Jakarta (Antara Megapolitan) - Bank Indonesia menekankan nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing tidak akan dibiarkan terlalu kuat, di tengah banyaknya dana valuta asing yang masuk karena repatriasi program amnesti pajak.

Menurut Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara di Jakarta, Kamis, kurs rupiah tidak akan dibiarkan terlalu kuat, meskipun dana masuk melimpah, karena kurs harus sesuai kondisi fundamental perekonomian domestik.

Salah satu indikator fundamental ekonomi domestik adalah neraca transaksi berjalan. Saat ini, neraca transaksi berjalan yang termasuk kegiatan ekspor impor barang dan layanan jasa Indonesia, masih defisit.

Oleh karena itu, Indonesia membutuhkan kurs rupiah yang kompetitif atau tidak terlalu kuat, agar dapat menstimulus kinerja ekspor dan menahan pembengkakan laju impor.

"Saya ulangi, kurs yang terus menguat bukan sesuatu yang baik," kata Mirza.

Di akhir periode pertama amnesti pajak, atau ketika dana tebusan dan repatriasi dari asing melaju kencang, kurs rupiah terus menguat, dan memasuki level Rp12.900, setelah sejak awal tahun selalu berada di rentang Rp13.000.

Pada akhir periode pertama amnesti pajak, Kamis (29/9), BI mencatat, secara tahun berjalan, rupiah telah terapresiasi enam persen, menjadi rata-rata Rp12.945/dolar AS. Padahal, asumsi kurs rupiah di APBN-P 2016 adalah Rp13.900/dolar AS.

Namun, ke depan, kurs rupiah juga diperkirakan belum lepas dari tekanan eksternal. Variasi kebijakan moneter negara-negara maju dan ketidakpastian dari The Federal Reserve, diperkirakan masih membayangi pergerakkan rupiah.

"Kendati demikian, rupiah tidak berarti kebal terhadap pergerakan mata uang global. Contohnya ketika Tiongkok mendevaluasi mata uangnya pada Januari tahun ini, rupiah kembali terdepresiasi. Begitu pula ketika rakyat Inggris memutuskan untuk keluar dari Uni Eropa (Brexit) pada Juni lalu," ujar Ekonom Senior DBS Group Research, Philip Wee.
(Ant).

Pewarta: Indra Arief Pribadi

Editor : M. Tohamaksun


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2016