Keluarga, adalah lembaga pendidikan paling dasar dan paling awal yang dilalui setiap anak manusia yang terlahir ke dunia. Dari sanalah pendidikan agama ditanamkan, aspek sosial budaya diperkenalkan, dan pembinaan lingkungan serta cinta kasih diajarkan. Bagaimana kualitas anak bangsa tercipta amatlah ditentukan dari kondisi dan kehangatan keluarga yang membesarkannya.

Membangun sebuah keluarga bukan hal yang mudah, harus dibangun dari kokohnya komitmen sepasang anak manusia yang kemudian menjadi suami istri, lantas menjadi ayah dan ibu, serta kelak menjadi sepasang kakek-nenek dan seterusnya. Cinta kasih di antara keduanya merupakan pondasi dalam menciptakan kehangatan keluarga setelah satu per satu keturunan mereka terlahir ke dunia. Ibarat mengayuh perahu di tengah samudera, angin dan badai akan menerpa dalam perjalanan panjang kehidupan, namun kekuatan cinta akan menyelamatkan mereka.

Bangunan keluarga yang ideal, menurut Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) disyaratkan memenuhi delapan fungsi utama, yakni:

Pertama, keagamaan. Orang tua sebagai pemimpin dalam keluarga hendaknya menampilkan panutan yang baik dalam beribadah dan perilaku keseharian kepada anak.

Kedua, sosial budaya. Pemimpin dalam keluarga diharapkan menjadi contoh dalam bertutur kata, juga bertindak dengan baik dan bijaksana bagi anak-anaknya.

Ketiga, cinta kasih. Mencurahkan semua kasih sayang kepada anak, sehingga tercipta sebuah hubungan yang harmonis dalam keluarga.

Keempat, perlindungan. Menumbuhkan rasa aman, nyaman, dan hangat dalam keluarga, sehingga rumah menjadi tempat terbaik bagi anak-anak untuk tumbuh di sana.

Baca juga: Pola hubungan orang tua dengan anak

Kelima, reproduksi. Orang tua bersepakat dalam jumlah anak, jarak kelahiran, dan kesehatan reproduksi, terutama pada sang ibu.

Keenam, sosialisasi dan pendidikan. Rumah dalam keluarga merupakan lembaga pendidikan utama yang berperan menyosialisasikan berbagai nilai-nilai kehidupan, mendidik anak-anak dengan nilai moral yang baik

Ketujuh, ekonomi. Fungsi ekonomi dalam rumah tangga berarti bahwa orang tua bertanggung jawab memenuhi segala kebutuhan hidup anggota keluarganya.

Kedelapan, pembinaan lingkungan. Ada peran pembinaan lingkungan dalam sebuah keluarga, yaitu mengajarkan anak untuk berinteraksi dengan lingkungan sekitar, baik terhadap tetangga atau alam, juga hewan dengan akhlak yang baik, demi keharmonisan dan keberlanjutan.

Sementara khusus mengenai peran kepala keluarga, Evelyn Millis Duvall dan Brent C. Miller dalam bukunya Marriage and Family Development (1985) menyebutkan bahwa pria berperan untuk mencari nafkah, melindungi keluarga, mengambil keputusan, mengurus rumah tangga, mengasuh anak, memelihara hubungan kekerabatan dan membina hubungan yang harmonis dengan istrinya.

 

Teladan Ibrahim

Hari Keluarga Nasional (Harganas) yang diperingati setiap tanggal 29 Juni, kali ini jatuh bertepatan dengan perayaan Hari Idul Adha atau Hari Raya Kurban. Dalam berbagai khutbah Idul Adha yang digelar pada rangkaian Shalat Id, tak lupa khotib selalu mengungkap sejarah Nabi Ibrahim AS yang ikhlas menyembelih putranya Ismail dalam prosesi berkurban.

Berkenaan dengan fungsi keagamaan dalam keluarga, cerita tentang Nabi Ibrahim juga masih relevan untuk direfleksikan dalam kehidupan kekinian. Kesediaan Nabi Ismail AS untuk disembelih, padahal ketika itu dia baru berusia sekitar 14 tahun, adalah manivestasi ketaatannya pada orang tua dan Tuhannya. Bagaimana remaja seusia itu telah matang dalam segi emosi dan spiritualnya? Tentu berkat didikan agama orang tuanya dan keteladanan seorang Ibrahim. Ia pun tak perlu memaksa pada anaknya agar bersedia untuk disembelih, melainkan menceritakan perihal perintah Alloh SWT melalui mimpinya dan meminta pendapat putranya. Ada proses diskusi di sana, tidak ada sikap superior orang tua terhadap anaknya. Maka kemudian yang mereka berdua lakukan adalah semata-mata karena kesadaran dan keikhlasan atas nama ketakwaan kepada Tuhan.

Baca juga: Berikut cara cegah anak obesitas sedari dini

Keteladanan seorang kepala keluarga, mengambil peran penting dan porsi besar dalam mewujudkan keberhasilan sebuah rumah tangga. Kepala keluarga adalah pemimpin atau nakhoda dalam biduk rumah tangga yang menentukan arah kehidupan melaju. Karenanya, kriteria 3 K (kompetensi, keteladanan, kharisma) minimal dimiliki seorang kepala keluarga. Ketika sebuah keluarga dalam keadaan tidak baik-baik saja, maka kepiawaian seorang nakhoda diuji untuk mengatasi atau menyeimbangkan kapal yang oleng di tengah laut.

 

Broken home

Keluarga yang hangat dan harmonis tentu menjadi dambaan setiap orang. Namun realita kehidupan tidak selalu indah seperti angan-angan. Banyak juga bangunan keluarga yang berantakan karena konflik hingga perceraian. Jika kondisinya demikian, lantas apakah anak-anak terpaksa ikut hancur bersama runtuhnya rumah tangga?

Mengambinghitamkan broken home sebagai alasan para remaja untuk menjadi anak nakal adalah jalan mudah, namun tidak bertanggung jawab. Sebab banyak pula pilihan baik di tengah situasi yang tidak baik. Memang, remaja nakal akibat broken home mungkin dapat dimaklumi atau dimaafkan oleh lingkungan sosial, namun anak-anak yang mampu menghebat dan berhasil menyelamatkan diri dari kehancuran keluarganya tentu menjadi penyintas yang luar biasa.

Sementara, apa yang harus dilakukan orang tua saat rumah tangga mengalami guncangan? Adalah memastikan “para penumpang” tidak turut terguncang hebat. Meski konflik dalam keluarga sudah pasti berdampak pada kondisi psikologis anak-anak, namun setidaknya orang tua berkewajiban melindungi buah hatinya agar efek buruknya dapat diminimalisasi.

Caranya dengan memberi perlakuan yang lebih istimewa dari biasanya, memberi perhatian dan cinta kasih dua kali lipat, penguatan mental dan spiritual, pun pemenuhan kesejahteraan yang lebih baik. Dengan memberi perlakuan istimewa seperti itu diharapkan dapat mengobati luka batin hingga mereka mampu melanjutkan kegiatan belajar dan pengembangan dirinya seperti dalam kondisi normal.

Baca juga: Ini 5 aktivitas asyik habiskan waktu libur Tahun Baru bersama keluarga dan sahabat


Keluarga Cemara

Bila mencari role model sebuah keluarga bahagia di dunia nyata agak langka, barangkali menemukannya dalam sinema akan lebih mudah karena ada film “Keluarga Cemara” yang begitu fenomenal. Film drama keluarga itu diadopsi dari cerita bersambung yang dimuat di majalah “Hai”, kemudian dijadikan novel berseri karya Arswendo Atmowiloto, dan diproduksi juga dalam format sinetron dengan judul yang sama.

Keluarga Cemara, film yang memanen pujian dan berbagai penghargaan termasuk Piala Citra itu mengingatkan penonton akan pentingnya sebuah keluarga. Baik saat senang atau susah, keluarga adalah tempat terbaik untuk kembali.

Dalam ceritanya, ada sosok Abah (kepala keluarga) yang begitu tangguh, sabar, dan bijaksana, mampu menguasai keadaan dan menenangkan anggota keluarga saat kondisi ekonomi terpuruk di titik terendah dari yang sebelumnya hidup enak di kota besar. Digambarkan pula keberadaan Emak (istri) yang ikhlas mendampingi suami yang bangkrut seraya ikut merangkul anak-anaknya agar mampu menerima kenyataan pahit. Sementara tiga anak mereka merepresentasikan anak usia remaja dan anak-anak dengan dinamikanya masing-masing, yang disajikan secara natural seperti layaknya yang terjadi dalam keseharian.

Keluarga Cemara adalah gambaran kehangatan sebuah keluarga, yang bila diadaptasi ke kehidupan nyata akan menjadikan anak-anak tumbuh dengan perkembangan psikologis yang sehat. Di dalamnya terdapat figur ayah yang patut menjadi tauladan, begitu pun seorang ibu yang tulus menjalani kehidupan meski banyak tantangan.

Konflik antargenerasi pasti terjadi dalam setiap rumah tangga, namun riak-riak konflik dalam Keluarga Cemara mampu diselesaikan berkat ketokohan sang kepala keluarga. Bisa dibilang, potret rumah tangga sederhana itu laksana keluarga rasa surga.

Keluarga adalah unit sosial terkecil dalam masyarakat, namun berperan sangat besar dalam membentuk kepribadian setiap anggotanya. Gaya parenting yang diterapkan di dalamnya dapat mempengaruhi bagaimana karakter anak bangsa bisa tercipta. Pendidikan formal di sekolah hingga kuliah hanyalah penunjang, karena pendidikan paling dasar berasal dari keluarga. Bahkan sejak hari pertama anak manusia dilahirkan, apa yang ia lihat dan dengar kemudian terekam dalam otaknya adalah pelajaran dari orang di sekitarnya, yaitu keluarga.

Sebagai lembaga pendidikan paling dasar, keluarga memiliki tanggung jawab moral dalam membangun karakter, akhlak, dan budi pekerti generasi yang diampunya. Maka ciptakanlah keluarga rasa surga agar anak-anak yang tumbuh di dalamnya menjadi manusia kualitas prima.

Pewarta: Sizuka

Editor : Naryo


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2023