Kepulan asap putih menyembul dari bibir keriput Sarmin (67). Sebatang rokok tegak angkuh di antara dua jari tangannya pada Minggu (21/2), tidak jauh dari Istana Bogor, Jawa Barat .

Sambil duduk di atas becak, ia juga menikmati secangkir kopi di gelas plastik hasil racikan pedagang kaki lima.

Rekan Sarmin pun memijat bahu pria bertubuh kurus itu dengan penuh bertenaga. Sembari menebar gelak tawa, Sarmin dan para pengayuh becak bercerita ini itu sambil menunggu penumpang.

Namun, Sarmin kini tak lagi menjadi tukang becak di Jalan Gedong Sawah, Kota Bogor, Jawa Barat. Kemeja oranye dan kartu nama sebagai juru parkir menjadi atributnya saat ini.

Walau berbeda pekerjaan, tetapi penghasilan pria enam anak ini tidak jauh berbeda ketika ia masih mengayuh becak sewaan.

"Ya tidak menentu, kadang Rp20 ribu sampai Rp35 ribu sehari sudah lumayan, syukur Alhamdulillah," kata pria asal Cigudeg, Kabupaten Bogor ini dalam logat Sundanya.

Meski berpenghasilan jauh dari cukup, pria bercucu sembilan ini tidak pernah lepas dari rokok yang selalu setia menemani hari-harinya bekerja dari pagi mulai pukul 06.00 WIB sampai 18.00 WIB. Bahkan rokok sudah akrab dengan dirinya sejak muda, mulai tahun 1970.

Walau kadang hutang menjerat atau bahkan tidak cukup untuk membeli beras, rokok tetap menemani hari-harinya mengumpulkan recehan.

"Mau bagaimana sudah candu," katanya.

Sarmin mengaku tidak cukup mampu untuk membeli sebungkus rokok sekaligus untuk memenuhi hasrat canduannya. Tetapi, sebatang demi sebatang rokok yang ia beli seharga Rp1.000 selama ia bekerja sulit ia kendalikan, tanpa sadar sehari menghabiskan satu bungkus rokok seharga Rp15 ribu untuk merk Gudang Garam Super.

Bila dihitung, sehari ia menghabiskan uang untuk merokok Rp15.000 per bungkus, selama sebulan tidak kurang Rp300 ribu telah dihabiskannya untuk membeli rokok dari penghasilannya yang pas-pasan.

"Kadang tidak terasa, beli sebatang, tahu-tahu sudah 12 batang," katanya.

Sebagai tukang parkir terkadang merangkap tukang becak, dilakoninya agar dapur tetap ngepul. Sarmin tidak hanya membutuhkan uang untuk membeli rokok, tetapi belanja anak dan istri serta biaya listri dan air sekitar Rp400 ribu per bulan.

Selama bekerja di Kota Bogor, Sarmin dan istri tinggal di sebuah gubuk yang dibuat semi permanen, jaraknya sekitar 15 meter dari tembok Istana Bogor. Setiap hari ia menyetorkan uang Rp25 ribu hingga Rp30 ribu kepada istri untuk keperluan rumah tangga.

Terkadang bila penghasilan sebagai juru parkir di lokasi yang segi tiga emas antara Hotel Salak, Kejari dan Istana Bogor, tidak mencukupi. Berhutang satu-satunya solusi untuk tetap menjalani hidup sebagai orang yang buta tulis dan membaca.

Beban hidupnya tidak hanya untuk membayar kebutuhan rumah, tetapi membeli beras. Walau empat anaknya sudah berkeluarga, tetapi masih ada dua anak yang harus dibiayainya. Anak keenam duduk di bangku sekolah dasar padahal usianya sudah 15 tahun.

Sarmin menyadari betul, penghasilan sebagai tukang becak dan kini beralih sebagai juru parkir tidaklah cukup untuk menghidupi keluarga besarnya.

Terbukti, lima anaknya tidak ada satupun yang lulus SD. Ia dan istrinya menaruh harapan, anak bungsunya dapat menyelesaikan pendidikan sekolah dasar dan dibekali ijazah.

"Ada yang lulus SD saja sudah bersyukur saya, mana mampu saya biayai sampai SMP, lagi pula anaknya juga tidak mau sekolah," kata pria itu.

Serupa dengan Sarmin, Samsudin (52) juga mengalami kecanduan rokok. Giginya menguning akibat nikotin.

Anak pertama Samsudin lulusan Tsanawiyah dan kini menjadi guru ngaji di kampungnya, Cigudeg.

"Anak kedua saya sudah lulus SMA, sekarang lagi cari kerja. Anak ketiga masih SD," kata pria bertubuh pendek ini.

Samsudin sudah 15 tahun bekerja sebagai tukang becak. Dia teman sekampung Sarmin.

Becak disewanya dari salah seorang pemilik orang Batak, sehari Rp5.000. Modal menjadi kendala utama untuk memiliki becak sendiri, agar tetap bekerja dan memberikan nafkah kepada anak serta istri, menyewa solusinya.

Uang pendapatan hasil narik becak sebagian dikumpulkan untuk dikirim ke Ika (47) istrinya yang tinggal di Cigudeg. Sebulan kadang ia bisa membawa duit kisaran Rp150 ribu hingga Rp200 ribu.

Beruntung Samsudin tidak perlu membayar sewa rumah karena di kampung ia masih memiliki rumah peninggalan keluarga. Selama bekerja di Kota Bogor, ia tidur menumpang di halaman kantor pemerintah di Jalan Pengadilan, gratis tanpa bayar.

"Kadang terkumpul Rp200 ribu, saya kirim setiap sebulan untuk anak istri, sambil pulang kampung kadang-kadang setiap 15 hari sekali," katanya.

Samsudin pun merokok sebatang demi sebatang, sehari menghabiskan 12 batang atau sebungkus.

Dia juga pernah berhutang rokok kepada teman penjual yang menjajakan rokok di samping pangkalan.

"Kalau tidak ada uang ya mengutang, kadang tidak kerasa, sudah hutang sebungkus rokok," kata pria yang suka mengenakan topi ini.

Bagi Sarmin, Samsudin, dan rekan-rekannya sesama penarik becak, sulit mengendalikan kecanduan rokok. Membakar uang senilai Rp1.000 tidak menjadi persoalan.

Mereka beranggapan selama harga rokok masih terjangkau, tetap akan mencari dan membeli. Mereka baru akan mempertimbangkan membeli rokok apabila harganya naik empat kali lipat dari harga saat ini.

Sarmin merasa keberatan jika harga rokok naik menjadi Rp50 ribu per bungkus. Bila diecer, harga rokok per batang bisa menjadi Rp4.000.

Ia pun akan mempertimbangkan untuk membelanjakan uang rokok di tengah pendapatan sebagai juru parkir yang tidak menentu.

"Berhenti mungkin tidak langsung, tapi dikurangi iya. Kalau harganya Rp4.000 per batang, mana sanggup kami membelinya. Paling sesekali, tidak lagi merokok setiap jam," katanya.

Samsudin juga sepakat, harga rokok mahal dapat membantunya mengurangi kecanduan rokok yang selama ini sulit untuk dikendalikannya.

"Selama harga rokok masih seribu sebatang tidak kerasa, kalau empat ribu sebatang jadi terasa berat. Mungkin itu satu-satunya jalan, kami bisa mengurangi rokok. Kalau berhenti belum tentu bisa," kata Samsudin.

Lain cerita dengan Soleh (37), bapak dua anak ini sudah lima bulan berhenti merokok setelah dokter memvonisnya mengidap gejala paru-paru. Alasannya berhenti merokok demi kesehatan, dan sayang dengan badan.

"Kalau sudah sakit rasanya gimana gitu, rasa mau mati saja," katanya.

Menurut Soleh, ia sudah lama merasakan gejala sakit yang kadang kala bangkit menggerogoti tubuhnya. Panas, demam tinggi, badan nyeri dan ngilu menyulitkannya untuk bekerja. Hingga, ia ambruk karena sakit yang tidak tertahankan.

Dari hasil pemeriksaan medis, ia didiagnosis punya gejala penyakit paru-paru.

Hingga akhirnya ia harus menjalani perawatan di rumah sakit, walau tanpa berbekal kartu jaminan kesehatan.

Untungnya, ia tidak harus membayar biaya berobat, sehingga ia masih bersyukur diberi kesempatan.

"Saya beruntung ada yang mengurus kartu kesehatan, jadi setelah dirawat ternyata gratis. Cuma saya keluar biaya untuk rontgen," katanya.

Demi kesehatannya, Soleh bertekad untuk berhenti merokok.

Padahal salah satu rekan Soleh yakni Sarmin si juru parkir, juga terserang penyakit paru-paru.

"Pak Sarmin sempat sakit parah, dokter menyarankannya untuk rontgen tapi karena biaya mahal, dia tidak mampu bayar. Sekarang malah masih merokok, tidak mau berhenti," kata Soleh yang prihatin dengan kecanduan sahabatnya.

Pewarta: Laily Rahmawati

Editor : Feru Lantara


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2016