Perth (Antara Megapolitan) - Seminar setengah hari mengulas berbagai unsur perkembangan dan pemanfaatan Internet di Indonesia digelar di kampus Universitas Murdoch di Perth, Australia, Senin.

Dengan menghadirkan berbagai pakar dari Indonesia dan Australia, seminar berjudul "Digital Indonesia: Challenges and Opportunities in the Digital Revolution" itu menjadi bagian dari program riset "Indonesia Project" Universitas Nasional Australia (ANU), yang meneliti berbagai unsur masyarakat dan ekonomi Indonesia.

Terobosan kali ini dari program akademik "Indonesia Project" ANU adalah seminar "mini update" tahunan dilangsungkan di Universitas Murdoch, yang juga memiliki pusat kajian Indonesia.

Sebagai pembicara pertama, dosen ANU, Ross Tapsell, membahas perkembangan oligarki media massa di Indonesia, yang tumbuh semakin besar berkat era digital.

Dengan melihat kecenderungan "outlet" media massa di Indonesia, Ross menyebutkan pemilik media tidak puas hanya menjadi penyedia materi berita, tapi juga bergerak ke arah penguasaan jaringan.

"Media di Indonesia dikuasai tujuh konglomerat dan kekayaan pemilik media di Indonesia terus meningkat dengan salah satu pemilik jaringan media menyebut bahwa 'media massa adalah bentuk baru batu bara'," kata pria itu, yang pernah bekerja di "The Jakarta Post" dan "Lombok Post".

Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa kepemilikan media massa di era digital Indonesia justru menunjukkan sentralisasi liputan. "Semua media berpusat di Jakarta, 60% muatannya dibuat di Jakarta, dan pendekatan bisnisnya adalah untuk kepentingan pemodal media," katanya.

Pengulas kedua adalah Nicole Andres yang memaparkan hasil risetnya yang mendalami peranan media massa dalam skandal "CenturyGate". Ia menegaskan bahwa skandal Bank Century dimanfaatkan elit politik, berkoalisi dengan para pemilik media, sebagai kesempatan untuk menjatuhkan kredibilitas pemerintahan.

Andina Dwifatma, dosen Universitas Atma Jaya, yang membawakan materi tentang pemanfaatan Internet dan praktik jurnalisme warga "Kompasiana", mengulas bagaimana Internet membuka kesempatan bagi masyarakat umum menyebarkan informasi peka, seperti, skandal plagiarisme dan intrik politik.

Andina menyebutkan "Kompasiana" berkembang menjadi wadah informasi di era digital, yang sangat penting dalam penyebaran informasi di Indonesia. Di sisi lain, media ini dianggap lebih netral karena diisi oleh "blogger", bukan jurnalis resmi, yang bekerja untuk pemilik modal tertentu.

"Pendapatan utama justru bukan diperoleh dari iklan, melainkan acara peluncuran produk atau sosialisasi program kementerian, di mana untuk satu acara bisa bernilai Rp700 juta. Kompasiana akan mengundang para blogger, dan kontes penulisan blog dengan hadiah Rp5 juta cukup membuat 'blogger' antusias," katanya.

Beberapa kali materi yang tayang terpaksa ditarik dari laman "Kompasiana" atas desakan pihak yang merasa dirugikan, kata Andina mengutip artikel tentang menteri Jokowi dan menteri Jusuf Kalla yang konon sering tidak kompak.

Selain ulasan menarik tentang media massa di era digital, seminar juga menghadirkan Onno Purbo, seorang pegiat internet di Indonesia. Ia membawakan materi tentang ketimpangan akses dan pengetahuan tentang internet di Indonesia.

"Pendekatan pemerintah Indonesia mengatasi 'digital divide' terbukti gagal, lewat program MPLIK, warung internet/warnet, dan 'mobile' warnet," ujar pria yang telah menuliskan 40 buku.

Sementara itu, pendekatan berbasis masyarakat "bottom-up" dengan melibatkan guru, murid sekolah, diyakini lebih efektif dalam upaya menjembatani ketimpangan akses dan pengetahuan internet di Indonesia.

"Untuk mengatasi 'digital divide' di Indonesia, saya mengusulkan kurikulum tentang ICT kembali dimasukkan ke kurikulum sekolah di Indonesia, ini untuk mengatasi ketimpangan pengetahuan, sedangkan ketimpangan akses Internet harus diatasi dengan pendekatan mengutamakan pembangunan desa," katanya. (Ant).

Pewarta: Ella Syafputri

Editor : M. Tohamaksun


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2016