20 Desember 1945.
“Mata-mata musuh yang menjual Kota Bandung satu miliun!” teriak para pemuda laskar itu. “Agen NICA! Mata-mata musuh!”
“Nak, saya jangan dimatikan, saya orang baik,” ujar laki-laki separuh baya itu, mencoba menghentikan amarah para pemuda yang membawa berbagai senjata tajam, yang mengurung dirinya di tepi Pantai Ketapang, Mauk, Tangerang, pagi itu, sekitar pukul 08.30. Kedua tangannya bergerak tanpa arah mencoba menahan sabetan senjata para pengeroyok itu.
Ia mengeluarkan kain dari sakunya dan berteriak, “Ini bukti saya bukan agen NICA, bukan mata-mata, bawa ini pada Bung Karno!” Lalu sebuah belati yang terayun dari leher bagian belakang membuat laki-laki itu terhuyung jatuh. Darah mengucur deras. Seorang laki-laki lain yang turut digiring ke tepi pantai juga diperlakukan sama.
Tubuh dua laki-laki yang jadi korban itu terapung di atas air laut. Dan para pemuda pelaku eksekusi itu lalu pergi begitu saja meninggalkan keduanya. Para pemuda itu tak tahu dan tak sadar siapa yang baru saja mereka bunuh itu. Sementara itu seseorang yang sejak tadi mengawasi dari jauh tak berani mendekat. Ia hanya melihat tubuh korban yang telah menjadi mayat itu terbawa air laut.
Laki-laki yang dituduh sebagai mata-mata itu adalah Oto Iskandar Di Nata, dan laki-laki lain yang dibunuh bersamanya ialah Hasbi bin Nasimun. Para pembunuhnya, para pemuda itu, adalah anggota Laskar Hitam dari Tangerang. Sedangkan seseorang yang melihatnya dari jauh adalah Djumadi, seorang anggota Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang sudah mengenal Oto sejak 1932.
Jasad Oto tidak pernah diketemukan.
Narasi kronologi pembunuhan Oto Iskandar Di Nata, pahlawan nasional yang juga dikenal dengan julukan Si Jalak Harupat itu, penulis susun berdasar laporan LKBN ANTARA dan media lain pada tahun 1950-an. Persidangan penculik dan pembunuh Oto tersebut diliput secara detail oleh ANTARA.
Oto dan pekik "Merdeka"
Setelah Proklamasi Kemerdekaan, Oto menjabat sebagai Menteri Negara di kabinet pertama Republik Indonesia tahun 1945. Ia bertugas mempersiapkan terbentuknya BKR dari laskar-laskar rakyat yang tersebar di seluruh Indonesia.
Awal ketertarikan penulis pada tokoh Oto Iskandar Di Nata ialah ketika secara tak sengaja menemukan data pengadilan Mujitaba bin Murkam, salah seorang yang terlibat dalam penculikan dan pembunuhan Oto.
Saat itu, pada 2003-2004, penulis sedang “membongkar” dokumen Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) ANTARA periode 1950-59, untuk kepentingan penulisan biografi Jaksa Agung Soeprapto. Dalam periode itulah pengadilan pembunuhan atas Oto bisa diikuti cukup runtut.
Pada pengujung 1950, 5 tahun setelah Oto dibunuh, Bung Karno bahkan belum yakin bahwa Oto sudah wafat. Wartawan Kantor Berita ANTARA, 29 September 1950, menulis pernyataan Bung Karno yang mengatakan, “... bahwa jika memang beliau telah meninggal dunia, maka Presiden menyatakan hormatnya kepada arwah Oto Iskandar Di Nata, serta mendoakan agar supaya almarhum diberi Allah tempat yang sebaik-baiknya dalam barzah.”
Setelah kemerdekaan diraih dan semua kelengkapan negara baru disepakati, muncul keperluan pada sebuah pekik yang dapat mempersatukan semua komponen bangsa.
Oto termasuk yang gelisah memikirkan pekik tersebut. Mereka belum punya dan merasakan perlu ada satu kesamaan dalam menyatakan prestasi puncak perjuangan meraih kemerdekaan.
Sehari setelah pelantikan anggota KNIP oleh Soekarno, 22 Agustus 1945, di Kramat diadakan rapat Badan Penolong Keluarga Korban Perang sebagai metamorfosis dari badan Pembantu Prajurit yang sebelumnya mengelola PETA dan Heiho. Pertemuan ini dihadiri oleh semua Daidanco dan ketua BPKKP dari tingkat keresidenan se-Jawa. Dalam rapat tersebut, Oto menganjurkan, untuk kali pertama penggunaan pekik “Merdeka”.
Informasi itu dikemukakan oleh Sutisna Senjaya (Sutsen) dalam harian Sipatahoenan pada penghujung bulan September 1950. Sutsen bermaksud mengoreksi wacana yang beredar, yang disuarakan oleh Arnold Mononutu bahwa pencipta pekik “Merdeka” adalah Soekarno. Kantor berita ANTARA (29/091950) kemudian mengangkat polemik ini ke tingkat nasional. Salah seorang wartawannya, menemui Presiden Soekarno untuk meminta konfirmasi.
Menurut Soekarno, dalam rapat BPKKP di Kramat, oleh Oto dianjurkan untuk memberi salam satu sama lain dengan ucapan “Indonesia Merdeka”. Pada tanggal 1 September 1945, oleh Presiden dikeluarkan dekrit untuk memberi salam satu sama lain dengan ucapan “Merdeka”.
Sebelumnya, pada 19 Agustus 1945, Soekarno melakukan pembicaraan dengan Oto dan keduanya merasakan benar perlunya satu pekik yang dapat menggelorakan jiwa seluruh rakyat Indonesia. Beberapa pekik yang terlontar adalah: “Hidup”, “Indonesia”, “Indonesia Merdeka”. Pada pembicaraan itu, keduanya belum sampai pada satu keputusan. Pekik “Merdeka” pada saat itu belum terpikirkan. Namun, Soekarno memperkirakan bahwa ada kemungkinan pekik “Merdeka” sudah diucapkan orang sebelum bulan September 1945.
Ukar Bratakusumah, tokoh Paguyuban Pasundan dan pernah menjabat Menteri Pekerjaan Umum (1951-52), juga berpendapat bahwa pencetus pekik merdeka untuk pertama kali adalah Oto.
“Kalau menurut pendapat saya, Oto Iskandar Di Nata, yaitu pada suatu malam ketika kami berkumpul di rumah Oto Iskandar Di Nata dekat Prapatan Lima. Dia mengatakan, agar kita mendapat semangat, kan baik bila menyebar dan merakyat dengan menyebut “Merdeka, Merdeka, Merdeka!” perkataan Merdeka akhirnya menjadi semboyan dan jelas pula, perkataan itu Oto Iskandar Di Nata yang menyampaikan gagasan pertama.”
Detail Eksekusi
Kita kembali ke kasus penculikan dan pembunuhan Oto.
Orang yang terakhir bertemu Oto pada hari penculikan ialah Sanusi Hardjadinata yang di kemudian hari menjadi Gubernur Jawa Barat. Hal ini diakui Sanusi pada peringatan hari wafat Oto 21/12/1956, yang dimuat ANTARA keesokan harinya.
Menurutnya, pada Desember 1945, ia sedang bercakap-cakap dengan Oto di Jalan Kapas Jakarta. “Tiba-tiba datanglah beberapa orang pemuda mengambil almarhum.” Sanusi segera melaporkan kejadian itu kepada yang berwajib, tetapi laporannya tidak mendapat perhatian. “Maklumlah pada waktu itu saya bukan orang terkemuka dan tidak mendapat perhatian dari yang berwajib.”
Persidangan kasus Oto ini berakhir dengan vonis 15 tahun untuk Mujitaba, seperti yang penulis dapatkan dalam biografi Priyatna Abdurrasyid, salah seorang jaksa penuntut umum, ditulis oleh Ramadhan KH yang berjudul, "Dari Cilampeni ke New York Mengikuti Hati Nurani" (Sinar Harapan, 2001).
Dari laporan ANTARA juga dapat disusun proses penculikan Oto sebagai berikut.
Para pemuda laskar itu membawa Oto dari Jakarta ke sebuah penjara polisi di Tangerang. Terdakwa Mujitaba bin Murkam pada pengadilan 16 Agustus 1958, mengakui bahwa pada suatu hari di bulan Desember 1945, ia diperintahkan oleh Direktorium Tangerang untuk mengambil H. Hasbi bin Haji Nasimun dari penjara Tanah Tinggi, Tangerang. Sementara sepasukan Laskar Rakyat diperintahkan pergi ke asrama polisi untuk mengambil Oto. Dalam deskripsi terdakwa, Oto saat itu adalah seorang laki-laki setengah tua, tinggi, berpakaian jas dan bercelana panjang, dan memakai topi (helmhoed).
Setelah dihadapkan kepada Direktorium, terdakwa bersama Usman, Lampung, Dullah, dan Mail, diperintahkan oleh Sumo untuk membawa kedua tahanan itu ke Mauk. Dalam perjalanan, kedua tahanan didampingi kiri-kanan oleh Usman dan Lampung. Adapun terdakwa mengawal perjalanan dengan duduk di dispatbord. Bersama mereka, turut pula beberapa anggota laskar yang duduk di kap dan dispatbord mobil bercat hitam. Mereka berpakaian serba hitam dan bersenjatakan pistol serta golok. Tiba di Mauk menjelang magrib, kedua tahanan itu diserahkan kepada pimpinan BKR bernama Djumadi dalam waktu terpisah.
Hasbi diturunkan terlebih dahulu. Sambil memegang golok, Mujibata berkata, “Ini saya tarok mata-mata musuh, sebentar akan saya bawa lagi ke sini seorang mata-mata musuh dari Bandung.” Sambil beranjak pergi hendak mengambil tahanan satunya, ia mengancam, “Ini jangan hilang, kalau hilang gantinya orang-orang di sini.”
Djumadi hanya bisa melihat kejadian itu dan diliputi perasaan penuh ketakutan. Sekira pukul tujuh malam, Mujitaba datang lagi dengan mobil yang sama lalu menyerahkan Oto. Kedua tahanan itu lalu dimasukkan ke dalam sel.
Keesokan paginya, eksekusi dilakukan atas perintah Sumo, salah seorang dari empat serangkai pendiri Direktorium Tangerang. Tiga pemimpin lain ialah Achmad Choirun, Suwono, dan Abas. Setelah eksekusi berlangsung, satu regu pasukan datang untuk memeriksa kedua tahanan, tetapi mereka telah terlambat. Terkesan ada keraguan di kalangan Laskar Hitam dan Direktorium Tangerang, bagaimana harus memperlakukan Oto. Kalau melihat waktu eksekusi, saat itu Direktorium telah resmi memisahkan diri dari RI. Artinya, Direktorium menganggap RI sebagai “musuh” dan Oto adalah salah seorang mantan menteri negara RI atau pengikut setia "Republiknya" Soekarno.
Upaya mencari kaitan kematian Oto dengan Laskar Hitam, ternyata tidak ditemukan hasil memuaskan. Sekalipun saat eksekusi mereka meneriakkan bahwa Oto adalah “mata-mata musuh” yang maksudnya NICA atau Jepang, tetapi bingkai politik di seputar Laskar Hitam menjelaskan bahwa merekalah yang justru menjadi musuh RI karena telah menyatakan pelepasan diri dari Republik Indonesia. Direktorium pimpinan Achmad Chairun saat itu (21 Oktober 1945 – 14 Januari 1946) mengambil alih pemerintahan Tangerang. Motivasi kelompok Direktorium atau Laskar Hitam dalam pembunuhan itu, karenanya menjadi kabur.
Pada 18 Oktober 1945, Achmad Chairun yang menyebut dirinya sebagai “Bapak Rakyat” Tangerang, memimpin pengambilalihan kekuasaan. Chairun mengangkat dirinya sebagai Bupati Tangerang. Tiga hari kemudian, aparatur baru dari tingkat kabupaten hingga kelurahan ditetapkan mengganti pejabat sebelumnya. Ditetapkan pula Tangerang lepas dari Republik Indonesia, dan sejak saat itu berdirilah Republik Tangerang yang beraliran komunis. Untuk mengoordinasikan kekuasaannya, mereka membentuk suatu direktorium yang dikomando oleh empat serangkai, yakni Achmad Chairun, Sumo, Suwono, dan Abas. Adapun Mujitaba menjabat sebagai Sekretaris Badan Penasihat.
Dalam persidangan, atas permintaan Jaksa Mr. Priyatna, Mujitaba memberikan keterangan mengenai riwayat hidupnya. Ia menjelaskan bahwa pada masa pendudukan Jepang, ia hidup sebagai pedagang warung kecil di Teluk Naga, Tangerang. Tahun 1945, ia bergabung sebagai anggota Laskar Rakyat yang aktif berjuang melawan tentara pendudukan. Setahun berselang, ia menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Tangerang, merangkap sebagai pegawai bidang penerangan. Saat itu bupati Tangerang adalah Achmad Chairun. Terdakwa juga menjadi sekretaris Dewan Penasehat Agung yang mendampingi pemerintahan kabupaten. Pada 1947--49, ia menjadi anggota polisi RI dan ikut bergerilya ke hutan melawan tentara Belanda. Suatu ketika, dalam perjalanan menemui keluarganya ke Tangerang, ia tertangkap tentara NICA, kemudian diserahkan kepada KNIL. Ia dipenjara di tahanan Mauk. Dalam waktu itulah terdakwa bergabung ke dalam KNIL.
Mengapa hanya Mujitaba yang divonis? Karena pada saat persidangan dimulai, para pelaku yang lain sudah meninggal dunia. Dengan demikian, tinggallah Mujitaba seorang pelaku penculikan dan pembunuhan Oto yang masih hidup.
*) Iip D. Yahya, peneliti dan penulis, tinggal di Bandung
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2024
“Mata-mata musuh yang menjual Kota Bandung satu miliun!” teriak para pemuda laskar itu. “Agen NICA! Mata-mata musuh!”
“Nak, saya jangan dimatikan, saya orang baik,” ujar laki-laki separuh baya itu, mencoba menghentikan amarah para pemuda yang membawa berbagai senjata tajam, yang mengurung dirinya di tepi Pantai Ketapang, Mauk, Tangerang, pagi itu, sekitar pukul 08.30. Kedua tangannya bergerak tanpa arah mencoba menahan sabetan senjata para pengeroyok itu.
Ia mengeluarkan kain dari sakunya dan berteriak, “Ini bukti saya bukan agen NICA, bukan mata-mata, bawa ini pada Bung Karno!” Lalu sebuah belati yang terayun dari leher bagian belakang membuat laki-laki itu terhuyung jatuh. Darah mengucur deras. Seorang laki-laki lain yang turut digiring ke tepi pantai juga diperlakukan sama.
Tubuh dua laki-laki yang jadi korban itu terapung di atas air laut. Dan para pemuda pelaku eksekusi itu lalu pergi begitu saja meninggalkan keduanya. Para pemuda itu tak tahu dan tak sadar siapa yang baru saja mereka bunuh itu. Sementara itu seseorang yang sejak tadi mengawasi dari jauh tak berani mendekat. Ia hanya melihat tubuh korban yang telah menjadi mayat itu terbawa air laut.
Laki-laki yang dituduh sebagai mata-mata itu adalah Oto Iskandar Di Nata, dan laki-laki lain yang dibunuh bersamanya ialah Hasbi bin Nasimun. Para pembunuhnya, para pemuda itu, adalah anggota Laskar Hitam dari Tangerang. Sedangkan seseorang yang melihatnya dari jauh adalah Djumadi, seorang anggota Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang sudah mengenal Oto sejak 1932.
Jasad Oto tidak pernah diketemukan.
Narasi kronologi pembunuhan Oto Iskandar Di Nata, pahlawan nasional yang juga dikenal dengan julukan Si Jalak Harupat itu, penulis susun berdasar laporan LKBN ANTARA dan media lain pada tahun 1950-an. Persidangan penculik dan pembunuh Oto tersebut diliput secara detail oleh ANTARA.
Oto dan pekik "Merdeka"
Setelah Proklamasi Kemerdekaan, Oto menjabat sebagai Menteri Negara di kabinet pertama Republik Indonesia tahun 1945. Ia bertugas mempersiapkan terbentuknya BKR dari laskar-laskar rakyat yang tersebar di seluruh Indonesia.
Awal ketertarikan penulis pada tokoh Oto Iskandar Di Nata ialah ketika secara tak sengaja menemukan data pengadilan Mujitaba bin Murkam, salah seorang yang terlibat dalam penculikan dan pembunuhan Oto.
Saat itu, pada 2003-2004, penulis sedang “membongkar” dokumen Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) ANTARA periode 1950-59, untuk kepentingan penulisan biografi Jaksa Agung Soeprapto. Dalam periode itulah pengadilan pembunuhan atas Oto bisa diikuti cukup runtut.
Pada pengujung 1950, 5 tahun setelah Oto dibunuh, Bung Karno bahkan belum yakin bahwa Oto sudah wafat. Wartawan Kantor Berita ANTARA, 29 September 1950, menulis pernyataan Bung Karno yang mengatakan, “... bahwa jika memang beliau telah meninggal dunia, maka Presiden menyatakan hormatnya kepada arwah Oto Iskandar Di Nata, serta mendoakan agar supaya almarhum diberi Allah tempat yang sebaik-baiknya dalam barzah.”
Setelah kemerdekaan diraih dan semua kelengkapan negara baru disepakati, muncul keperluan pada sebuah pekik yang dapat mempersatukan semua komponen bangsa.
Oto termasuk yang gelisah memikirkan pekik tersebut. Mereka belum punya dan merasakan perlu ada satu kesamaan dalam menyatakan prestasi puncak perjuangan meraih kemerdekaan.
Sehari setelah pelantikan anggota KNIP oleh Soekarno, 22 Agustus 1945, di Kramat diadakan rapat Badan Penolong Keluarga Korban Perang sebagai metamorfosis dari badan Pembantu Prajurit yang sebelumnya mengelola PETA dan Heiho. Pertemuan ini dihadiri oleh semua Daidanco dan ketua BPKKP dari tingkat keresidenan se-Jawa. Dalam rapat tersebut, Oto menganjurkan, untuk kali pertama penggunaan pekik “Merdeka”.
Informasi itu dikemukakan oleh Sutisna Senjaya (Sutsen) dalam harian Sipatahoenan pada penghujung bulan September 1950. Sutsen bermaksud mengoreksi wacana yang beredar, yang disuarakan oleh Arnold Mononutu bahwa pencipta pekik “Merdeka” adalah Soekarno. Kantor berita ANTARA (29/091950) kemudian mengangkat polemik ini ke tingkat nasional. Salah seorang wartawannya, menemui Presiden Soekarno untuk meminta konfirmasi.
Menurut Soekarno, dalam rapat BPKKP di Kramat, oleh Oto dianjurkan untuk memberi salam satu sama lain dengan ucapan “Indonesia Merdeka”. Pada tanggal 1 September 1945, oleh Presiden dikeluarkan dekrit untuk memberi salam satu sama lain dengan ucapan “Merdeka”.
Sebelumnya, pada 19 Agustus 1945, Soekarno melakukan pembicaraan dengan Oto dan keduanya merasakan benar perlunya satu pekik yang dapat menggelorakan jiwa seluruh rakyat Indonesia. Beberapa pekik yang terlontar adalah: “Hidup”, “Indonesia”, “Indonesia Merdeka”. Pada pembicaraan itu, keduanya belum sampai pada satu keputusan. Pekik “Merdeka” pada saat itu belum terpikirkan. Namun, Soekarno memperkirakan bahwa ada kemungkinan pekik “Merdeka” sudah diucapkan orang sebelum bulan September 1945.
Ukar Bratakusumah, tokoh Paguyuban Pasundan dan pernah menjabat Menteri Pekerjaan Umum (1951-52), juga berpendapat bahwa pencetus pekik merdeka untuk pertama kali adalah Oto.
“Kalau menurut pendapat saya, Oto Iskandar Di Nata, yaitu pada suatu malam ketika kami berkumpul di rumah Oto Iskandar Di Nata dekat Prapatan Lima. Dia mengatakan, agar kita mendapat semangat, kan baik bila menyebar dan merakyat dengan menyebut “Merdeka, Merdeka, Merdeka!” perkataan Merdeka akhirnya menjadi semboyan dan jelas pula, perkataan itu Oto Iskandar Di Nata yang menyampaikan gagasan pertama.”
Detail Eksekusi
Kita kembali ke kasus penculikan dan pembunuhan Oto.
Orang yang terakhir bertemu Oto pada hari penculikan ialah Sanusi Hardjadinata yang di kemudian hari menjadi Gubernur Jawa Barat. Hal ini diakui Sanusi pada peringatan hari wafat Oto 21/12/1956, yang dimuat ANTARA keesokan harinya.
Menurutnya, pada Desember 1945, ia sedang bercakap-cakap dengan Oto di Jalan Kapas Jakarta. “Tiba-tiba datanglah beberapa orang pemuda mengambil almarhum.” Sanusi segera melaporkan kejadian itu kepada yang berwajib, tetapi laporannya tidak mendapat perhatian. “Maklumlah pada waktu itu saya bukan orang terkemuka dan tidak mendapat perhatian dari yang berwajib.”
Persidangan kasus Oto ini berakhir dengan vonis 15 tahun untuk Mujitaba, seperti yang penulis dapatkan dalam biografi Priyatna Abdurrasyid, salah seorang jaksa penuntut umum, ditulis oleh Ramadhan KH yang berjudul, "Dari Cilampeni ke New York Mengikuti Hati Nurani" (Sinar Harapan, 2001).
Dari laporan ANTARA juga dapat disusun proses penculikan Oto sebagai berikut.
Para pemuda laskar itu membawa Oto dari Jakarta ke sebuah penjara polisi di Tangerang. Terdakwa Mujitaba bin Murkam pada pengadilan 16 Agustus 1958, mengakui bahwa pada suatu hari di bulan Desember 1945, ia diperintahkan oleh Direktorium Tangerang untuk mengambil H. Hasbi bin Haji Nasimun dari penjara Tanah Tinggi, Tangerang. Sementara sepasukan Laskar Rakyat diperintahkan pergi ke asrama polisi untuk mengambil Oto. Dalam deskripsi terdakwa, Oto saat itu adalah seorang laki-laki setengah tua, tinggi, berpakaian jas dan bercelana panjang, dan memakai topi (helmhoed).
Setelah dihadapkan kepada Direktorium, terdakwa bersama Usman, Lampung, Dullah, dan Mail, diperintahkan oleh Sumo untuk membawa kedua tahanan itu ke Mauk. Dalam perjalanan, kedua tahanan didampingi kiri-kanan oleh Usman dan Lampung. Adapun terdakwa mengawal perjalanan dengan duduk di dispatbord. Bersama mereka, turut pula beberapa anggota laskar yang duduk di kap dan dispatbord mobil bercat hitam. Mereka berpakaian serba hitam dan bersenjatakan pistol serta golok. Tiba di Mauk menjelang magrib, kedua tahanan itu diserahkan kepada pimpinan BKR bernama Djumadi dalam waktu terpisah.
Hasbi diturunkan terlebih dahulu. Sambil memegang golok, Mujibata berkata, “Ini saya tarok mata-mata musuh, sebentar akan saya bawa lagi ke sini seorang mata-mata musuh dari Bandung.” Sambil beranjak pergi hendak mengambil tahanan satunya, ia mengancam, “Ini jangan hilang, kalau hilang gantinya orang-orang di sini.”
Djumadi hanya bisa melihat kejadian itu dan diliputi perasaan penuh ketakutan. Sekira pukul tujuh malam, Mujitaba datang lagi dengan mobil yang sama lalu menyerahkan Oto. Kedua tahanan itu lalu dimasukkan ke dalam sel.
Keesokan paginya, eksekusi dilakukan atas perintah Sumo, salah seorang dari empat serangkai pendiri Direktorium Tangerang. Tiga pemimpin lain ialah Achmad Choirun, Suwono, dan Abas. Setelah eksekusi berlangsung, satu regu pasukan datang untuk memeriksa kedua tahanan, tetapi mereka telah terlambat. Terkesan ada keraguan di kalangan Laskar Hitam dan Direktorium Tangerang, bagaimana harus memperlakukan Oto. Kalau melihat waktu eksekusi, saat itu Direktorium telah resmi memisahkan diri dari RI. Artinya, Direktorium menganggap RI sebagai “musuh” dan Oto adalah salah seorang mantan menteri negara RI atau pengikut setia "Republiknya" Soekarno.
Upaya mencari kaitan kematian Oto dengan Laskar Hitam, ternyata tidak ditemukan hasil memuaskan. Sekalipun saat eksekusi mereka meneriakkan bahwa Oto adalah “mata-mata musuh” yang maksudnya NICA atau Jepang, tetapi bingkai politik di seputar Laskar Hitam menjelaskan bahwa merekalah yang justru menjadi musuh RI karena telah menyatakan pelepasan diri dari Republik Indonesia. Direktorium pimpinan Achmad Chairun saat itu (21 Oktober 1945 – 14 Januari 1946) mengambil alih pemerintahan Tangerang. Motivasi kelompok Direktorium atau Laskar Hitam dalam pembunuhan itu, karenanya menjadi kabur.
Pada 18 Oktober 1945, Achmad Chairun yang menyebut dirinya sebagai “Bapak Rakyat” Tangerang, memimpin pengambilalihan kekuasaan. Chairun mengangkat dirinya sebagai Bupati Tangerang. Tiga hari kemudian, aparatur baru dari tingkat kabupaten hingga kelurahan ditetapkan mengganti pejabat sebelumnya. Ditetapkan pula Tangerang lepas dari Republik Indonesia, dan sejak saat itu berdirilah Republik Tangerang yang beraliran komunis. Untuk mengoordinasikan kekuasaannya, mereka membentuk suatu direktorium yang dikomando oleh empat serangkai, yakni Achmad Chairun, Sumo, Suwono, dan Abas. Adapun Mujitaba menjabat sebagai Sekretaris Badan Penasihat.
Dalam persidangan, atas permintaan Jaksa Mr. Priyatna, Mujitaba memberikan keterangan mengenai riwayat hidupnya. Ia menjelaskan bahwa pada masa pendudukan Jepang, ia hidup sebagai pedagang warung kecil di Teluk Naga, Tangerang. Tahun 1945, ia bergabung sebagai anggota Laskar Rakyat yang aktif berjuang melawan tentara pendudukan. Setahun berselang, ia menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Tangerang, merangkap sebagai pegawai bidang penerangan. Saat itu bupati Tangerang adalah Achmad Chairun. Terdakwa juga menjadi sekretaris Dewan Penasehat Agung yang mendampingi pemerintahan kabupaten. Pada 1947--49, ia menjadi anggota polisi RI dan ikut bergerilya ke hutan melawan tentara Belanda. Suatu ketika, dalam perjalanan menemui keluarganya ke Tangerang, ia tertangkap tentara NICA, kemudian diserahkan kepada KNIL. Ia dipenjara di tahanan Mauk. Dalam waktu itulah terdakwa bergabung ke dalam KNIL.
Mengapa hanya Mujitaba yang divonis? Karena pada saat persidangan dimulai, para pelaku yang lain sudah meninggal dunia. Dengan demikian, tinggallah Mujitaba seorang pelaku penculikan dan pembunuhan Oto yang masih hidup.
*) Iip D. Yahya, peneliti dan penulis, tinggal di Bandung
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2024