Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengembangkan teknologi alternatif pengolahan emas tanpa merkuri untuk pertambangan rakyat di Indonesia.
Inovasi itu adalah proyek kolaborasi yang dijalankan oleh Pusat Riset Teknologi Pertambangan BRIN bersama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang didukung oleh United Nation Development Program (UNDP).
"Hal ini diharapkan mampu menjadi jembatan dan katalis untuk transfer teknologi, sehingga menjadi titik tolak penghapusan merkuri dan perbaikan kondisi pertambangan emas skala kecil di Indonesia,” kata Peneliti dari Pusat Riset Teknologi Pertambangan BRIN Dadan Nurjaman dalam keterangan di Jakarta, Jumat.
Dadan mengatakan pihaknya telah membangun proyek percontohan pengolahan emas bebas merkuri di Desa Kalirejo, Kulonprogo, Yogyakarta.
Proyek percontohan tersebut mengadaptasi teknologi pelindian sianidasi. Proses pengolahan hingga pengelolaan limbahnya didesain melalui serangkaian studi dan optimasi, sehingga aman bagi kesehatan dan lingkungan.
Baca juga: BRIN: Langit Indonesia akan alami fenomena gerhana matahari hibrida pada 20 April
BRIN bertugas memberikan bantuan teknis yang mendukung program nasional penghapusan merkuri pada pertambangan emas rakyat.
"Konstruksi pilot plant didesain dan dibangun menggunakan sumber daya lokal atau dalam negeri dengan material yang murah dan mudah untuk didapatkan, dengan bahan baku bijih yang diproyeksikan berjenis bijih emas primer yang mengandung emas berukuran sangat halus,” jelas Dadan.
Pengolahan emas tanpa merkuri yang dilakukan proses sianidasi banyak dilakukan oleh para penambang emas rakyat. Biji emas dihancurkan dan penggilingan dengan menggunakan ball mill yang berukuran hampir sama dengan yang digunakan di tambang rakyat yaitu berdiameter 30 sentimeter.
Dadan mengungkapkan standarisasi ball mill biasanya menggunakan bijih besi berukuran kecil sampai besar. Sedangkan proses penghalusan hingga menjadi tepung sebesar 200 mesh atau sekitar 75 mikrometer, supaya emasnya bisa diproses mengingat emas sangat halus dan ukuran butirnya itu 5 sampai 40 mikrometer.
Menurut Dadan, proses penggilingan emas sebetulnya bisa menggunakan berbagai material penggerus yang bagus, tetapi mahal dan butuh perawatan lebih. Selain itu, lokasi tambang juga jauh dari pemukiman, sehingga sulit untuk mendapatkan onderdil dari bola baja.
Baca juga: Farmasi UI kerja sama dengan BRIN jadikan biota laut sebagai bahan baku obat
“Alternatif pertama adalah menggunakan bola baja dari ukuran kecil sampai besar. Kedua juga bisa menggunakan sumber daya lokal atau kearifan lokal, yaitu menggunakan batu dari endapan sungai yang modelnya sudah relatif subbrownded atau berwarna kecoklatan,” paparnya.
Lebih lanjut Dadan menyampaikan penggunaan bola baja dan batang baja memerlukan waktu sekitar tiga jam. Sedangkan material alternatif memakan waktu empat jam.
Meski selisih satu jam, namun dari segi efisiensi biaya dan operasional, teknologi alternatif jauh lebih unggul karena harganya lebih murah. Para penambang rakyat tidak perlu bergantung dengan onderdil, sehingga aktivitas penambangan bisa terus berkelanjutan.
Dari hasil proses bijih emas menjadi halus sebesar 200 mesh, lalu dilanjutkan dengan sirkulasi lumpur dalam sehari dengan komposisi 40 persen tepung bijih emas dan 60 persen air. Kemudian dimasukkan ke tangki pelidian dan diolah, dilakukan pencampuran, dan suplai oksigen. Setelah itu dicampur dengan beberapa bahan pelarut yang menggunakan sianida.
Waktu proses reaksi yang dibutuhkan adalah sekitar 48 jam. Tingkat pelarutan emas dipengaruhi oleh kekuatan difusi sianida dan oksigen dan perlakuan-perlakuan sebelum sianidasi.
Baca juga: Peneliti BRIN: Potensi siklon mirip Seroja bisa sebabkan peningkatan hujan persisten di NTT
"Pada proses sianida, setelah 4-6 jam ditambahkan karbon aktif. Dalam prosesnya selama 48 jam, nanti emasnya akan terlarut oleh sianida. Pada saat terlarut, diserap oleh karbon,” terang Dadan.
Setelah 48 jam karbon aktif disaring dan dipisahkan dari lumpur. Kemudian karbon aktif yang tersaring dilanjutkan dengan proses pembakaran sampai karbon aktif menjadi abu. Selanjutnya abu campuran emas tersebut dilakukan peleburan untuk mendapatkan produk berupa batangan emas.
“Bullion (batangan) emas itu masih mengandung mineral lainnya, misalkan ada peraknya ataupun tembaganya, tetapi kalau emas oksida biasanya hanya emas dan perak. Setelah itu baru dilakukan pemurnian,” jelasnya.
Sisa lumpur yang masih mengandung sianida bebas sebesar 200 ppm bisa dipompa kembali untuk dilakukan destruksi racunnya. Dari 200 ppm bisa sampai memenuhi baku mutu di bawah 0,5 ppm jadi hanya dalam empat jam. Hal itu memenuhi baku mutu untuk dibuang ke lingkungan.
“Kami mengintervensi teknologi itu bukan hanya mengalihkan metoda dari merkuri ke non-merkuri, tetapi juga bagaimana menangani limbahnya supaya aman dibuang ke lingkungan,” pungkas Dadan.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2023
Inovasi itu adalah proyek kolaborasi yang dijalankan oleh Pusat Riset Teknologi Pertambangan BRIN bersama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang didukung oleh United Nation Development Program (UNDP).
"Hal ini diharapkan mampu menjadi jembatan dan katalis untuk transfer teknologi, sehingga menjadi titik tolak penghapusan merkuri dan perbaikan kondisi pertambangan emas skala kecil di Indonesia,” kata Peneliti dari Pusat Riset Teknologi Pertambangan BRIN Dadan Nurjaman dalam keterangan di Jakarta, Jumat.
Dadan mengatakan pihaknya telah membangun proyek percontohan pengolahan emas bebas merkuri di Desa Kalirejo, Kulonprogo, Yogyakarta.
Proyek percontohan tersebut mengadaptasi teknologi pelindian sianidasi. Proses pengolahan hingga pengelolaan limbahnya didesain melalui serangkaian studi dan optimasi, sehingga aman bagi kesehatan dan lingkungan.
Baca juga: BRIN: Langit Indonesia akan alami fenomena gerhana matahari hibrida pada 20 April
BRIN bertugas memberikan bantuan teknis yang mendukung program nasional penghapusan merkuri pada pertambangan emas rakyat.
"Konstruksi pilot plant didesain dan dibangun menggunakan sumber daya lokal atau dalam negeri dengan material yang murah dan mudah untuk didapatkan, dengan bahan baku bijih yang diproyeksikan berjenis bijih emas primer yang mengandung emas berukuran sangat halus,” jelas Dadan.
Pengolahan emas tanpa merkuri yang dilakukan proses sianidasi banyak dilakukan oleh para penambang emas rakyat. Biji emas dihancurkan dan penggilingan dengan menggunakan ball mill yang berukuran hampir sama dengan yang digunakan di tambang rakyat yaitu berdiameter 30 sentimeter.
Dadan mengungkapkan standarisasi ball mill biasanya menggunakan bijih besi berukuran kecil sampai besar. Sedangkan proses penghalusan hingga menjadi tepung sebesar 200 mesh atau sekitar 75 mikrometer, supaya emasnya bisa diproses mengingat emas sangat halus dan ukuran butirnya itu 5 sampai 40 mikrometer.
Menurut Dadan, proses penggilingan emas sebetulnya bisa menggunakan berbagai material penggerus yang bagus, tetapi mahal dan butuh perawatan lebih. Selain itu, lokasi tambang juga jauh dari pemukiman, sehingga sulit untuk mendapatkan onderdil dari bola baja.
Baca juga: Farmasi UI kerja sama dengan BRIN jadikan biota laut sebagai bahan baku obat
“Alternatif pertama adalah menggunakan bola baja dari ukuran kecil sampai besar. Kedua juga bisa menggunakan sumber daya lokal atau kearifan lokal, yaitu menggunakan batu dari endapan sungai yang modelnya sudah relatif subbrownded atau berwarna kecoklatan,” paparnya.
Lebih lanjut Dadan menyampaikan penggunaan bola baja dan batang baja memerlukan waktu sekitar tiga jam. Sedangkan material alternatif memakan waktu empat jam.
Meski selisih satu jam, namun dari segi efisiensi biaya dan operasional, teknologi alternatif jauh lebih unggul karena harganya lebih murah. Para penambang rakyat tidak perlu bergantung dengan onderdil, sehingga aktivitas penambangan bisa terus berkelanjutan.
Dari hasil proses bijih emas menjadi halus sebesar 200 mesh, lalu dilanjutkan dengan sirkulasi lumpur dalam sehari dengan komposisi 40 persen tepung bijih emas dan 60 persen air. Kemudian dimasukkan ke tangki pelidian dan diolah, dilakukan pencampuran, dan suplai oksigen. Setelah itu dicampur dengan beberapa bahan pelarut yang menggunakan sianida.
Waktu proses reaksi yang dibutuhkan adalah sekitar 48 jam. Tingkat pelarutan emas dipengaruhi oleh kekuatan difusi sianida dan oksigen dan perlakuan-perlakuan sebelum sianidasi.
Baca juga: Peneliti BRIN: Potensi siklon mirip Seroja bisa sebabkan peningkatan hujan persisten di NTT
"Pada proses sianida, setelah 4-6 jam ditambahkan karbon aktif. Dalam prosesnya selama 48 jam, nanti emasnya akan terlarut oleh sianida. Pada saat terlarut, diserap oleh karbon,” terang Dadan.
Setelah 48 jam karbon aktif disaring dan dipisahkan dari lumpur. Kemudian karbon aktif yang tersaring dilanjutkan dengan proses pembakaran sampai karbon aktif menjadi abu. Selanjutnya abu campuran emas tersebut dilakukan peleburan untuk mendapatkan produk berupa batangan emas.
“Bullion (batangan) emas itu masih mengandung mineral lainnya, misalkan ada peraknya ataupun tembaganya, tetapi kalau emas oksida biasanya hanya emas dan perak. Setelah itu baru dilakukan pemurnian,” jelasnya.
Sisa lumpur yang masih mengandung sianida bebas sebesar 200 ppm bisa dipompa kembali untuk dilakukan destruksi racunnya. Dari 200 ppm bisa sampai memenuhi baku mutu di bawah 0,5 ppm jadi hanya dalam empat jam. Hal itu memenuhi baku mutu untuk dibuang ke lingkungan.
“Kami mengintervensi teknologi itu bukan hanya mengalihkan metoda dari merkuri ke non-merkuri, tetapi juga bagaimana menangani limbahnya supaya aman dibuang ke lingkungan,” pungkas Dadan.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2023