Suhu politik nasional menjelang unjukrasa "super damai" 212 (yang dalam medsos diplesetkan dengan Wiro Sableng) semakin memanas. Tampaknya upaya kanalisasi dari menggulirnya isu besar 212 tidak lagi terbendung baik di tataran nyata ataupun melalui medsos. Salah seorang pengamat asing yang tidak mau disebutkan namanya kepada penulis mengatakan "the current situation in Indonesia is look like as eruption of the volcano/situasi terkini di Indonesia nampak seperti ledakan gunung berapi".
Menurut informasi dari berbagai sumber yang sudah terkonfirmasi maupun yang belum terkonfirmasi, menyebutkan jumlah pengunjukrasa 212 khususnya dari Jawa Barat, Banten dan DKI Jakarta masih membludak, bahkan pengunjukrasa dari provinsi yang lain juga akan masuk ke Jakarta.
Beberapa organisasi yang masih "nekat" mengirimkan massanya ke Jakarta antara lain FPI dari berbagai daerah (walaupun massa FPI Ciamis yang sempat berjalan kaki ke Jakarta akhirnya membubarkan diri di tengah jalan), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Jamaah Anshorut Daulah (JAD), Jamaah Ansyariah Syiasyah (JAS), Dewan Kemakmuran Masjid (DKM), HMI MPO, HMI Dipo, Gerakan Reformasi Islam/GARIS, Gerakan Anti Pemurtadan dan Aliran Sesat (GAPAS), Aliansi Amar Ma'ruf Nahi Mun'kar (ALMANAR), Aliansi Pergerakan Islam (API) Jawa Barat, BEM, Beberapa Pondok Pesantren sampai kepada kelompok buruh yang tergabung dalam KSPI.
"Kenekatan" mereka untuk tetap menggelar aksi unjuk rasa 212 juga dipicu dengan penilaian mereka terhadap proses hukum penistaan agama yaitu tersangka Ahok berjalan dengan lamban. Bahkan, salah satu butir "kesepakatan" GNPF-MUI dengan Kapolri dalam pertemuan "mediasi" di Kantor MUI, Jakarta Pusat, menyatakan bahwa kelompok GNPF-MUI meminta Ahok segera ditahan. Pertanyaannya adalah apakah perlu Ahok ditahan? Apa implikasi hukum dan politiknya? Apakah penahanan Ahok dapat "mengcancel" atau mengurangi jumlah massa 212 yang menggeruduk Jakarta?.
Sementara itu, di sisi yang lain dalam kasus 212 ini juga menyeruak adanya beberapa Ormas yang sering menyebarkan ujaran kebencian atau hate-speech, menggalang massa cair untuk ikut unjuk rasa 212, "mempolitisasi" agama, termasuk ada indikasi menjadi "provokator". Pertanyaannya adalah apakah organisasi semacam ini patut dibubarkan? Apa penyebab munculnya organisasi-organisasi semacam ini?.
Kajian Teori
Menurut Dr Ichsan Malik dari UI, pencegahan atau resolusi konflik memiliki 5 komponen, yaitu komponen eskalasi dan de-eskalasi; Komponen faktor konflik; Komponen aktor konflik, Komponan pemangku kepentingan dan komponen kemauan politik penguasa untuk menyelesaikan konflik serta membangun perdamaian.
Mengacu pada pendapat di atas dikaitkan dengan perkembangan sisuasi nasional menjelang 212, pemetaan atau gambarannya sudah jelas. Bagaimanapun juga, sikon sekarang sudah mengarah ke eskalasi konflik karena derajat konfliknya meningkat, ketegangan meluas dan terjadi mobilisasi massa, yang akhirnya menyebabkan krisis pada seluruh pihak yang berkepentingan untuk menyelesaikan konflik.
Sementara itu, dilihat dari faktor konflik, maka sikon sekarang dan sikon sebelumnya telah memenuhi unsur-unsur adanya elemen pemicu konflik (pernyataan gegabah Ahok di Kepulauan Seribu yang menistakan surat Al-Maidah ayat 51 yang kemudian diviralkan di medsos oleh Buni Yani, untungnya baik Ahok maupun Buni Yani sudah dinyatakan sebagai tersangka), elemen akselerator konflik (perang propaganda di medsos dari kubu Ahok dan anti Ahok, penggalangan massa oleh kelompok anti Ahok maupun pro Ahok, proses hukum terhadap Ahok yang dinilai lambat dll) dan elemen akar konflik atau penyebab struktural yang paling mendasar (kemungkinan seperti melunturnya semangat Bhineka Tunggal Ika, adanya gap sosial, ekonomi dan politik ditandai dengan faktor gini ratio yang melebar, ketidakpuasan terhadap kinerja pemerintah khususnya dibidang ekonomi dengan indikasi ratio hutang luar negeri yang mencapai 2,14 persen dari total APBN dan lain-lain).
Sedangkan dari komponen aktor konflik dikaitkan dengan sikon 212 terdiri dari 3 golongan, yaitu provokator, kelompok rentan (kelompok yang menjadi sasaran ajakan atau massa cair) dan kelompok fungsional (kelompok yang tanggungjawab utamanya menghentikan kekerasan/konflik). Komponen pemangku kepentingan terdiri dari Polri, TNI, tokoh-tokoh, LSM, peneliti dan media massa. Tugas mereka adalah menghentikan konflin dan mencegah meluasnya konflik. Terkait dengan 212, pembaca akan memahami mana yang sudah bekerja aktif dan mana yang belum dalam upaya meminimalisir massa ke Jakarta. Komponen yang terakhir adalah kemauan politik penguasa dalam hal ini inisiatif dan kepemimpinan penguasa untuk menyelesaikan konflik (pertanyaan besar yang berkembang di kelompok pengunjukrasa 212 adalah berani tidak penguasa manahan Ahok).
Perlukan Ahok ditahan ?
Bagi kelompok anti Ahok, jawabannya sudah pasti yaitu perlu. Ada beberapa alasan yang mendasarinya antara lain Ahok masih berstatus tersangka, namun tokoh-tokoh lain yang terkena kasus yang sama dengan Ahok seperti Permadi, Lia Eden, Ahmad Musadeq, dan Arswendo Atmowiloto langsung ditahan atau dipenjara; Ahok dikhawatirkan membuat pernyataan serupa yang dianggap menyinggung perasaan umat Islam. Seperti yang sudah terjadi yakni, soal pernyataan pendemo 4 November 2016 memperoleh bayaran masing-masing Rp 500 ribu; jika tak dilakukan penahanan terhadap Ahok, maka bisa menjadi preseden atau contoh yang buruk bagi kasus-kasus serupa setelah ini; Jika Ahok tidak ditahan, sikon makin lama pasti makin radikal bahkan yang tadinya biasa-biasa saja menjadi teradikalisasi; Penahanan Ahok adalah "resolusi konflik" meredam memanasnya atau berpotensi chaosnya 212 dll.
Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq meminta agar Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok segera ditahan. Hal ini disampaikannya saat berkoordinasi dengan pimpinan Kejaksaan Agung (Kejagung) di Kejagung, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Jumat (25/11). Menurutnya, akibat kasus Ahok yang diduga menistakan agama, turunan konfliknya menjalar ke semua sektor. Dia menilai, ucapan Ahok sudah menimbulkan reaksi mendalam dan mengakibatkan perpecahan di mana-mana. Habib pun mengklaim bahwa ada empat poin yang mengharuskan penegak hukum menahan Ahok.
"Pertama, persoalannya adalah kasus yang mengaitkan Ahok ini peristiwa luar biasa. Luar biasa karena dilakukan pejabat publik. Kedua sudah berdampak luas," jelas dia. Ketiga, lanjut dia, peristiwa dugaan penistaan Surah Al-Maidah 51 sudah menyebabkan polemik di dalam negeri maupun di luar negeri. "Keempat sudah menimbulkan korban. Di mana-mana terjadi demo, aksi benturan antara parat dan warga. Ada yang meninggal ada yang luka. Ini berpotensi memecah belah NKRI. Maka segera ditahan," tandas Habib Rizieq (http://www.jpnn.com/read/2016/11/25/483224/Ini-4-Alasan-Ahok-Harus-Ditahan-Versi-Habib-Rizieq)
Menurut kelompok yang tidak setuju Ahok ditahan mempunyai alasan antara lain: isu Ahok hanya alasan bagi kelompok "die hard" untuk menyerang dan mendelegitimasi pemerintahan sekarang ini; Jika Ahok ditahan, pelaksanaan Pilkada Jakarta menjadi tidak menentu atau diundur; Jika Ahok ditahan berarti proses hukum kalah dengan pemaksaan kehendak dll.
Kapolri, Jenderal Tito Karnavian, menjelaskan empat alasan Ahok tak ditahan setelah ditetapkan sebagai tersangka. Pertama, perlu adanya suara bulat mengenai pelanggaran pidana di kalangan penyidik. Sementara dalam gelar perkara, penyidik yang berjumlah 21 orang masih terpecah. Kedua, penyidik mesti berkeyakinan ada potensi tersangka melarikan diri. Hal ini pun tidak terpenuhi. Ketiga, kekhawatiran penyidik untuk menghilangkan barang bukti. Dalam kasus ini, barang bukti sudah diperoleh, yakni video yang merekam ucapan Ahok. Karena itu, polisi tidak khawatir Ahok menghilangkan barang bukti. Keempat, kekhawatiran tersangka mengulangi perbuatannya. Dalam hal ini, penyidik belum melihat ada potensi Ahok melakukan hal tersebut (http://www.cnnindonesia.com/kursipanasdki1/20161116122958-516-173001/empat-alasan-ahok-tak-ditahan/)
Menyikapi masalah ini, elemen pemangku kepentingan khususnya tokoh-tokoh, LSM, peneliti dan media massa seharusnya meliterasi masyarakat bahwa kegaduhan ini sebenarnya patut dihentikan, dan mengingat kita adalah negara hukum maka kita harus menjadikan hukum sebagai panglima. Bagaimana setuju?.
*) Penulis adalah pengamat masalah strategis Indonesia dan pengamat masalah komunikasi massa. Tinggal di Pangandaran, Ciamis, Jawa Barat.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2016
Menurut informasi dari berbagai sumber yang sudah terkonfirmasi maupun yang belum terkonfirmasi, menyebutkan jumlah pengunjukrasa 212 khususnya dari Jawa Barat, Banten dan DKI Jakarta masih membludak, bahkan pengunjukrasa dari provinsi yang lain juga akan masuk ke Jakarta.
Beberapa organisasi yang masih "nekat" mengirimkan massanya ke Jakarta antara lain FPI dari berbagai daerah (walaupun massa FPI Ciamis yang sempat berjalan kaki ke Jakarta akhirnya membubarkan diri di tengah jalan), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Jamaah Anshorut Daulah (JAD), Jamaah Ansyariah Syiasyah (JAS), Dewan Kemakmuran Masjid (DKM), HMI MPO, HMI Dipo, Gerakan Reformasi Islam/GARIS, Gerakan Anti Pemurtadan dan Aliran Sesat (GAPAS), Aliansi Amar Ma'ruf Nahi Mun'kar (ALMANAR), Aliansi Pergerakan Islam (API) Jawa Barat, BEM, Beberapa Pondok Pesantren sampai kepada kelompok buruh yang tergabung dalam KSPI.
"Kenekatan" mereka untuk tetap menggelar aksi unjuk rasa 212 juga dipicu dengan penilaian mereka terhadap proses hukum penistaan agama yaitu tersangka Ahok berjalan dengan lamban. Bahkan, salah satu butir "kesepakatan" GNPF-MUI dengan Kapolri dalam pertemuan "mediasi" di Kantor MUI, Jakarta Pusat, menyatakan bahwa kelompok GNPF-MUI meminta Ahok segera ditahan. Pertanyaannya adalah apakah perlu Ahok ditahan? Apa implikasi hukum dan politiknya? Apakah penahanan Ahok dapat "mengcancel" atau mengurangi jumlah massa 212 yang menggeruduk Jakarta?.
Sementara itu, di sisi yang lain dalam kasus 212 ini juga menyeruak adanya beberapa Ormas yang sering menyebarkan ujaran kebencian atau hate-speech, menggalang massa cair untuk ikut unjuk rasa 212, "mempolitisasi" agama, termasuk ada indikasi menjadi "provokator". Pertanyaannya adalah apakah organisasi semacam ini patut dibubarkan? Apa penyebab munculnya organisasi-organisasi semacam ini?.
Kajian Teori
Menurut Dr Ichsan Malik dari UI, pencegahan atau resolusi konflik memiliki 5 komponen, yaitu komponen eskalasi dan de-eskalasi; Komponen faktor konflik; Komponen aktor konflik, Komponan pemangku kepentingan dan komponen kemauan politik penguasa untuk menyelesaikan konflik serta membangun perdamaian.
Mengacu pada pendapat di atas dikaitkan dengan perkembangan sisuasi nasional menjelang 212, pemetaan atau gambarannya sudah jelas. Bagaimanapun juga, sikon sekarang sudah mengarah ke eskalasi konflik karena derajat konfliknya meningkat, ketegangan meluas dan terjadi mobilisasi massa, yang akhirnya menyebabkan krisis pada seluruh pihak yang berkepentingan untuk menyelesaikan konflik.
Sementara itu, dilihat dari faktor konflik, maka sikon sekarang dan sikon sebelumnya telah memenuhi unsur-unsur adanya elemen pemicu konflik (pernyataan gegabah Ahok di Kepulauan Seribu yang menistakan surat Al-Maidah ayat 51 yang kemudian diviralkan di medsos oleh Buni Yani, untungnya baik Ahok maupun Buni Yani sudah dinyatakan sebagai tersangka), elemen akselerator konflik (perang propaganda di medsos dari kubu Ahok dan anti Ahok, penggalangan massa oleh kelompok anti Ahok maupun pro Ahok, proses hukum terhadap Ahok yang dinilai lambat dll) dan elemen akar konflik atau penyebab struktural yang paling mendasar (kemungkinan seperti melunturnya semangat Bhineka Tunggal Ika, adanya gap sosial, ekonomi dan politik ditandai dengan faktor gini ratio yang melebar, ketidakpuasan terhadap kinerja pemerintah khususnya dibidang ekonomi dengan indikasi ratio hutang luar negeri yang mencapai 2,14 persen dari total APBN dan lain-lain).
Sedangkan dari komponen aktor konflik dikaitkan dengan sikon 212 terdiri dari 3 golongan, yaitu provokator, kelompok rentan (kelompok yang menjadi sasaran ajakan atau massa cair) dan kelompok fungsional (kelompok yang tanggungjawab utamanya menghentikan kekerasan/konflik). Komponen pemangku kepentingan terdiri dari Polri, TNI, tokoh-tokoh, LSM, peneliti dan media massa. Tugas mereka adalah menghentikan konflin dan mencegah meluasnya konflik. Terkait dengan 212, pembaca akan memahami mana yang sudah bekerja aktif dan mana yang belum dalam upaya meminimalisir massa ke Jakarta. Komponen yang terakhir adalah kemauan politik penguasa dalam hal ini inisiatif dan kepemimpinan penguasa untuk menyelesaikan konflik (pertanyaan besar yang berkembang di kelompok pengunjukrasa 212 adalah berani tidak penguasa manahan Ahok).
Perlukan Ahok ditahan ?
Bagi kelompok anti Ahok, jawabannya sudah pasti yaitu perlu. Ada beberapa alasan yang mendasarinya antara lain Ahok masih berstatus tersangka, namun tokoh-tokoh lain yang terkena kasus yang sama dengan Ahok seperti Permadi, Lia Eden, Ahmad Musadeq, dan Arswendo Atmowiloto langsung ditahan atau dipenjara; Ahok dikhawatirkan membuat pernyataan serupa yang dianggap menyinggung perasaan umat Islam. Seperti yang sudah terjadi yakni, soal pernyataan pendemo 4 November 2016 memperoleh bayaran masing-masing Rp 500 ribu; jika tak dilakukan penahanan terhadap Ahok, maka bisa menjadi preseden atau contoh yang buruk bagi kasus-kasus serupa setelah ini; Jika Ahok tidak ditahan, sikon makin lama pasti makin radikal bahkan yang tadinya biasa-biasa saja menjadi teradikalisasi; Penahanan Ahok adalah "resolusi konflik" meredam memanasnya atau berpotensi chaosnya 212 dll.
Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq meminta agar Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok segera ditahan. Hal ini disampaikannya saat berkoordinasi dengan pimpinan Kejaksaan Agung (Kejagung) di Kejagung, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Jumat (25/11). Menurutnya, akibat kasus Ahok yang diduga menistakan agama, turunan konfliknya menjalar ke semua sektor. Dia menilai, ucapan Ahok sudah menimbulkan reaksi mendalam dan mengakibatkan perpecahan di mana-mana. Habib pun mengklaim bahwa ada empat poin yang mengharuskan penegak hukum menahan Ahok.
"Pertama, persoalannya adalah kasus yang mengaitkan Ahok ini peristiwa luar biasa. Luar biasa karena dilakukan pejabat publik. Kedua sudah berdampak luas," jelas dia. Ketiga, lanjut dia, peristiwa dugaan penistaan Surah Al-Maidah 51 sudah menyebabkan polemik di dalam negeri maupun di luar negeri. "Keempat sudah menimbulkan korban. Di mana-mana terjadi demo, aksi benturan antara parat dan warga. Ada yang meninggal ada yang luka. Ini berpotensi memecah belah NKRI. Maka segera ditahan," tandas Habib Rizieq (http://www.jpnn.com/read/2016/11/25/483224/Ini-4-Alasan-Ahok-Harus-Ditahan-Versi-Habib-Rizieq)
Menurut kelompok yang tidak setuju Ahok ditahan mempunyai alasan antara lain: isu Ahok hanya alasan bagi kelompok "die hard" untuk menyerang dan mendelegitimasi pemerintahan sekarang ini; Jika Ahok ditahan, pelaksanaan Pilkada Jakarta menjadi tidak menentu atau diundur; Jika Ahok ditahan berarti proses hukum kalah dengan pemaksaan kehendak dll.
Kapolri, Jenderal Tito Karnavian, menjelaskan empat alasan Ahok tak ditahan setelah ditetapkan sebagai tersangka. Pertama, perlu adanya suara bulat mengenai pelanggaran pidana di kalangan penyidik. Sementara dalam gelar perkara, penyidik yang berjumlah 21 orang masih terpecah. Kedua, penyidik mesti berkeyakinan ada potensi tersangka melarikan diri. Hal ini pun tidak terpenuhi. Ketiga, kekhawatiran penyidik untuk menghilangkan barang bukti. Dalam kasus ini, barang bukti sudah diperoleh, yakni video yang merekam ucapan Ahok. Karena itu, polisi tidak khawatir Ahok menghilangkan barang bukti. Keempat, kekhawatiran tersangka mengulangi perbuatannya. Dalam hal ini, penyidik belum melihat ada potensi Ahok melakukan hal tersebut (http://www.cnnindonesia.com/kursipanasdki1/20161116122958-516-173001/empat-alasan-ahok-tak-ditahan/)
Menyikapi masalah ini, elemen pemangku kepentingan khususnya tokoh-tokoh, LSM, peneliti dan media massa seharusnya meliterasi masyarakat bahwa kegaduhan ini sebenarnya patut dihentikan, dan mengingat kita adalah negara hukum maka kita harus menjadikan hukum sebagai panglima. Bagaimana setuju?.
*) Penulis adalah pengamat masalah strategis Indonesia dan pengamat masalah komunikasi massa. Tinggal di Pangandaran, Ciamis, Jawa Barat.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2016