Suatu hari, seorang guru bimbingan konseling (BK) di sekolah menengah kejuruan (SMK) dimintai tolong oleh wali kelas untuk menangani siswa yang dinilai bermasalah, sebut saja namanya Kadir.
Setelah mendapat penjelasan singkat mengenai masalah Kadir, yakni jarang masuk sekolah, si guru BK menemui murid yang dianggap bermasalah tersebut.
Menggunakan berbagai teknik untuk menggali apa yang sedang dihadapi Kadir, si guru BK mulai menemukan titik persoalan yang sebenarnya. Kadir sedang mengalami masalah tekanan mental.
Tekanan mental itu bukan karena lingkungan sekolah atau tempat tinggal. Secara umum, Kadir adalah siswa yang baik, tidak punya masalah dengan teman sebayanya, tapi ia tidak masuk sekolah tanpa pemberitahuan yang jelas.
Info dari wali kelasnya, Kadir sering mengamuk di rumah, dengan membanting barang-barang. Kadir tinggal bersama neneknya karena orang tuanya bekerja di luar pulau. Karena tidak kuat dan dihantui rasa takut menghadapi tingkah cucunya, si nenek memilih pergi dan tinggal di rumah lain di familinya.
Melalui usaha ekstra untuk menggali apa yang sebenarnya dialami oleh jiwa muridnya, si guru BK berhasil membawa Kadir untuk bercerita mengenai masa lalunya.
Rupanya Kadir mengalami luka batin yang parah saat SMP karena dirundung oleh teman-teman sebayanya. Salah satu objek perundungannya karena Kadir tidak mengerti bahasa daerah di tempat ia sekolah.
Baca juga: Menkes sebut 1 dari 10 orang Indonesia alami gangguan kesehatan jiwa
Perundungan itu membawa luka batin yang membekas pada Kadir. Bagi Kadir, penyebab semua itu adalah si nenek, yang membawa dia pindah sekolah ke satu kabupaten yang bahasa sehari-harinya berbeda dengan bahasa ibu asal Kadir.
Si nenek kemudian membawa kembali si Kadir ke tempat asal lahirnya saat sudah memasuki jenjang SMK. Membawa luka batin yang membekas, Kadir sering terjebak pada keadaan "banyak mikir" yang dalam istilah kekinian disebut "overthinking". Ia sering merasa gundah hingga berujung marah tanpa sebab. Pikiran bawah sadar dia yang menganggap si nenek penyebab semua itu, kemudian ia menjadi sasaran.
Setiap melihat si nenek, rasa marahnya muncul. Ia kemudian mengamuk dengan membanting barang-barang yang ada di rumah itu. Si nenek tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Ia hanya bisa bertanya di dalam batin dan pada akhirnya tidak tahan dengan perilaku cucunya. Demi rasa aman, ia tinggalkan cucu yang selama ini disayanginya itu.
Setelah tinggal di rumah itu sendirian, bukannya jiwa Kadir menjadi tenang. Pikirannya tambah kacau, merasa dirinya tidak berguna dan tidak punya masa depan.
Setiap hari, Kadir terkurung dalam perasaan gundah tanpa jelas penyebabnya dan tidak tahu bagaimana cara mengatasinya.
Si guru BK memancing Kadir dengan pertanyaan, apakah pernah terlintas dalam pikirannya untuk bunuh diri, yang dijawab ketus, "Pernah." Kadir mengaku pernah terlintas dalam pikirannya untuk melompat ke sungai yang dalam dan terjal. Beruntung, Kadir belum pernah bertemu dengan sungai yang dimaksud.
Untuk menghindar dari rutinitas gundah itu, setiap hari Kadir memilih lebih banyak tidur, hingga lupa untuk makan. Ia tidak punya gambaran jelas mengenai masa depan, kecuali hanya ingin tidur.
Kondisi jiwa yang dialami Kadir bisa jadi menggambarkan suasana batin anak-anak muda saat ini, yang mungkin belum banyak terungkap. Kasus bunuh diri mahasiswa dan siswa agaknya menggambarkan keadaan bahwa semua pihak harus waspada dengan keadaan jiwa anak muda saat ini.
Baca juga: Mahasiswa UGM kembangkan teknologi PsyBot bantu atasi masalah kesehatan mental
Ketika salah satu pasangan calon presiden dan calon wakil presiden untuk Pilpres 2024 berdialog dengan para anak muda yang disiarkan satu stasiun televisi, masalah kesehatan mental ini juga menjadi perhatian dari masyarakat, khususnya anak muda.
Karena itu, siapa pun pasangan capres-cawapres yang terpilih dalam Pemilu 2024, masalah kesehatan mental, khususnya anak muda, tidak boleh hanya diserahkan kepada pemerintah. Semua pihak harus menunjukkan kepeduliannya mengenai hal itu.
Para pihak itu adalah keluarga, lingkungan tempat tinggal, sekolah, dan juga sesama anak muda.
Keluarga harus menyadari bahwa anak-anak yang lahir dari keluarga itu bukanlah diri orang tua, dengan persoalan yang sama persis dengan ketika si orang tua mengalami masa muda.
Si anak bukan orang dewasa yang penampakan tubuh atau fisiknya remaja. Ia adalah anak yang jiwanya tentu berbeda dengan si orang tua. Jiwanya masih labil sehingga memerlukan perhatian.
Setiap zaman memiliki tantangan berbeda. Pendekatan kuno yang diwariskan secara turun temurun dalam mendidik anak tidak bisa lagi diterapkan pada zaman berbeda.
Kalau di zaman dulu mendidik anak dengan cara penuh perintah dan banjir ungkapan marah, kini cara itu tidak bisa diterapkan lagi. Cara-cara mendidik dengan komunikasi satu arah itu tidak efektif, bahkan berdampak negatif karena anak bisa stres.
Orang tua masa kini dituntut paham betul dengan istilah "generasi stroberi" yang disematkan pada kondisi jiwa anak. Istilah itu menggambarkan sesuatu yang penampakan luarnya bagus, tapi sebagaimana stroberi, ia tidak tahan lama dan mudah layu, kemudian membusuk.
Menjadi orang tua yang tidak mau peduli pada perubahan zaman justru akan berakibat fatal, bukan saja pada si anak, tapi juga bagi orang tua. Kasus anak muda yang memilih jalan pintas, dengan bunuh diri, misalnya, harus menjadi bahan perenungan bagaimana orang tua tua harus berkomunikasi dengan anak secara hati-hati.
Baca juga: Masalah kesehatan mental bisa dialami dari usia remaja-dewasa
Orang tua saat ini dituntut untuk peka, bukan hanya pada perasaannya sendiri yang merasa tidak diperhatikan atau diremehkan oleh anak. Orang tua harus memahami kejiwaan si anak, bukan sebaliknya, hanya berharap sikap si anak harus selalu seperti yang dimaui orang tua.
Kalau dulu, orang tua memaksa anak masuk ke alam pikiran dan paradigma orang dewasa, kini sebaliknya. Orang tua harus pandai-pandai membawa diri untuk masuk ke alam pikiran dan jiwa anak. Orang tua harus masuk dan menyatu pada "gelembung anak".
Kasus yang dialami Kadir adalah contoh bagaimana anak kehilangan pegangan, apalagi ia hidup dalam pengasuhan neneknya, yang patut diduga tidak pernah meng-update atau memperbarui diri dengan ilmu mengenai pengasuhan anak.
Perlu kepedulian bersama dan gotong royong untuk saling mengingatkan, setidaknya di lingkungan terdekat untuk saling mengingatkan. Kepedulian ini , bisa antarorang tua, antaranak muda, antartetangga, antarguru, dan lainnya, dengan saling berbagi motivasi, saling menguatkan sehingga seseorang tidak mudah terjerat pada pilihan jalan pintas.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2023
Setelah mendapat penjelasan singkat mengenai masalah Kadir, yakni jarang masuk sekolah, si guru BK menemui murid yang dianggap bermasalah tersebut.
Menggunakan berbagai teknik untuk menggali apa yang sedang dihadapi Kadir, si guru BK mulai menemukan titik persoalan yang sebenarnya. Kadir sedang mengalami masalah tekanan mental.
Tekanan mental itu bukan karena lingkungan sekolah atau tempat tinggal. Secara umum, Kadir adalah siswa yang baik, tidak punya masalah dengan teman sebayanya, tapi ia tidak masuk sekolah tanpa pemberitahuan yang jelas.
Info dari wali kelasnya, Kadir sering mengamuk di rumah, dengan membanting barang-barang. Kadir tinggal bersama neneknya karena orang tuanya bekerja di luar pulau. Karena tidak kuat dan dihantui rasa takut menghadapi tingkah cucunya, si nenek memilih pergi dan tinggal di rumah lain di familinya.
Melalui usaha ekstra untuk menggali apa yang sebenarnya dialami oleh jiwa muridnya, si guru BK berhasil membawa Kadir untuk bercerita mengenai masa lalunya.
Rupanya Kadir mengalami luka batin yang parah saat SMP karena dirundung oleh teman-teman sebayanya. Salah satu objek perundungannya karena Kadir tidak mengerti bahasa daerah di tempat ia sekolah.
Baca juga: Menkes sebut 1 dari 10 orang Indonesia alami gangguan kesehatan jiwa
Perundungan itu membawa luka batin yang membekas pada Kadir. Bagi Kadir, penyebab semua itu adalah si nenek, yang membawa dia pindah sekolah ke satu kabupaten yang bahasa sehari-harinya berbeda dengan bahasa ibu asal Kadir.
Si nenek kemudian membawa kembali si Kadir ke tempat asal lahirnya saat sudah memasuki jenjang SMK. Membawa luka batin yang membekas, Kadir sering terjebak pada keadaan "banyak mikir" yang dalam istilah kekinian disebut "overthinking". Ia sering merasa gundah hingga berujung marah tanpa sebab. Pikiran bawah sadar dia yang menganggap si nenek penyebab semua itu, kemudian ia menjadi sasaran.
Setiap melihat si nenek, rasa marahnya muncul. Ia kemudian mengamuk dengan membanting barang-barang yang ada di rumah itu. Si nenek tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Ia hanya bisa bertanya di dalam batin dan pada akhirnya tidak tahan dengan perilaku cucunya. Demi rasa aman, ia tinggalkan cucu yang selama ini disayanginya itu.
Setelah tinggal di rumah itu sendirian, bukannya jiwa Kadir menjadi tenang. Pikirannya tambah kacau, merasa dirinya tidak berguna dan tidak punya masa depan.
Setiap hari, Kadir terkurung dalam perasaan gundah tanpa jelas penyebabnya dan tidak tahu bagaimana cara mengatasinya.
Si guru BK memancing Kadir dengan pertanyaan, apakah pernah terlintas dalam pikirannya untuk bunuh diri, yang dijawab ketus, "Pernah." Kadir mengaku pernah terlintas dalam pikirannya untuk melompat ke sungai yang dalam dan terjal. Beruntung, Kadir belum pernah bertemu dengan sungai yang dimaksud.
Untuk menghindar dari rutinitas gundah itu, setiap hari Kadir memilih lebih banyak tidur, hingga lupa untuk makan. Ia tidak punya gambaran jelas mengenai masa depan, kecuali hanya ingin tidur.
Kondisi jiwa yang dialami Kadir bisa jadi menggambarkan suasana batin anak-anak muda saat ini, yang mungkin belum banyak terungkap. Kasus bunuh diri mahasiswa dan siswa agaknya menggambarkan keadaan bahwa semua pihak harus waspada dengan keadaan jiwa anak muda saat ini.
Baca juga: Mahasiswa UGM kembangkan teknologi PsyBot bantu atasi masalah kesehatan mental
Ketika salah satu pasangan calon presiden dan calon wakil presiden untuk Pilpres 2024 berdialog dengan para anak muda yang disiarkan satu stasiun televisi, masalah kesehatan mental ini juga menjadi perhatian dari masyarakat, khususnya anak muda.
Karena itu, siapa pun pasangan capres-cawapres yang terpilih dalam Pemilu 2024, masalah kesehatan mental, khususnya anak muda, tidak boleh hanya diserahkan kepada pemerintah. Semua pihak harus menunjukkan kepeduliannya mengenai hal itu.
Para pihak itu adalah keluarga, lingkungan tempat tinggal, sekolah, dan juga sesama anak muda.
Keluarga harus menyadari bahwa anak-anak yang lahir dari keluarga itu bukanlah diri orang tua, dengan persoalan yang sama persis dengan ketika si orang tua mengalami masa muda.
Si anak bukan orang dewasa yang penampakan tubuh atau fisiknya remaja. Ia adalah anak yang jiwanya tentu berbeda dengan si orang tua. Jiwanya masih labil sehingga memerlukan perhatian.
Setiap zaman memiliki tantangan berbeda. Pendekatan kuno yang diwariskan secara turun temurun dalam mendidik anak tidak bisa lagi diterapkan pada zaman berbeda.
Kalau di zaman dulu mendidik anak dengan cara penuh perintah dan banjir ungkapan marah, kini cara itu tidak bisa diterapkan lagi. Cara-cara mendidik dengan komunikasi satu arah itu tidak efektif, bahkan berdampak negatif karena anak bisa stres.
Orang tua masa kini dituntut paham betul dengan istilah "generasi stroberi" yang disematkan pada kondisi jiwa anak. Istilah itu menggambarkan sesuatu yang penampakan luarnya bagus, tapi sebagaimana stroberi, ia tidak tahan lama dan mudah layu, kemudian membusuk.
Menjadi orang tua yang tidak mau peduli pada perubahan zaman justru akan berakibat fatal, bukan saja pada si anak, tapi juga bagi orang tua. Kasus anak muda yang memilih jalan pintas, dengan bunuh diri, misalnya, harus menjadi bahan perenungan bagaimana orang tua tua harus berkomunikasi dengan anak secara hati-hati.
Baca juga: Masalah kesehatan mental bisa dialami dari usia remaja-dewasa
Orang tua saat ini dituntut untuk peka, bukan hanya pada perasaannya sendiri yang merasa tidak diperhatikan atau diremehkan oleh anak. Orang tua harus memahami kejiwaan si anak, bukan sebaliknya, hanya berharap sikap si anak harus selalu seperti yang dimaui orang tua.
Kalau dulu, orang tua memaksa anak masuk ke alam pikiran dan paradigma orang dewasa, kini sebaliknya. Orang tua harus pandai-pandai membawa diri untuk masuk ke alam pikiran dan jiwa anak. Orang tua harus masuk dan menyatu pada "gelembung anak".
Kasus yang dialami Kadir adalah contoh bagaimana anak kehilangan pegangan, apalagi ia hidup dalam pengasuhan neneknya, yang patut diduga tidak pernah meng-update atau memperbarui diri dengan ilmu mengenai pengasuhan anak.
Perlu kepedulian bersama dan gotong royong untuk saling mengingatkan, setidaknya di lingkungan terdekat untuk saling mengingatkan. Kepedulian ini , bisa antarorang tua, antaranak muda, antartetangga, antarguru, dan lainnya, dengan saling berbagi motivasi, saling menguatkan sehingga seseorang tidak mudah terjerat pada pilihan jalan pintas.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2023