kebanyakan berasal dari anggota geng motor.
"Kami juga minta, pihak pengelola ojek online ini kalau mau merekrut anggota diseleksi, jangan asal rekrut. Apalagi Grab ini tidak membaur dengan driver lainnya (Gojek dan Uber), juga sering kali berkelompok," kata Adi.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2017
Menurut sejumlah sopir alasan mereka tidak beroperasi karena khawatir dengan adanya aksi susulan pascakericuhan Rabu (22/3) kemarin. Selain itu sopir juga ingin kejelasan atas kerusakan angkot yang dialaminya.
Angkot yang tidak beroperasi tersebut berasal dari wilayah Kota dan Kabupaten Bogor yakni trayek 02 (Bubulak-Sukasari), trayek 03 (Bubulak-Baranangsiang), trayek 32, trayek 05 Leuwiliang, dan Ciampea.
"Ya kami khawatirlah, apalagi kabarnya mau ada aksi susulan kami tidak mau jadi korban lagi," kata Jejen sopir angkot 02 saat ditemui di Terminal Laladon.
Hal senada juga disampaikan oleh Adi Raka dan Adit sopir angkot 03 (Kota Bogor) memilih tidak beroperasi sampai situasi meredam dan adanya jaminan dari Pemerintah Kota juga aparat kepolisian untuk kenyamanan mereka berusaha.
"Kami meminta kepastian dari pemerintah agar kami bisa berusaha dengan aman dan nyaman, jangan seperti ini kami jadi khawatir," kata Adi.
Kekhawatiran serupa juga disampaikan Orchita pemilik angkot 32 yang angkotnya dirusak saat aksi keributan terjadi. Total ada dua unit angkotnya yang menjadi sasaran amukan para pengendara ojek `online` yang bringas di Terminal Laladon.
"Sopir-sopir saya minta tidak beroperasi dulu, takutlah ada apa-apa lagi nanti saya yang rugi. Kita jaga-jaga dulu sampai situasi benar-benar normal," kata Orchita pemilik delapan angkot trayek 32.
Menurut Orchita, aksi brutal yang dilakukan pengendara ojek `online` merugikan pihaknya. Saat kejadian angkot yang dikendarai oleh sopirnya sedang beroperasi di Jl menurju Sindang Barang, tetapi langsung dilempari batu hingga kaca depan dan belakang pecah.
"Padahal angkot saya ini ada di luar Terminal Laladon, tetapi tetap jadi sasaran amukan mereka," katanya.
Sementara itu, informasi yang berkembang di antara sopir angkot, sejak aksi damai di Balai Kota Bogor, Selasa (21/3), pengemudi ojek `online` tidak boleh beroperasi sampai tanggal 1 April 2017.
"Ini yang disampaikan Wali Kota Bogor, katanya ojek `online` jangan dulu beroperasi sampai 1 April. Tetapi kenapa mereka tetap aja narik penumpang," kata Adi.
Info simpang siur
Selain itu, sejak Rabu (22/3) pagi, massa ojek `online` sudah berkumpul di wilayah Dramaga. Informasi yang berkembang di antara sopir angkot, massa ojek mau melakukan `swepping`. Simpang siur informasi tersebut yang membuat kedua belah pihak terlibat bentrok yang berujung pada pengerusakan lima unit angkot diantaranya dua angkot Kota Bogor yakni trayek 03 dan 02, serta tiga angkot dari Kabupaten Bogor yakni trayek 32, Ciampea dan dua unit trayek Leuwiliang.
Sopir angkot mengaku sehari tidak beroperasi mereka justru dirugikan, tetapi demi rasa aman mereka memilih menunggu kepastian. Jejen mengatakan, satu hari maksimal harus mendapatkan Rp400 ribu. Nilai tersebut untuk biaya setoran kepada pemilik, bensin dan upah sopir yang akan dibawa pulang.
"Satu hari itu maksimal kami harus dapat Rp400 ribu, Rp200 ribu untuk pemilik Rp150 ribu untuk bawa pulang, sisanya untuk bensin," katanya.
Kerusuhan antara ojek `online` dan angkot membuat mereka tidak punya pendapatan. Para sopir mengaku pendapatan mereka berkurang sejak adanya ojek `online`, pengurangan pendapatan mencapai 40 persen.
Jejen mencontoh, sebelum ada ojek `online` ia mengangkut penumpang dari Laladon menuju Stasiun Bogor antara tujuh sampai delapan penumpang. Untuk mendapatkan penghasilan yang normal, dalam satu rit minimal angkot dapat mengangkut 10 orang penumpang.
"Tapi sejak ojek `online` ada, penumpang yang kami dapatkan dari sini (Laladon) ke Stasiun Bogor cuma dua," katanya.
Adi dan Adit (sopir angkot 03) mengaku, pihaknya tidak masalah adanya ojek `online` beroperasi. Menurut mereka itu sudah kebutuhan masyarakat dengan semakin berkembangnya teknologi. Apalagi Adi juga memiliki dua provesi sebagai `drive` ojek `online` Uber.
Tetapi, mereka ingin ada keadilan dalam berusaha, apalagi mereka percaya rezeki sudah diatur oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Mereka tidak iri jika masyarakat banyak beralih memilih tranpostrasi berbasis aplikasi.
"Tetapi, dalam aturannya ojek `online` tersebut belum diatur, mereka tidak harus izin KIR, ataupun bayar pajak. Tetapi menjamur dimana-mana, apalagi mereka suka mangkal di halte, di trotar," kata Adit.
Sementara itu, lanjut Adit, ketika angkot ngetem ditegur bahkan ditilang, angkot juga diwajibkan berplat kuning, membayar KIR dan juga pajak kendaraan.
"Kenapa angkot diatur harus taat peraturan, ada ojek `online` yang tidak mengikuti aturan dibiarkan saja," katanya.
Selain itu, Adi juga mengeluhkan pihak administrasi ojek `online` yang melakukan perekrutan tanpa kualifikasi siapa yang mereka rekrut. Khususnya Grab yang kebanyakan berasal dari anggota geng motor.
"Kami juga minta, pihak pengelola ojek online ini kalau mau merekrut anggota diseleksi, jangan asal rekrut. Apalagi Grab ini tidak membaur dengan driver lainnya (Gojek dan Uber), juga sering kali berkelompok," kata Adi.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2017