Aceh membuka lembaran tahun 2023 dengan kabar yang memilukan dari dunia flora dan fauna.
Setidaknya, belasan warga diserang satwa liar harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) dan gajah sumatera (Elehas Maximus sumatranus) selama Januari dan Februari. Bahkan, dua warga di antaranya meregang nyawa.
Sementara itu, seekor harimau sumatera berusia antara 1,5-2 tahun ditemukan mati di kebun warga Desa Peunaron Lama, Kecamatan Peunaron, Kabupaten Aceh Timur. Satwa liar ini mati diduga akibat keracunan.
Korban pertama yang diduga kuat akibat konflik satwa dan manusia itu bernama Sufri (40). Ia diserang gajah liar ketika sedang membuat pondok kebun bersama beberapa warga lain di Desa Kekuyang, Kecamatan Ketol, Kabupaten Aceh Tengah pada Ahad (5/2) sore.
Nyawa Sufri tak bisa berhasil terselamatkan, sedangkan dua warga lain bersama Sufri mengalami luka. Dampak peristiwa ini, 80 kepala keluarga di desa itu terpaksa mengungsi ke pengungsian karena tidak berani pulang ke rumah.
Beberapa hari berselang, Fitriani (45), warga Desa Lhok Keutapang, Kecamatan Tangse, Kabupaten Pidie dilaporkan tewas mengenaskan akibat amukan gajah liar.
Tim patroli hutan Forum Konservasi Leuser (FK) yang berjumlah empat orang diserang harimau sumatera pada Sabtu (28/1) siang. Dua hari kemudian, tiga orang petani di Kecamatan Kluet Tengah juga diserang harimau sumatera ketika sedang menginap di pondok kebun kawasan hutan Gunung Sampali.
Satu orang petani di antaranya berhasil selamat, sedangkan dua petani lain, Amrizal (65) dan Habib (29), merupakan ayah dan anak terluka parah di bagian tubuh dan kepala.
Mitigasi
BKSDA menyebut daerah yang paling tinggi intensitas konflik satwa meliputi Pidie, Aceh Tengah, Bener Meriah, Aceh Selatan, Aceh Timur, Aceh Jaya, Aceh Barat, dan Nagan Raya. Untuk gajah, kawanan gajah liar terbesar berada di wilayah hutan Pidie.
Aceh memiliki tujuh Conservation Response Unit (CRU) untuk penanggulangan konflik gajah dan manusia, yakni CRU Mila di Pidie, CRU Peusangan di Bener Meriah, CRU Sampoinet di Aceh Jaya, CRU Woyla Timur di Aceh Barat, CRU Cot Girek di Aceh Utara, CRU Serbajadi di Aceh Timur dan CRU Trumon di Aceh Selatan.
BKSDA terus berupaya melakukan penanganan konflik satwa dan penduduk. Saat ini, pihaknya bersama unsur terkait tengah menyusun strategi jangka panjang dengan cara menata wilayah peta pergerakan gajah.
Peta kawasan pergerakan gajah tersebut berguna untuk mengetahui kawasan bermain gajah, sehingga masyarakat dapat melakukan penyesuaian jenis-jenis tanaman pada perkebunan.
Tentu, upaya itu membutuhkan sinkronisasi program lintas sektor di Aceh. Dinas pertanian misalnya, diminta untuk tidak membuat program penanaman tanaman yang disukai gajah di wilayah perlintasan gajah, karena akan habis dimakan gajah.
Di sisi lain, BKSDA juga telah melakukan mitigasi konflik satwa dengan cara menggunakan petasan untuk mengusir kawanan gajah yang masuk ke kebun warga, pembuatan pagar kejut (power fencing), dan penggalian parit (barrier).
BKSDA juga terus menelusuri sebaran kelompok gajah liar di wilayah hutan Aceh untuk dipasang kalung GPS atau GPS collar. Tujuannya agar bisa memantau pergerakan hewan bertubuh besar itu dalam upaya meminimalisir konflik satwa.
Setidaknya, BKSDA mencatat ada sekitar tujuh kelompok gajah liar yang terdeteksi di hutan Aceh dan kerap berkonflik dengan warga. Minimal, satu ekor gajah dari setiap kelompok itu harus terpasang GPS collar untuk memantau pergerakan.
Apalagi, kelompok gajah liar tersebut juga terus bertambah, menyusul terdegradasi wilayah pergerakan satwa dilindungi itu akibat perambahan hutan oleh manusia.
Sudah saatnya, masyarakat lebih menyadari bahwa merusak hutan akan mempersempit ruang gerak bagi gajah, harimau dan satwa liar lain, sehingga bisa mengundang konflik satwa dengan manusia yang terus berkepanjangan.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2023
Setidaknya, belasan warga diserang satwa liar harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) dan gajah sumatera (Elehas Maximus sumatranus) selama Januari dan Februari. Bahkan, dua warga di antaranya meregang nyawa.
Sementara itu, seekor harimau sumatera berusia antara 1,5-2 tahun ditemukan mati di kebun warga Desa Peunaron Lama, Kecamatan Peunaron, Kabupaten Aceh Timur. Satwa liar ini mati diduga akibat keracunan.
Korban pertama yang diduga kuat akibat konflik satwa dan manusia itu bernama Sufri (40). Ia diserang gajah liar ketika sedang membuat pondok kebun bersama beberapa warga lain di Desa Kekuyang, Kecamatan Ketol, Kabupaten Aceh Tengah pada Ahad (5/2) sore.
Nyawa Sufri tak bisa berhasil terselamatkan, sedangkan dua warga lain bersama Sufri mengalami luka. Dampak peristiwa ini, 80 kepala keluarga di desa itu terpaksa mengungsi ke pengungsian karena tidak berani pulang ke rumah.
Beberapa hari berselang, Fitriani (45), warga Desa Lhok Keutapang, Kecamatan Tangse, Kabupaten Pidie dilaporkan tewas mengenaskan akibat amukan gajah liar.
Tim patroli hutan Forum Konservasi Leuser (FK) yang berjumlah empat orang diserang harimau sumatera pada Sabtu (28/1) siang. Dua hari kemudian, tiga orang petani di Kecamatan Kluet Tengah juga diserang harimau sumatera ketika sedang menginap di pondok kebun kawasan hutan Gunung Sampali.
Satu orang petani di antaranya berhasil selamat, sedangkan dua petani lain, Amrizal (65) dan Habib (29), merupakan ayah dan anak terluka parah di bagian tubuh dan kepala.
Mitigasi
BKSDA menyebut daerah yang paling tinggi intensitas konflik satwa meliputi Pidie, Aceh Tengah, Bener Meriah, Aceh Selatan, Aceh Timur, Aceh Jaya, Aceh Barat, dan Nagan Raya. Untuk gajah, kawanan gajah liar terbesar berada di wilayah hutan Pidie.
Aceh memiliki tujuh Conservation Response Unit (CRU) untuk penanggulangan konflik gajah dan manusia, yakni CRU Mila di Pidie, CRU Peusangan di Bener Meriah, CRU Sampoinet di Aceh Jaya, CRU Woyla Timur di Aceh Barat, CRU Cot Girek di Aceh Utara, CRU Serbajadi di Aceh Timur dan CRU Trumon di Aceh Selatan.
BKSDA terus berupaya melakukan penanganan konflik satwa dan penduduk. Saat ini, pihaknya bersama unsur terkait tengah menyusun strategi jangka panjang dengan cara menata wilayah peta pergerakan gajah.
Peta kawasan pergerakan gajah tersebut berguna untuk mengetahui kawasan bermain gajah, sehingga masyarakat dapat melakukan penyesuaian jenis-jenis tanaman pada perkebunan.
Tentu, upaya itu membutuhkan sinkronisasi program lintas sektor di Aceh. Dinas pertanian misalnya, diminta untuk tidak membuat program penanaman tanaman yang disukai gajah di wilayah perlintasan gajah, karena akan habis dimakan gajah.
Di sisi lain, BKSDA juga telah melakukan mitigasi konflik satwa dengan cara menggunakan petasan untuk mengusir kawanan gajah yang masuk ke kebun warga, pembuatan pagar kejut (power fencing), dan penggalian parit (barrier).
BKSDA juga terus menelusuri sebaran kelompok gajah liar di wilayah hutan Aceh untuk dipasang kalung GPS atau GPS collar. Tujuannya agar bisa memantau pergerakan hewan bertubuh besar itu dalam upaya meminimalisir konflik satwa.
Setidaknya, BKSDA mencatat ada sekitar tujuh kelompok gajah liar yang terdeteksi di hutan Aceh dan kerap berkonflik dengan warga. Minimal, satu ekor gajah dari setiap kelompok itu harus terpasang GPS collar untuk memantau pergerakan.
Apalagi, kelompok gajah liar tersebut juga terus bertambah, menyusul terdegradasi wilayah pergerakan satwa dilindungi itu akibat perambahan hutan oleh manusia.
Sudah saatnya, masyarakat lebih menyadari bahwa merusak hutan akan mempersempit ruang gerak bagi gajah, harimau dan satwa liar lain, sehingga bisa mengundang konflik satwa dengan manusia yang terus berkepanjangan.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2023