Bogor (Antara Megapolitan) - Pemerintah Kota Bogor, Jawa Barat, sudah selayaknya mengganti visi dan misi kota jasa dan industri menjadi kota budaya, demikian disampaikan Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Kesatuan, Yoyon Supriyadi.

"Pemerintah daerah harusnya menggali kembali, visi dan misi Kota Bogor ini maunya seperti apa, identitasnya harus jelas. Karena banyak aspek yang tidak terpenuhi untuk menjadikan Bogor sebagai kota jasa dan industri," kata Yoyon, di Bogor, Minggu.

Menurutnya, visi dan misi sebagai Kota Jasa dan Industri yang ditetapkan oleh Pemerintah Kota Bogor, sudah tidak relevan lagi digunakan, melihat situasi perkembangan pembangunan yang terjadi saat ini.

"Dengan luas wilayah yang terbatas 11.850 hektare, dihuni hampir 1 juta penduduk, sudah cukup padat. Tidak memungkinkan untuk memperluas kawasan industri. Belum lagi, UMK Kota Bogor terbesar kedua di wilayah Jawa Barat, membuat para investor tidak kuat dan cenderung berpindah lokasi," kata Yoyon yang juga Wakil Ketua Dewan Pengupahan Kota Bogor.

Ia juga mengatakan, Bogor belum layak menjadi Kota Jasa yang mengusung konsep rapat, insentif, pertemuan dan pameran (MICE), karena beberapa catatan banyak pembangunan hotel yang mendapat penolakan oleh warga, atau bermasalah pada persoalan perizinan.

"Banyak pembangunan hotel yang diprotes masyarakat karena tidak sesuai peruntukkannya, contoh Hotel Savero, Hotel Salak Tower, Hotel Whizz, Hotel Art Marriot. Jadi sebagai kota jasa belum terpenuhi," katanya.

Dikatannya, visi misi sebagai kota jasa dan industri tidak hanya digunakan oleh Kota Bogor, tetapi beberapa kota lainnya juga seperti Kota Depok, Kabupaten Bogor, Jakarta, dan beberapa kota lainnya.

Menurutnya, visi sebagai Kota Budaya layak disandang oleh Kota Bogor, mengingat begitu banyaknya budaya yang dimiliki oleh kota dengan julukan Kota Hujan tersebut yang sudah ada sejak zaman kerajaan, kolonial (penjajahan), hingga zaman kemerdekaan.

"Pemerintah Kota Bogor sebaiknya berfikir untuk mengembangkan budaya baik itu budaya berupa fisik maupun non fisik yang bisa dikembangkan untuk dijadikan sebagai sumber pendapatan asli daerah (PAD)," katanya.

Ia mengatakan, sumber PAD bisa dianggarkan dari kedatangan wisatawan baik domestik maupun mancanegara untuk menikmati budaya Bogor yang dikemas sedemikian rupa. Seperti halnya negara Korea Selatan yang tidak hanya berkembang karena teknologi, tetapi budayanya.

Berdasarkan data Bappeda, sektor pariwisata menyumbang PAD terbesar ke Kota Bogor. Dalam satu tahun, jumlah kunjungan wisatawan mencapai 4,3 juta orang wisatawan dan sekitar 200 ribu wisatawan asing.

"Jika sekali berkunjung wisawatan ini berbelanja sekitar Rp300 ribu, bila dikalikan 4,3 juta, berapa nilai pendapatan yang diperoleh Kota Bogor dari sektor pariwisata," katanya.

PAD Kota Bogor dari sektor pariwisata, lanjut dia, masih bisa untuk ditingkatkan, dengan cara mengemas sedemikian rupa konsep pariwisata yang disuguhkan kepada para wisatawan. Seperti contoh, Korea Selatan yang sukses menjual gaya rambut, sepatu, baju dan celana.

"Tinggal bagaiaman kreativitas Kota Bogor mengemasnya agar diminati oleh masyarakat," katanya.

Pewarta: Laily Rahmawati

Editor : Naryo


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2016