Penurunan intermediasi perbankan saat awal pandemi melanda terlihat dari pertumbuhan kredit yang terkontraksi sebesar 2,41 persen dibanding periode sama tahun sebelumnya (year-on-year/yoy). Padahal, pada masa normal, pertumbuhan kredit perbankan bisa melesat hingga dua digit.

Intermediasi merupakan salah satu fungsi lembaga keuangan bank melalui cara penarikan atau penghimpunan dana dari para penabung, kemudian disalurkan kembali dalam bentuk pinjaman kepada pihak-pihak yang membutuhkan baik untuk kepentingan konsumtif maupun produktif.

Intermediasi bank memiliki dampak berganda terhadap perekonomian, bisa memulihkan kembali ekonomi domestik.

Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) terus berupaya mendorong fungsi intermediasi perbankan. Sebagai salah satu anggota KSSK, Bank Indonesia (BI) tak ketinggalan memperkuat fungsi intermediasi untuk mendongkrak perekonomian nasional.

Meski bekerja secara independen, BI tetap memiliki kewajiban untuk mendukung pemulihan ekonomi nasional. Oleh karenanya, Bank Sentral mengerahkan kebijakan makroprudensial agar bisa mendukung pertumbuhan ekonomi.

Kebijakan makroprudensial merupakan langkah yang ditetapkan dan dilaksanakan untuk turut menjaga stabilitas sistem keuangan melalui upaya mendorong intermediasi yang seimbang, berkualitas, dan berkelanjutan, memitigasi dan mengelola risiko sistemik, serta mendorong inklusi ekonomi dan keuangan, juga keuangan berkelanjutan.

Kebijakan makroprudensial yang tetap akomodatif dilakukan BI melalui fokus tiga kebijakan utama. Pertama, mendorong pemulihan intermediasi dan ekonomi melalui terus memonitor dan mengevaluasi kebijakan yang telah ada terkait penurunan loan to value (LTV) kredit properti, relaksasi uang muka kredit kendaraan bermotor (KKB), dan rasio intermediasi makroprudensial (RIM).

Kemudian, melalui penguatan kebijakan transparansi suku bunga dasar kredit (SBDK) perbankan untuk meningkatkan efektivitas transmisi suku bunga kebijakan.

Kebijakan kedua yakni menjaga kecukupan likuiditas perbankan dengan terus memonitor dan mengevaluasi kebijakan yang telah ada terkait penyangga likuiditas makroprudensial (PLM), penurunan giro wajib minimum (GWM), dan counter cyclical buffer (CCB).

Ketiga, mendorong akses keuangan bagi UMKM dan sektor inklusif lain. 

Ekonom Universitas Indonesia Teuku Riefky menilai peran perbankan dalam menyalurkan kredit ke dunia usaha sudah cukup baik, terutama dengan adanya relaksasi kebijakan dari BI. Namun, terdapat beberapa kondisi lain yang menyebabkan kredit kepada dunia usaha relatif melambat dalam beberapa waktu belakangan.

Kondisi yang dimaksud yakni rezim tingkat suku bunga tinggi, baik di global maupun domestik, hingga Indonesia yang memasuki tahun politik.

Penantian dunia usaha tercermin dari permintaan pembiayaan korporasi pada April 2023 terindikasi tumbuh terbatas, yang terlihat dari dari Saldo Bersih Tertimbang (SBT) pembiayaan korporasi sebesar 19,8 persen atau lebih rendah dari SBT 24 persen pada Maret 2023.

Secara keseluruhan kredit atau pembiayaan perbankan pun tumbuh melambat meski tetap positif sejalan dengan berlanjutnya perbaikan ekonomi. Pertumbuhan kredit pada April 2023 tercatat 8,08 persen (yoy), lebih rendah dari bulan sebelumnya sebesar 9,93 persen (yoy).

Pertumbuhan kredit tertinggi terjadi pada kredit investasi sebesar 10,12 persen (yoy), diikuti oleh kredit konsumsi sebesar 8,68 persen (yoy) dan kredit modal kerja sebesar 6,55 persen (yoy).

Pertumbuhan kredit yang tinggi terutama tercatat pada korporasi di sektor pertambangan, industri, dan jasa. Dari sisi penawaran, bank optimistis mampu mencapai target penyaluran kredit 2023 sejalan dengan berlanjutnya perbaikan ekonomi serta tetap longgarnya likuiditas dan standar penyaluran.





 

Pewarta: Agatha Olivia Victoria

Editor : Budi Setiawanto


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2023