Jakarta (Antara Megapolitan) - Koalisi Persampahan Nasional (KPNas) menyatakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta gagal mengelola sampah di dalam kota karena volume sampah Ibu Kota yang dikirim ke TPST Bantargebang, Bekasi, terus meningkat hingga mencapai 7.000 ton per hari.
Padahal, berdasarkan kontrak kerja sama antara Pemprov DKI dan pihak pengelola ditargetkan sampah yang dikirim ke TPST Bantargebang hanya 2.000 ton per hari.
Pengurus KPNas Bagong Suyoto dalam konferensi pers di Jakarta, Senin, menjelaskan bahwa sejak 2005 DKI berupaya membangun empat tempat pengolahan sampah terpadu (TPST) di Sunter, Marunda, Cakung Cilincing, dan Duri Kosambi dengan target pengolahan sampah masing-masing PTSP 1.500-2.000 ton per hari.
"Faktanya hingga 2016, proyek tersebut gagal dan TPST dalam kota Jakarta tidak beroperasi," ujarnya.
Berdasarkan pantauan tim Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jakarta di TPST Sunter, ternyata lokasi tersebut hanya digunakan untuk memadatkan sampah yang berasal dari Jakarta Utara dan Jakarta Pusat.
Sampah yang telah padat itu kemudian diangkut lagi oleh truk sampah Dinas Kebersihan DKI menuju TPST Bantargebang, Bekasi.
"Dari temuan itu jelaslah bahwa unit TPST Sunter terlalu besar namanya dibandingkan cakupan kerjanya yang hanya sebagai stasiun pengalihan antara (SPA)," kata anggota Walhi Jakarta Riza V. Tjahjadi.
Sedangkan TPST Cakung Cilincing diketahui telah empat tahun tidak beroperasi dan lokasi TPST Marunda masih berupa lahan kosong karena pembangunannya tidak mendapat persetujuan warga sekitar.
Atas kegagalan pembangunan empat TPST di dalam kota Jakarta, KPNas dan Walhi Jakarta mendesak dilakukan audit menyeluruh untuk menjamin transparansi dan akuntabilitas anggaran.
Selain itu, KPNas dan Walhi Jakarta juga menyoroti permasalahan sampah yang menjadi perhatian publik yaitu sampah belum terpilah, volume sampah meningkat, jumlah truk sampah bertambah, "tipping fee" sampah masih rendah, dan harga listrik dari sampah yang masih murah.
"Jakarta sebagai Ibu Kota harus menjadi indikator bagaimana Indonesia menyelesaikan persoalan sampah," ungkap Bagong.
Menurut dia, DKI masih memperlakukan sampah sebagai buangan tidak bernilai, padahal dalam UU Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengolahan Sampah disebutkan bahwa sampah merupakan sumber daya yang harus kembali dimanfaatkan. (Ant).
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2016
Padahal, berdasarkan kontrak kerja sama antara Pemprov DKI dan pihak pengelola ditargetkan sampah yang dikirim ke TPST Bantargebang hanya 2.000 ton per hari.
Pengurus KPNas Bagong Suyoto dalam konferensi pers di Jakarta, Senin, menjelaskan bahwa sejak 2005 DKI berupaya membangun empat tempat pengolahan sampah terpadu (TPST) di Sunter, Marunda, Cakung Cilincing, dan Duri Kosambi dengan target pengolahan sampah masing-masing PTSP 1.500-2.000 ton per hari.
"Faktanya hingga 2016, proyek tersebut gagal dan TPST dalam kota Jakarta tidak beroperasi," ujarnya.
Berdasarkan pantauan tim Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jakarta di TPST Sunter, ternyata lokasi tersebut hanya digunakan untuk memadatkan sampah yang berasal dari Jakarta Utara dan Jakarta Pusat.
Sampah yang telah padat itu kemudian diangkut lagi oleh truk sampah Dinas Kebersihan DKI menuju TPST Bantargebang, Bekasi.
"Dari temuan itu jelaslah bahwa unit TPST Sunter terlalu besar namanya dibandingkan cakupan kerjanya yang hanya sebagai stasiun pengalihan antara (SPA)," kata anggota Walhi Jakarta Riza V. Tjahjadi.
Sedangkan TPST Cakung Cilincing diketahui telah empat tahun tidak beroperasi dan lokasi TPST Marunda masih berupa lahan kosong karena pembangunannya tidak mendapat persetujuan warga sekitar.
Atas kegagalan pembangunan empat TPST di dalam kota Jakarta, KPNas dan Walhi Jakarta mendesak dilakukan audit menyeluruh untuk menjamin transparansi dan akuntabilitas anggaran.
Selain itu, KPNas dan Walhi Jakarta juga menyoroti permasalahan sampah yang menjadi perhatian publik yaitu sampah belum terpilah, volume sampah meningkat, jumlah truk sampah bertambah, "tipping fee" sampah masih rendah, dan harga listrik dari sampah yang masih murah.
"Jakarta sebagai Ibu Kota harus menjadi indikator bagaimana Indonesia menyelesaikan persoalan sampah," ungkap Bagong.
Menurut dia, DKI masih memperlakukan sampah sebagai buangan tidak bernilai, padahal dalam UU Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengolahan Sampah disebutkan bahwa sampah merupakan sumber daya yang harus kembali dimanfaatkan. (Ant).
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2016