Jakarta (Antara Megapolitan) - Pendiri Lembaga Pendidikan dan Pengembangan Profesi Indonesia (LP3I) Syahrial Yusuf mengatakan sistem belajar seharian atau "full day school" harus dikaji secara mendalam karena Indonesia memiliki keragaman karakteristik kesenjangan insfratruktur dan geografis.
"Wacana 'full day school' itu tidak perlu dilempar ke publik bila konsep dan teknisnya tampak belum siap dan masih kurang jelas. Indonesia ini sangat luas dan heterogen, maka harus ada standardisasi tertentu yang relevan," kata Syahrial lewat keterangan tertulisnya yang diterima di Jakarta, Selasa.
Menurut dia, masih banyak ditemukan ketimpangan fasilitas pendidikan di Indonesia. Faktor tersebut tidak bisa disamakan begitu saja dengan daerah yang memenuhi ketersediaanya.
"Kalau infrastruktur merata mungkin tidak terlalu masalah, tapi dilihat dari realitas infrastruktur fasilitas pendidikan saja masih banyak temuan yang memprihatinkan. Belum lagi biaya yang dikeluarkan untuk implementasinya nanti baik dari sisi sekolah atau pemerintah dan wali murid," kata dia.
Dari segi siswa, kata dia, sekolah seharian akan memberi keletihan dan kurang maksimalnya siswa dalam melakukan konsentrasi belajar. Beberapa siswa juga akan terhambat haknya untuk mengikuti pengembangan diri di luar sekolah.
"Orang dewasa saja bisa keletihan dengan standar kerja delapan jam, apalagi anak-anak psikologinya nyaman tidak?," kata dia. Selanjutnya, kata dia, dari sisi tenaga pengajar akan ada kendala dengan jumlah guru untuk mendidik siswa yang sekolahnya seharian. Selain mengajar, guru juga ada pekerjaan administratif seperti memonitor hasil belajar siswa dan hal lainnya.
Hak orang tua, kata Syahrial, dapat juga terganggu karena harus menyesuaikan dengan kebijakan baru. Sektor bisnis lain seperti bimbingan belajar dan kursus ketrampilan juga terancam.
Menurut dia, sistem pendidikan yang kerap berganti harus dikaji karena pendidikan harus dibangun secara terencana jangka panjang. Sebaiknya pemerintah fokus pada kebijakan skala prioritas, termasuk yang sifatnya mendorong pendidikan kejuruan/vokasional. (Ant).
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2016
"Wacana 'full day school' itu tidak perlu dilempar ke publik bila konsep dan teknisnya tampak belum siap dan masih kurang jelas. Indonesia ini sangat luas dan heterogen, maka harus ada standardisasi tertentu yang relevan," kata Syahrial lewat keterangan tertulisnya yang diterima di Jakarta, Selasa.
Menurut dia, masih banyak ditemukan ketimpangan fasilitas pendidikan di Indonesia. Faktor tersebut tidak bisa disamakan begitu saja dengan daerah yang memenuhi ketersediaanya.
"Kalau infrastruktur merata mungkin tidak terlalu masalah, tapi dilihat dari realitas infrastruktur fasilitas pendidikan saja masih banyak temuan yang memprihatinkan. Belum lagi biaya yang dikeluarkan untuk implementasinya nanti baik dari sisi sekolah atau pemerintah dan wali murid," kata dia.
Dari segi siswa, kata dia, sekolah seharian akan memberi keletihan dan kurang maksimalnya siswa dalam melakukan konsentrasi belajar. Beberapa siswa juga akan terhambat haknya untuk mengikuti pengembangan diri di luar sekolah.
"Orang dewasa saja bisa keletihan dengan standar kerja delapan jam, apalagi anak-anak psikologinya nyaman tidak?," kata dia. Selanjutnya, kata dia, dari sisi tenaga pengajar akan ada kendala dengan jumlah guru untuk mendidik siswa yang sekolahnya seharian. Selain mengajar, guru juga ada pekerjaan administratif seperti memonitor hasil belajar siswa dan hal lainnya.
Hak orang tua, kata Syahrial, dapat juga terganggu karena harus menyesuaikan dengan kebijakan baru. Sektor bisnis lain seperti bimbingan belajar dan kursus ketrampilan juga terancam.
Menurut dia, sistem pendidikan yang kerap berganti harus dikaji karena pendidikan harus dibangun secara terencana jangka panjang. Sebaiknya pemerintah fokus pada kebijakan skala prioritas, termasuk yang sifatnya mendorong pendidikan kejuruan/vokasional. (Ant).
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2016