Ketua MPR RI Bambang Soesatyo alias Bamsoet menggandeng Dewan Pimpinan Wilayah Lembaga Dakwah Islam Indonesia (DPW) LDII Jawa Tengah menggelar Sosialisasi Empat Pilar Kebangsaan.
Bamsoet dalam keterangan resminya, Minggu, menegaskan alasan mengapa dirinya terus mensosialisasikan konsensus kebangsaan tersebut. Menurut dia, sejak pasca reformasi, mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan telah dihapus.
“Maka terjadilah pergeseran nilai-nilai kebangsaan atau nasionalisme. Kita masih ingat beberapa peristiwa yang terjadi saat itu seperti kasus Sampit misalnya, ini dampak dari tidak hadirnya negara dalam pembinaan mental ideologi bangsa,” kata dia.
Bahkan, dalam setiap acara empat pilar kebangsaan, Bamsoet selalu menyampaikan bahwa sistem demokrasi yang saat ini terjadi telah bergeser menjadi demokrasi transaksional, terjebak dalam angka-angka.
“Nomor piro wani piro. Jadi apa yang kita harapkan dengan demokrasi kita hari ini? Ketika mengunjungi berbagai perguruan tinggi, saya meminta badan pengkajian di kampus tersebut untuk mengkaji kembali demokrasi saat ini. Demokrasi kita transaksional, bicara angka. Tingkat korupsi semakin tinggi. Hampir 680-an pejabat negara terjerat korupsi,” bebernya.
Sementara, Ketua DPW LDII Jawa Tengah Singgih Tri Sulistiyono menanggapi soal keberagaman dalam bingkai persatuan, mengatakan awal kemerdekaan, para aktivis saat itu membangun narasi yang romantis seperti misalnya, “Atas dasar rasa senasib sepenanggungan, maka kita siap berjuang,” itu sudah bisa memunculkan rasa persatuan.
“Namun jika narasi di atas disampaikan ke masyarakat sekarang, rasa-rasanya tidak mempan untuk membangun persatuan,” kata Singgih yang juga Guru Besar Ilmu Sejarah Universitas Diponegoro.
“Untuk itu, membicarakan nasionalisme hari ini harus diwujudkan dengan mewujudkan cita-cita yang dirumuskan oleh para pendiri bangsa. Seperti melindungi segenap bangsa Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan seterusnya,” kata Singgih.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2024
Bamsoet dalam keterangan resminya, Minggu, menegaskan alasan mengapa dirinya terus mensosialisasikan konsensus kebangsaan tersebut. Menurut dia, sejak pasca reformasi, mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan telah dihapus.
“Maka terjadilah pergeseran nilai-nilai kebangsaan atau nasionalisme. Kita masih ingat beberapa peristiwa yang terjadi saat itu seperti kasus Sampit misalnya, ini dampak dari tidak hadirnya negara dalam pembinaan mental ideologi bangsa,” kata dia.
Bahkan, dalam setiap acara empat pilar kebangsaan, Bamsoet selalu menyampaikan bahwa sistem demokrasi yang saat ini terjadi telah bergeser menjadi demokrasi transaksional, terjebak dalam angka-angka.
“Nomor piro wani piro. Jadi apa yang kita harapkan dengan demokrasi kita hari ini? Ketika mengunjungi berbagai perguruan tinggi, saya meminta badan pengkajian di kampus tersebut untuk mengkaji kembali demokrasi saat ini. Demokrasi kita transaksional, bicara angka. Tingkat korupsi semakin tinggi. Hampir 680-an pejabat negara terjerat korupsi,” bebernya.
Sementara, Ketua DPW LDII Jawa Tengah Singgih Tri Sulistiyono menanggapi soal keberagaman dalam bingkai persatuan, mengatakan awal kemerdekaan, para aktivis saat itu membangun narasi yang romantis seperti misalnya, “Atas dasar rasa senasib sepenanggungan, maka kita siap berjuang,” itu sudah bisa memunculkan rasa persatuan.
“Namun jika narasi di atas disampaikan ke masyarakat sekarang, rasa-rasanya tidak mempan untuk membangun persatuan,” kata Singgih yang juga Guru Besar Ilmu Sejarah Universitas Diponegoro.
“Untuk itu, membicarakan nasionalisme hari ini harus diwujudkan dengan mewujudkan cita-cita yang dirumuskan oleh para pendiri bangsa. Seperti melindungi segenap bangsa Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan seterusnya,” kata Singgih.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2024