Kerusuhan yang disebabkan sentimen SARA terjadi lagi Indonesia. Beberapa tempat ibadah (vihara dan klenteng) dibakar di Tanjung Balai Sumatera Utara. Penyebab kerusuhan karena ada seseorang dari etnis Tionghoa (Meliana, 40 tahun) meminta agar pengurus mesjid Al Maksum di lingkungannya mengecilkan volume pengeras suaranya. Permasalahan berlanjut, suasana memanas, dan akhirnya terjadi kerusuhan tersebut.

Di Indonesia bukan sekali ini terjadi kerusahan/konflik horizontal yang berkaitan dengan SARA. Seperti kerusuhan di Sampit (1996, 1997, 2001), yaitu konflik antara suku Dayak dan Madura, kerusuhan Sambas (1999) konflik antara suku Melayu dan Dayak dengan Madura, kerusuhan di Ambon (1999) konflik antara masyarakat beragama Kristen dan Islam, kerusuhan di Sampang (2012) penyerangan terhadap warga Syiah. Kerusuhan yang dipicu oleh faktor SARA tersebut mengakibatkan korban jiwa dan materi yang tidak sedikit.

Sebagai negara yang dibangun dengan menjunjung tinggi perbedaan, ternyata Indonesia masih rentan dengan ancaman terjadinya kerusuhan yang disebabkan oleh konflik SARA. Hal ini perlu diwaspadai dan dijadikan pelajaran, mengapa konflik terjadi dengan mudah dan cepat?.

Penyebab Konflik

Konflik horisontal yang terjadi di Indonesia membesar karena dipicu oleh perbedaan. Konflik Sampit dan Sambas membesar karena ada perbedaan suku. Konflik Ambon membesar karena perbedaan agama. Konflik Sampang membesar karena adanya perbedaan aliran atau mazhab. Jika dipelajari, pemicu dari konflik-konflik tersebut adalah hal-hal kecil, yang dapat dikategorikan kasus kriminal biasa. Namun karena sentimen SARA maka perkara kecil dibesar-besarkan dan perbedaan SARA menjadi katalisator.

Selain adanya perbedaan SARA, konflik cepat membesar karena masyarakat mempunyai karakter "sumbu pendek", mudah terbakar dan meledak. Pendeknya sumbu ini menhalangi akal sehat dan kesabaran untuk berpikir menghargai perbedaan. Hal-hal kecil dengan cepat meledak jika pelakunya berbeda dari sisi SARA, sementara hal-hal yang lebih besar akan mudah diterima jika pelakunya dari kelompok yang sama.
Perbedaan-perbedaan yang dapat menjadi katalisator konflik adalah suku agama, ras, antar-golongan. Deklarasi Indonesia sebagai negara dengan filosofi Bhinneka Tunggal Ika belum mampu menyatukan masyarakat dan mendinginkan suasana jika terjadi konflik.

Selain faktor SARA, konflik dengan mudah membesar jika masalah dibumbui oleh kesenjangan-kesenjanangan seperti ekonomi. Pihak yang merasa marjinal atau yang mempunyai banyak massa akan dengan mudah sakit hati, dan cepat tersulut sehingga kerusuhan meledak.
Otonomi daerah dan ketidakcakapan pemimpin bisa menjadi salah satu pemicu konflik horizontal. Pemimpin daerah yang cenderung menjadi raja-raja kecil di daerah akan memunculkan rasa kedaerahan/kesukuan yang kuat dan kurang menghargai negara sebagai entitas utama yang harus dijunjung tinggi.

Penyebab lain Konflik/kerusuhan membesar adalah lemahnya aparat keamanan untuk melakukan deteksi dini dan pencegahan dini potensi konflik. Tidak berwibawanya aparat keamanan di lapangan membuat pelaku konflik merasa negara tidak hadir dan hukum tidak ada. Apapun akan mereka lakukan demi meluapkan amarah, emosi, dan sentimen perbedaan yang mereka miliki.

Antisipasi Konflik/Kerusuhan Untuk mencegah konflik/kerusuhan horizontal yang disebabkan faktor SARA, maka harus ada daya pemersatu di masyarakat. Negara harus menciptkan daya pemersatu yang kuat dan tidak mudah ditembus oleh sentimen SARA. Contoh daya pemersatu tersebut adalah rasa nasionalisme cinta akan tanah air yang sama.

Nasionalisme yang melemah di Indonesia menyebabkan perbedaan menjadi penting dan dianggap sebagai hal yang kurang bisa diterima. Negara harus hadir dan dirasakan oleh masyarakat sehingga masyarakat akan mencintai negara dan pemerintah dalam satu kesatuan tanah air yang sama.

Intelijen mempunyai peran penting dalam mendeteksi dini dan melakukan pencegahan dini terhadap konflik. Seharusnya aparat intelijen ada dimana saja, mempunyai jaring dimana-mana. Intelijen tidak akan kekurangan informasi jika sesuai perannya mampu membangun jaringan dengan baik. Informasi intelijen sedini mungkin dapat menjadi bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan, termasuk keputusan-keputusan untuk mencegah dan menangani konflik.

Kesimpulan

Nasionalisme yang luntur, ketidakhadiran negara yang tidak dirasakan masyarakat membuat konflik horizontal mudah terjadi. Daya pemersatu masyarakat yang beragam melemah. Perbedaan SARA justru semakin menguat untuk menunjukkan identitas. Nasionalisme sebagai pendorong identitas warga negara Indonesia diragukan kekuatannya. Negara harus menguatkan rasa cinta tanah air, nasionalisme. Negara harus menunjukkan keberadaannya di masyarakat.

Konflik harus bisa dideteksi dan dicegah oleh aparat intelijen. Jaringan intelijen yang lemah, dan analisis intelijen yang kurang akan menumpulkan bahan-bahan pendukung pengambilan keputusan. Penguatan kemampuan aparat intelijen adalah salah satu langkah penting untuk mendeteksi dan mencegah konflik horizontal.

*) Stanislaus Riyanta, Alumnus Program Pascasarjana S2 Kajian Stratejik Intelijen Universitas Indonesia (UI), tinggal di Jakarta.

Pewarta: Stanislaus Riyanta *)

Editor : M. Tohamaksun


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2016