Setelah seminggu melaksanakan investigasi, Polri melalui Bareskrim telah menetapkan petahana Gubernur Jakarta, Basuki "Ahok" Tjahaja Purnama sebagai tersangka dalam kasus penistaan agama, gerakan ini boleh jadi membahayakan upaya Ahok supaya terpilih kembali dalam Pilkada 2017. Ahok dituduh melanggar Pasal 156 KUHP terkait penistaan agama dan juga Pasal 28 ayat 2 UU ITE. Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian menegaskan akan melanjutkan proses hukum dalam kasus ini.

"Meskipun ada perbedaan pendapat di kalangan penyidik Polri, semua pihak menyatakan setuju kasus ini akan disidangkan secara terbuka," kata Kabareskrim, Komjen Pol Ari Dono. Ari juga menyatakan Polri mencekal Ahok untuk bepergian ke luar negeri.

Polri juga menyatakan rekaman video Basuki "Ahok" Tjahaja Purnama sebagai tersangka kasus penistaan agama adalah original dan tidak diedit. Merespons, sejumlah Ormas Islam dalam unjuk rasa mendesak Polri menahan Ahok dalam kasus penistaan agama, Polri langsung melakukan investigasi forensik digital terhadap video yang menampilkan pernyataan Ahok mengomentari Surat Al Maidah 51 dalam kunjungan kerjanya di Kepulauan Seribu akhir September 2016.
 
Di tempat terpisah, Presiden Joko Widodo menghimbau kepada masyarakat untuk menghormati upaya investigasi Polri terkait kasys Basuki "Ahok" Tjahaja Purnama dalam dugaan penistaan agama, dan Jokowi menyakinkan bahwa proses hukum akan berjalan dengan fair dan transparan.
 
Jokowi melalui Juru Bicara Kepresidenan, Johan Budi, menyatakan, upaya Polri telah memenuhi prinsip-prinsip transparansi, profesionalisme, dan adil. Presiden meminta semua pihak mengormati proses hukum yang sedang berjalan dan akan segera diselesaikan. Presiden juga mempersilahkan masyarakat untuk memonitor tahapan hukum selanjutnya pasca Ahok ditetapkan sebagai tersangka.

Sementara Ahok, meminta kepada para pendukungnya untuk menerima keputusan Polri yang menetapkan dirinya sebagai tersangka, dan dirinya akan melakukan semua cara hukum secara legal terkait keputusan tersebut, termasuk sidang pra peradilan yang bersifat terbuka.

Di tempat terpisah, Kadiv Humas Mabes Polri, Irjen Pol Boy Rafli Amar menyatakan, Polri mempersilahkan Ahok untuk mengajukan gugatan pra peradilan. Namun, gugatan pra peradilan tidak akan menghentikan proses hukum kasus ini, karena berdasarkan bukti-bukti yang dikumpulkan selama penyelidikan awal sudah cukup kuat menyatakan Ahok sebagai tersangka.
 
Sedangkan, Ketua KPU Jakarta, Sumarno, menyatakan KPU tidak akan mendrop Ahok sebagai calon Gubernur DKI Jakarta walaupun pengadilan menyatakan Ahok bersalah. "Kandidat dapat terus melanjutkan aktivitas kampanyenya dan ikut prosedur Pilkada sampai hari pemilihan suara," kata Sumarno.

Rencana Aksi Bela Islam III Tidak Diperlukan Lagi
    
Setelah kasus dugaan penistaan agama diputuskan, kita bersama harus merawat solidaritas nasional di antara seluruh masyarakat, dan kita akan mengutuk jika ada kelompok di negara ini yang tetap akan memutuskan untuk membuat aksi unjuk rasa pada 25 November 2016. Penulis berpendapat, rencana aksi unjuk rasa 25 November 2016 sebaiknya dibatalkan, karena tidak ada alasan yang masuk akal untuk tetap dilaksanakan.
    
Meskipun, Mabes Polri telah menetapkan Ahok sebagai tersangkaa dalam kasus penistaan agama, masyarakat pada umumnya tetap mempunyai beberapa pertanyaan, antara lain apakah keputusan Ahok sebagai tersangka dapat menghentikan kehebohan politik dan hukum di Indonesia; Apakah keputusan ini dapat membatalkan rencana aksi unjuk rasa pada 25 November 2016 dan apakah semua pemangku kepentingan di Indonesia dapat menghormati dan menghargai proses hukum yang sedang berjalan?.
    
Bagaimanapun, masyarakat perlu mengerti atau disosialisasikan akan situasi terkini, karena dengan cara ini masyarakat tidak akan mudah terprovokasi oleh kelompok kepentingan politik tertentu atau kelompok post power syndrome. Kita harus memperhatikan secara serius terhadap perkembangan situasi mendatang terkait kasus Ahok, karena hal ini dapat memicu aksi-aksi serangan bom berikutnya, dapat menciptakan ketidakpastian sosial dan politik khususnya di beberapa daerah yang rawan terjadinya konflik seperti Solo (Jawa Tengah), Malang (Jawa Timur), Medan (Sumatera Utara), NTT, Sulawesi Utara, Papua, dan Papua Barat.
    
Jika rencana aksi unjuk rasa tanggal 25 November 2016 tetap akan dilaksanakan, kita dapat memprediksikan bahwa niat utama dari aksi ini bukan lagi soal penistaan agama melainkan untuk melengserkan atau impeachment terhadap pemerintahan yang sah di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi.
    
Banyak indikator yang dapat menjelaskan bahwa rencana aksi unjuk rasa lanjutan potensial untuk terjadi, yaitu terus berlanjutnya penyebaran ujaran kebencian atau hate-speech dan hasutan atau stir-up di Medsos, banyaknya aktor-aktor politik yang akan mendapatkan keuntungan politik dan ekonomi jika aksi unjuk rasa 25 November 2016 tetap dilaksanakan, karena banyaknya kelompok kepentingan yang akan "bermain"; adanya kemungkinan kelompok radikal akan mempersiapkan serangan mereka yang baru dengan memanfaatkan situasi yang berkembang.
    
Oleh karena itu, penulis perlu menghimbau seluruh pemangku kepentingan dan masyarakat umum untuk membatalkan atau menolak ajakan ikut berdemonstrasi pada 25 November mendatang, karena partisipasi politik yang murni dari masyarakat dapat dijadikan "kambing hitam" bagi aktor-aktor yang tidak bertanggung jawab untuk menciptakan kerusuhan ulang seperti yang terjadi saat unjuk rasa 4 November 2016. Jika unjuk rasa anarkis kembali terjadi, hal ini mungkin akan membahayakan semangat Bhineka Tunggal Ika kita. Oleh karena itu, hormati hukum dan jangan mudah terprovokasi.
    
*) Penulis adalah pengamat masalah Polkamnas. Tinggal di Padang, Sumatera Barat.

Pewarta: Datuak Tjumano *)

Editor : M. Tohamaksun


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2016