Sebenarnya, perkembangan Iptek dalam bentuk munculnya berbagai sarana di Medsos seharusnya dapat mencerdaskan bangsa, memperkuat tali silaturahmi nasional, sebagai "guru gratis" bagi mereka yang kurang beruntung mengenyam dunia pendidikan kontemporer bahkan dapat dijadikan sarana diskusi kewargaan (civic discussion) yang sehat, namun ternyata dalam perkembangan di Indonesia, Medsos malah menjadi media provokasi, media penyebaran hoax dari pada media yang meliterasi secara positif warga bangsa.

Kalau sudah begini, tidak akan mengherankan jika banyak kalangan memperhatikan kesiapan negara menghandle permasalahan yang dibawa oleh Medsos atau dengan kata lain apakah kita sebagai bangsa sudah memiliki grand narrative atau grand design menghadapi "perang propaganda dan perebutan pengaruh di Medsos?".
    
Pengguna Sosmed atau Medsos di Indonesia juga cukup mencengangkan, karena dari 259,1 juta penduduk Indonesia, maka sebanyak 34 persen aktif sebagai pengguna, 88,1 juta aktif sebagai pengguna internet, 79 juta aktif menggunakan Sosmed, dan 66 juta aktif menggunakan handphone. Ada juga calon Parpol baru di Indonesia yang aktif menggunakan Medsos sebagai sarana sosialisasinya. Banyak pakar menyebut, saat ini Indonesia sudah memasuki ranah cyber war (diolah dari berbagai sumber).

Kajian Teori
    
Menghadapi isu unjuk rasa 2 Desember 2016, Medsos juga dijadikan ajang "perang propaganda dan perebutan pengaruh" (mengacu kepada Realistic Conflict Theory yang dikembangkan Sherif pada tahun 1966), bahkan dikembangkan #rushmoney (untungnya pihak Polri sudah melakukan penegakkan hukum terhadap terduga pelakunya beberapa hari yang lalu), dimana #rushmoney ini konon diperbincangkan sebanyak 1.644 kali dan disebarkan melalui 792 account.
Diakui atau tidak, "perang propaganda" dan "perebutan pengaruh" antara kelompok anti ABI III dengan kelompok pro ABI III terus berlangsung, walau ada kecenderungan kelompok ABI III lebih dominan dan militan dalam menyebarkan pesan.
    
Sepak terjang media sosial --dengan mengandalkan kredo bahwa aku mengirim pesan maka aku ada-- sejatinya dikemukakan secara terang benderang oleh Presiden RI Joko Widodo. "Coba kita lihat sekarang buka (media sosial) saling menghujat, saling mengejek, dan saling menjelekkan. Apakah itu kepribadian bangsa kita? Apakah itu budi pekerti yang ditanamkan kepada kita? Saya kira tidak. Ini ada infiltrasi lewat media sosial yang tidak kita sadari dan tidak kita saring," kata Presiden dalam sambutannya pada Musyawarah Nasional VIII Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) di Balai Kartini, Jakarta, Rabu (9/11).
    
Beredarnya hoax, menyebabkan atmosfer pembaca disesaki dengan warta berisi ejekan dan makian, bahkan kebencian antarwarga. Konten media sosial diwarnai berita bohong, atau percakapan semu belaka yang menyebar luas di jejaring sosial dan telepon selular.

Hal yang semu dalam media sosial inilah yang dikritik oleh filosof Kierkegaard seputar ruang publik. Menurut dia, ruang publik yang disesaki dan dijejali oleh omongan, hanya akan menghadirkan dunia yang lepas dari keprihatinan sehari-hari.
Dalam lalu lintas media sosial, setiap orang melempar opini dan melepas komentar tentang segala apa dan segala perkara --dalam hal ini demonstrasi 4 November-- meskipun tidak seorang pun ikut bersedia terlibat langsung. Meminjam kata peribahasa, lempar batu sembunyi tangan.

Parahnya, dalam kubah pergaulan media sosial --yang tidak jarang diwarnai hoax belaka-- tidak ada pihak yang berkeinginan ikut bertanggung jawab. Pada titik pijak inilah --yakni berani bertanggung jawab-- pernyataan Presiden Jokowi kontan terjawab seputar kepribadian bangsa dan budi pekerti yang mendesak ditanamkan kepada warga masyarakat Indonesia.

Media sosial dalam jagat maya layaknya pisau bermata dua. Di satu sisi, dapat membangun dan menggairahkan roda kehidupan masyarakat; di lain sisi, masyarakat dapat saja terjebak dalam pemberdayaan yang semu belaka.

Disebut semu karena orang mengira bahwa opini yang dilontarkan, dan komentar yang disebarluaskan --yang dikira berdampak baik dan benar-- justru berakibat sebaliknya bagi kebaikan dan kemaslahatan bersama.  Disebut semu karena orang mengira sudah sangat produktif dengan bermedia sosial lewat Facebook, Twitter, atau percakapan WhatsApp, padahal yang dikerjakan sekadar mengumpulkan, meneruskan, dan mengomentari informasi kepada orang-orang lain.

Dua hal yang semu inilah yang menjadi tipu daya medsos ketika menyebarkan warta berisi hoax belaka. Sejatinya, komunikasi berisi relasi dari beberapa pihak, antara "saya", "engkau", dan "kita", bertujuan menjunjung tinggi nilai kebenaran (locutio secundum mentem). Implikasinya, bahasa yang digunakan dalam medsos (wajib) mengandung dan memuat kebenaran. Artinya, "Jangan mengucapkan saksi dusta tentang sesamamu".

Artinya, pesan dalam medsos, hendaknya tidak menimbulkan skandal, tidak memuat kepalsuan, dan memerangi kemunafikan. Perlu penegakan dan penerapan etika berkomunikasi yang dipandu aksioma klasik bahwa hati nurani yang lurus sejatinya bersumber pada kebenaran. (http://www.antaranews.com/berita/595790/demo-4-november-media-sosial-hoax)
Berkembangnya hoax yang disebarluaskan di Medsos juga dapat berdampak terjadinya polarisasi sikap dan pemikiran di tengah masyarakat yang dapat menyebabkan munculnya kecurigaan, ketegangan sosial dan segregrasi sosial sampai kepada potensi perpecahan bangsa (mengacu kepada Social Dominance Theory atau SDT yang dikembangkan Felicia Pratto).

Bahkan akan semakin meluas fenomena bubble filter dengan indikasi yang benci akan semakin benci; munculnya pemikiran sempit atau mengedepankan homogenitas serta mengeyampingkan heteroginitas dan kelompok yang tidak setuju dengan ide yang dilontarkan di Medsos akan dimasukkan dalam daftar "unfriend atau bukan teman".

Dalam menghadapi 212, jika dikaji secara teori juga memenuhi syarat-syarat terjadinya konflik. Jhon Barton dalam tahun 1990-an mengemukakan teori bernama "Human Needs Theory", dimana menurut teori ini konflik dan kekerasan akan muncul apabila satu pihak merasa bahwa ada kelompok lain menghalangi pemenuhan kebutuhannya, seperti dalam konteks 212 ada kebutuhan untuk "memenjarakan Ahok" yang disuarakan kelompok tertentu yang mendapatkan resistensi dari kelompok lainnya.

Grand Narrative Design
    
Menghadapi "perang propaganda dan perebutan pengaruh di Medsos", maka kebutuhan akan adanya grand narrative design adalah sebuah keniscayaan. Sebenarnya, untuk memenangkan "pertarungan" di Medsos harus memiliki dua moda dasar yang besar, yaitu data yang kuat atas permasalahan yang dibicarakan di Medsos dan narasi atau cerita yang kuat, sebagai story atau narasi yang kuat di Medsos akan dapat menimbulkan "story of eyes" yang berkembang menjadi "story of us" melalui serangkaian kegiatan share, view, unique account and buzz yang mendukung narasi yang kita sebar di Medsos.

Jadi, memenangkan "perang" di Medsos bukan pekerjaan gampang. Untuk membuat story yang kuat harus dipikirkan grand narrative design dengan melibatkan ahli politik, ahli sosiologi, antropolog bahkan psikolog.

Last but not least, negara harus segera membuat dan memperkuat digital atau cyber army, karena diakui atau tidak, sebenarnya kegiatan untuk menangkal atau meminimalisir dampak negatif di Medsos (melakukan counter narrative), sejauh ini lebih aktif dan lebih militan dilakukan oleh masyarakat. Pernyataannya adalah berapa kuat endurance masyarakat yang secara auto pilot melakukan counter narrative terhadap berita hoax yang berkembang di Medsos akan bertahan?. Inilah pentingnya dibentuk digital atau cyber army ataupun setidaknya deputi cyber oleh negara.

*) Penulis adalah alumnus pasca sarjana Universitas Indonesia. Kolumnis, pengamat komunikasi massa dan masalah strategis. Tinggal di Jakarta.

Pewarta: Toni Ervianto *)

Editor : M. Tohamaksun


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2016