"No one can make you feel inferior without your consent,” atau yang berarti "Tidak ada yang bisa membuat Anda merasa rendah diri tanpa persetujuan Anda," itu lah sepenggal kalimat yang pernah dilontarkan oleh Eleanor Roosevelt, salah satu ibu negara Amerika Serikat di tahun 90an.
Konsep diri yang kuat akan menjadi tameng bagi seseorang untuk menghalau rasa rendah diri. Utamanya bagi perempuan di Indonesia yang hidup berdampingan dengan budaya patriarki.
Tradisi masyarakat yang kerap membingkai peran perempuan menjadi karakter yang lemah, kelompok kelas dua, membuat banyak perempuan tidak merdeka menjalani hidupnya. Bahkan pada lingkup terdekat seperti keluarga, perempuan masih dikangkangi oleh relasi kuasa.
Komnas Perempuan mencatat dari 11.105 kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) pada tahun 2020, sebanyak 59 persen atau 6.555 adalah kekerasan terhadap istri.
Aktivis pemerhati isu perempuan Alissa Wahid melihat kekerasan terhadap perempuan khususnya di ruang domestik seperti rumah tangga dipengaruhi oleh konstruksi sosial dan relasi kuasa yang saling terikat.
"Konstruksi sosial membentuk ukuran bagi laki-laki, menjadi manusia hebat itu ketika dia bisa menunjukkan kekuasaannya. Hasilnya kemudian banyak laki-laki menunjukkan kejantanannya dengan melakukan tekanan kepada pihak lain," kata Alissa.
Sebagai pihak yang kerap dianggap lebih lemah, perempuan lebih rentan mengalami kekerasan. Terlebih bagi perempuan yang mungkin memiliki trauma atau mereka yang konsep dirinya belum tumbuh secara utuh.
Baca juga: Psikolog ungkap alasan perempuan rentan alami kekerasan
Dampak psikologis korban KDRT
Tindak kekerasan dalam rumah tangga bukan hanya berbentuk fisik, melainkan juga bisa menjelma dalam bentuk verbal dan sosial. Apapun bentuk kekerasan yang diterima oleh perempuan, seluruhnya akan berdampak langsung terhadap kondisi psikologisnya.
Psikolog dari Universitas Indonesia Mellia Christia melihat kekerasan yang terus didapat oleh seorang perempuan akan meruntuhkan kepercayaan dirinya dan menuntunnya kepada pertanyaan yang berujung pada keraguan diri.
"Kok bisa ya saya dipukuli? Apa memang saya tidak kompeten sehingga pantas mendapat perlakukan seperti ini? Kenapa ya saya lemah sekali?" Pertanyaan soal eksistensi diri dan keberhargaan itu kian bergema di kepala korban KDRT, sehingga hal tersebut semacam menjadi afirmasi dalam dirinya yang seolah membenarkan bahwa ia adalah sosok yang lemah dan pantas memperoleh kekerasan.
Keraguan atas kompetensi diri akan semakin kuat saat korban telah menjadi seorang ibu. Ia akan mempertanyakan kemampuannya menjadi penopang bagi sang anak sementara ia sendiri telah mengalami kekerasan.
Perasaan-perasaan yang mungkin timbul seperti dendam dan perasaan tidak berdaya akan berdampak pada cara pandang korban terhadap masa depan.
Baca juga: Tiga perempuan Indonesia jadi korban KDRT dalam setiap jam
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2023
Konsep diri yang kuat akan menjadi tameng bagi seseorang untuk menghalau rasa rendah diri. Utamanya bagi perempuan di Indonesia yang hidup berdampingan dengan budaya patriarki.
Tradisi masyarakat yang kerap membingkai peran perempuan menjadi karakter yang lemah, kelompok kelas dua, membuat banyak perempuan tidak merdeka menjalani hidupnya. Bahkan pada lingkup terdekat seperti keluarga, perempuan masih dikangkangi oleh relasi kuasa.
Komnas Perempuan mencatat dari 11.105 kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) pada tahun 2020, sebanyak 59 persen atau 6.555 adalah kekerasan terhadap istri.
Aktivis pemerhati isu perempuan Alissa Wahid melihat kekerasan terhadap perempuan khususnya di ruang domestik seperti rumah tangga dipengaruhi oleh konstruksi sosial dan relasi kuasa yang saling terikat.
"Konstruksi sosial membentuk ukuran bagi laki-laki, menjadi manusia hebat itu ketika dia bisa menunjukkan kekuasaannya. Hasilnya kemudian banyak laki-laki menunjukkan kejantanannya dengan melakukan tekanan kepada pihak lain," kata Alissa.
Sebagai pihak yang kerap dianggap lebih lemah, perempuan lebih rentan mengalami kekerasan. Terlebih bagi perempuan yang mungkin memiliki trauma atau mereka yang konsep dirinya belum tumbuh secara utuh.
Baca juga: Psikolog ungkap alasan perempuan rentan alami kekerasan
Dampak psikologis korban KDRT
Tindak kekerasan dalam rumah tangga bukan hanya berbentuk fisik, melainkan juga bisa menjelma dalam bentuk verbal dan sosial. Apapun bentuk kekerasan yang diterima oleh perempuan, seluruhnya akan berdampak langsung terhadap kondisi psikologisnya.
Psikolog dari Universitas Indonesia Mellia Christia melihat kekerasan yang terus didapat oleh seorang perempuan akan meruntuhkan kepercayaan dirinya dan menuntunnya kepada pertanyaan yang berujung pada keraguan diri.
"Kok bisa ya saya dipukuli? Apa memang saya tidak kompeten sehingga pantas mendapat perlakukan seperti ini? Kenapa ya saya lemah sekali?" Pertanyaan soal eksistensi diri dan keberhargaan itu kian bergema di kepala korban KDRT, sehingga hal tersebut semacam menjadi afirmasi dalam dirinya yang seolah membenarkan bahwa ia adalah sosok yang lemah dan pantas memperoleh kekerasan.
Keraguan atas kompetensi diri akan semakin kuat saat korban telah menjadi seorang ibu. Ia akan mempertanyakan kemampuannya menjadi penopang bagi sang anak sementara ia sendiri telah mengalami kekerasan.
Perasaan-perasaan yang mungkin timbul seperti dendam dan perasaan tidak berdaya akan berdampak pada cara pandang korban terhadap masa depan.
Baca juga: Tiga perempuan Indonesia jadi korban KDRT dalam setiap jam
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2023