Bekasi (Antara Megapolitan) - Gabungan Pengusaha Jamu dan Obat Tradisional Indonesia mengeluhkan besarnya biaya operasional untuk keperluan pengurusan perizinan serta regulasi yang kini ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan.

"Yang menjadi persoalan, regulasi bagi pengusaha jamu tradisional disetarakan dengan regulasi industri farmasi sehingga berimplikasi pada membengkaknya biaya operasional kalangan pengusaha," kata Ketua Umum Gabungan Pengusaha Jamu dan Obat Tradisional atau GP Jamu Indonesia, Dwi Ranny Pertiwi Zarman, di Bekasi, Selasa.

Salah satu contohnya, kata dia, adalah kegiatan ekspor-impor jamu yang biayanya dirasa sangat memberatkan kalangan pengusaha jamu yang masih memiliki modal terbatas.

"Ada ketidakseimbangan yang dilakukan pemerintah. Contohnya jamu impor ke dalam negeri biayanya sangat murah yakni pada kisaran harga di bawah Rp5 juta. Sementara untuk ekspor kami malah dikenakan biaya Rp30 juta," katanya.

Kendala lainnya yang dirasakan pengusaha jamu di sejumlah daerah di Indonesia adalah faktor jarak tempuh pengurusan perizinan yang harus dilakukan di wilayah pusat, yakni Jakarta.

"Selama ini kami untuk mengurus segala keperluan perizinan harus ke pusat. Biaya yang dikeluarkan tentunya tidak sedikit. Harusnya kepengurusannya bisa melalui petugas di wilayah masing-masing domisili produsen jamu. Masa sih apa-apa harus urus di pusat, terus apa gunanya otonomi daerah. Ini harusnya jadi perhatian khusus dari pemerintah," katanya.

Pihaknya juga merasakan adanya kebijakan pemerintah yang tebang pilih terhadap pengeluaran izin bagi kalangan pengusaha jamu.

"Semisal dengan beberapa kasus yang melibatkan industri jamu yang kerap terkendala dalam urusan birokrasi," katanya.

Ranny mengatakan, kegiatan pemasaran produk jamu saat ini juga terusik oleh maraknya pemberitaan yang memojokan kalangan pengusaha akibat adanya oknum masyarakat yang memproduksi jamu secara ilegal.

"Situasi ini menjadi kendala besar di samping maraknya pemberitaan yang merugikan kita. Kalau ada jamu ilegal kami selalu di ekspos, sementara kegiatan baik tidak," katanya.

Rentetan persoalan tersebut, kata dia, telah berimplikasi pada keberlangsungan usaha jamu di tanah air.

Selama kurun waktu beberapa tahun terakhir, kata dia, sudah banyak pelaku usaha jamu menengah ke bawah yang gulung tikar akibat keadaan itu.

"Sampai saat ini saja sudah ratusan industri jamu kecil yang tutup lantaran tidak sanggup mengikuti regulasi yang diterapkan pemerintah. Lagi-lagi biaya yang dikeluarkan untuk mengikuti regulasi pemerintah menjadi masalah pokok," katanya.

"Kami para pelaku industri jamu tidak keberatan jika pemerintah memberlakukan regulasi, tapi harus ada klasifikasi terhadap pelaku usahanya. Jangan disamaratakan, karena tiap-tiap pelaku usaha memiliki kemampuan modal yang berbeda. Kalau terus begini keadaannya, kami pun yang sudah besar bisa goyang juga," katanya.

Ranny berharap pemerintah melakukan kajian kembali aturan yang diberlakukan bagi industri jamu guna menjaga keberlangsungan industri jamu di tanah air.

"Saya sudah sampaikan kepada DPR RI dan ditanggapi positif. Harapan ke depannya pemerintah akan memberikan perhatian khusus bagi kami pelaku industri jamu. Contohnya seperti industri rokok diberi dukungan penuh padahal nyata-nyata bisa membunuh. Sebaliknya, jamu itu tidak membunuh malah menyehatkan, masa regulasinya memberatkan," demikian Ranny.

Pewarta: Andi Firdaus

Editor : Naryo


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2016