Anggota DPR RI Dedi Mulyadi menghadiri sidang gugatan cerai di Pengadilan Agama Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, Rabu, menggunakan ojek online (ojol), menjawab semua tuduhan sang istri, Bupati Purwakarta Anne Ratna Mustika.
Usai sidang dengan agenda mediasi dan pokok perkara, di Pengadilan Purwakarta, Anne menjelaskan soal pokok materi gugatan.
Pertama ialah mengenai rumah tangganya yang dia anggap mengalami permasalahan sejak beberapa tahun terakhir sehingga jalan akhirnya gugatan cerai.
Ia menyebutkan, perselisihan terjadi karena soal manajemen keuangan rumah tangga yang dianggap tidak terbuka.
Kemudian Dedi dianggap tidak memberikan nafkah lahir dan batin, dan terakhir Anne merasa mengalami kekerasan verbal atau KDRT secara psikis.
“Itu yang menyebabkan perselisihan terus menerus dalam rumah tangga kami sehingga tadi mediasi tidak ada kesepakatan dan langsung masuk ke pokok perkara,” katanya.
Sementara Dedi Mulyadi menyebutkan tidak sepenuhnya mediasi gagal, sebab dalam mediasi perkara hak asuh anak yang semula menjadi pokok perkara berhasil diselesaikan, sehingga anak menjadi hak kedua belah pihak.
“Saya sebenarnya menghadapi seorang istri yang baik. Menurut saya embu (panggilan kepada istrinya) itu adalah istri yang baik tetapi embu sayang keluarganya kemudian sangat hormat dan patuh pada gurunya. Itu yang menjadi sesuatu barangkali kegelisahan dia antara ketaatan pada guru dan ketaatan pada suami,” kata Dedi.
Terkait tuduhan KDRT psikis, Dedi menjelaskan dalam undang-undang disebutkan ciri wanita atau istri yang mengalami hal tersebut ialah murung secara terus menerus, kehilangan kepercayaan diri dan tidak bisa mengambil keputusan.
Jika dilihat dari hal tersebut, kata dia, tentu saja sang istri yang kini menjadi Bupati Purwakarta tidak mengalami ketiga ciri tersebut.
“Pertanyaannya adalah, apakah ada tanda-tanda itu pada embu Anne? Murung terus, tidak bisa mengambil keputusan, kehilangan percaya diri, menurut saya terbalik, embu sebagai bupati saat ini justru sangat pede (percaya diri),” katanya.
Dedi juga menyebutkan kalau dari sisi ekonomi keluarga, semua sudah tercukupi, terlebih Anne sebagai bupati banyak difasilitasi oleh negara mulai dari makan, minum, mobil, pakaian hingga ajudan.
Kemudian ketiga anaknya hidup serba berkecukupan. Anak pertamanya sebentar lagi menyelesaikan kuliah di salah satu PTN di Bandung. Begitu juga anak keduanya yang baru masuk PTS di Bandung dibiayai oleh Dedi.
“Anak yang paling besar sudah hampir selesai di Unpad, yang kedua masuk di Unpar fakultas hukum biayanya dari mulai uang masuk sampai biaya kos saya yang jamin, yang bungsu lagi lucu-lucunya diasuh oleh Teh Elis, biaya pengasuhannya gaji tiap bulannya saya yang menjamin, karena tanggung jawab saya sebagai kepala keluarga,” katanya.
Tidak hanya itu, sejumlah aset keluarga pun sangat mencukupi untuk anak cucu. Seperti di Pasawahan yang menjadi rumah keluarga dan tempat anak-anak dibesarkan. Begitu juga rumah di Wanayasa yang juga sangat layak.
“Itu saya urus tiap hari dan bayar pajak juga listrik yang setiap bulannya lebih dari Rp 20 juta, itu saya yang bayar. Di situlah hidup saling bersama, saling berbagi, urusan beras sudah ditanggung negara, urusan lain saya yang nanggung termasuk aset-aset anak saya untuk masa depan,” kata dia.
Dedi menyampaikan, sebagai pemimpin, sudah sepatutnya tidak lagi memikirkan diri sendiri. Namun yang lebih penting seorang pemimpin harus memikirkan kepentingan rakyat yang mana saat ini masih banyak mengalami kesusahan mulai dari PHK hingga urusan usia muda menjadi PSK untuk menyambung hidup.
“Itu yang harus kita pikirkan. Karena pemimpin itu sudah tidak boleh lagi memikirkan dirinya. Pemimpin itu ditugaskan memikirkan rakyat,” katanya.
Terakhir, Dedi juga berbicara tuduhan Anne soal syariat Islam. Terkait hal tersebut Dedi yang juga aktif di berbagai organisasi Islam seperti HMI balik mempertanyakan soal syariat Islam.
Ia justru mempertanyakan Anne yang pergi umroh bersama keluarga termasuk anak keduanya dan guru ngajinya tidak meminta izin terlebih dahulu jepada Dedi yang masih berstatus suami.
“Guru ngajinya seharusnya bertanya pada saya sebagai suami, ini istrinya mau pergi dengan saya bagaimana boleh atau tidak. Tugas guru ngaji itu mendamaikan bukan memberikan hukuman pada seseorang. Jadi misal ada murid di pengajiannya bermasalah, tugas guru ngaji mendamaikan, telepon saya ‘ini istrinya ngadu ini’, begitu. Bukan sekadar ngasih air doa agar anaknya lupa sama bapaknya, itu tidak boleh,” ungkap Dedi Mulyadi.
Sementara itu, Dedi hadir dalam sidang di Pengadilan Agama Purwakarta tidak menggunakan mobil pribadi dan tidak memakai iket putih yang menjadi ciri khasnya.
Kali ini, Dedi datang dengan diantar tukang ojek online.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2022
Usai sidang dengan agenda mediasi dan pokok perkara, di Pengadilan Purwakarta, Anne menjelaskan soal pokok materi gugatan.
Pertama ialah mengenai rumah tangganya yang dia anggap mengalami permasalahan sejak beberapa tahun terakhir sehingga jalan akhirnya gugatan cerai.
Ia menyebutkan, perselisihan terjadi karena soal manajemen keuangan rumah tangga yang dianggap tidak terbuka.
Kemudian Dedi dianggap tidak memberikan nafkah lahir dan batin, dan terakhir Anne merasa mengalami kekerasan verbal atau KDRT secara psikis.
“Itu yang menyebabkan perselisihan terus menerus dalam rumah tangga kami sehingga tadi mediasi tidak ada kesepakatan dan langsung masuk ke pokok perkara,” katanya.
Sementara Dedi Mulyadi menyebutkan tidak sepenuhnya mediasi gagal, sebab dalam mediasi perkara hak asuh anak yang semula menjadi pokok perkara berhasil diselesaikan, sehingga anak menjadi hak kedua belah pihak.
“Saya sebenarnya menghadapi seorang istri yang baik. Menurut saya embu (panggilan kepada istrinya) itu adalah istri yang baik tetapi embu sayang keluarganya kemudian sangat hormat dan patuh pada gurunya. Itu yang menjadi sesuatu barangkali kegelisahan dia antara ketaatan pada guru dan ketaatan pada suami,” kata Dedi.
Terkait tuduhan KDRT psikis, Dedi menjelaskan dalam undang-undang disebutkan ciri wanita atau istri yang mengalami hal tersebut ialah murung secara terus menerus, kehilangan kepercayaan diri dan tidak bisa mengambil keputusan.
Jika dilihat dari hal tersebut, kata dia, tentu saja sang istri yang kini menjadi Bupati Purwakarta tidak mengalami ketiga ciri tersebut.
“Pertanyaannya adalah, apakah ada tanda-tanda itu pada embu Anne? Murung terus, tidak bisa mengambil keputusan, kehilangan percaya diri, menurut saya terbalik, embu sebagai bupati saat ini justru sangat pede (percaya diri),” katanya.
Dedi juga menyebutkan kalau dari sisi ekonomi keluarga, semua sudah tercukupi, terlebih Anne sebagai bupati banyak difasilitasi oleh negara mulai dari makan, minum, mobil, pakaian hingga ajudan.
Kemudian ketiga anaknya hidup serba berkecukupan. Anak pertamanya sebentar lagi menyelesaikan kuliah di salah satu PTN di Bandung. Begitu juga anak keduanya yang baru masuk PTS di Bandung dibiayai oleh Dedi.
“Anak yang paling besar sudah hampir selesai di Unpad, yang kedua masuk di Unpar fakultas hukum biayanya dari mulai uang masuk sampai biaya kos saya yang jamin, yang bungsu lagi lucu-lucunya diasuh oleh Teh Elis, biaya pengasuhannya gaji tiap bulannya saya yang menjamin, karena tanggung jawab saya sebagai kepala keluarga,” katanya.
Tidak hanya itu, sejumlah aset keluarga pun sangat mencukupi untuk anak cucu. Seperti di Pasawahan yang menjadi rumah keluarga dan tempat anak-anak dibesarkan. Begitu juga rumah di Wanayasa yang juga sangat layak.
“Itu saya urus tiap hari dan bayar pajak juga listrik yang setiap bulannya lebih dari Rp 20 juta, itu saya yang bayar. Di situlah hidup saling bersama, saling berbagi, urusan beras sudah ditanggung negara, urusan lain saya yang nanggung termasuk aset-aset anak saya untuk masa depan,” kata dia.
Dedi menyampaikan, sebagai pemimpin, sudah sepatutnya tidak lagi memikirkan diri sendiri. Namun yang lebih penting seorang pemimpin harus memikirkan kepentingan rakyat yang mana saat ini masih banyak mengalami kesusahan mulai dari PHK hingga urusan usia muda menjadi PSK untuk menyambung hidup.
“Itu yang harus kita pikirkan. Karena pemimpin itu sudah tidak boleh lagi memikirkan dirinya. Pemimpin itu ditugaskan memikirkan rakyat,” katanya.
Terakhir, Dedi juga berbicara tuduhan Anne soal syariat Islam. Terkait hal tersebut Dedi yang juga aktif di berbagai organisasi Islam seperti HMI balik mempertanyakan soal syariat Islam.
Ia justru mempertanyakan Anne yang pergi umroh bersama keluarga termasuk anak keduanya dan guru ngajinya tidak meminta izin terlebih dahulu jepada Dedi yang masih berstatus suami.
“Guru ngajinya seharusnya bertanya pada saya sebagai suami, ini istrinya mau pergi dengan saya bagaimana boleh atau tidak. Tugas guru ngaji itu mendamaikan bukan memberikan hukuman pada seseorang. Jadi misal ada murid di pengajiannya bermasalah, tugas guru ngaji mendamaikan, telepon saya ‘ini istrinya ngadu ini’, begitu. Bukan sekadar ngasih air doa agar anaknya lupa sama bapaknya, itu tidak boleh,” ungkap Dedi Mulyadi.
Sementara itu, Dedi hadir dalam sidang di Pengadilan Agama Purwakarta tidak menggunakan mobil pribadi dan tidak memakai iket putih yang menjadi ciri khasnya.
Kali ini, Dedi datang dengan diantar tukang ojek online.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2022