Bogor (Antara Megapoilitan) - Komunitas Pelestari Pusaka Budaya Bogor (KPPBB) menilai pembangunan Lawang Salapan yang merupakan program penataan Kota Pusaka dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat tidak mencirikan kearifan lokal Kota Bogor, Jawa Barat.

"Kami prihatin dengan pembangunan di Kota Bogor, nilai-nilai kelestarian Bogor tidak diperhatikan," kata Dewi Djuardi, Ketua Komunitas Pelestarian Pusaka Budaya Bogor (KPPBB) dalam diskusi Refleksi Pelestarian Warisan Budaya Bogor, di Bogor, Rabu.

Ia mengatakan, Bogor adalah Kota Sejarah, sudah melewati beberapa dekade perubahan zaman mulai dari zaman sejarah hadirnya Kerajaan Padjajaran, zaman penjajahan, dan zaman revolusi kemerdekaan. Kearifan lokal yang dibangun dari zaman-zaman tersebut, hendaknya terus dijaga dan dilestarikan.

Menurut dia, konsep penataan Kota Pusaka membangun Lawang Salapan berupa 10 pilar mereplikasi pilar dari Istana Bogor bukanlah ciri lokal Bogor yang merupakan masyarakat Sunda.

"Istana Bogor itu peninggalan Belanda, yang mencirikan bangunan Romawi atau Bangsa Eropa," katanya.

Akan sangat disayangkan, lanjut dia, jika penciri Kota Pusaka di Kota Bogor tidak mengangkat kearifan warisan budaya lokal masyarakat Sunda. Tapi justru menampilkan pilar-pilar yang merupakan budaya Bangsa Romawi Kuno (Gothic).

"Pemerintah boleh membangun apapun, tetapi hukum pelestarian, tata ruang harus diperhatikan. Konsep pusaka kearifan lokal hendaknya dikedepankan," katanya.

Menurut Dewi, hendaknya Pemerintah Kota Bogor dapat berkaca pada pembangunan Hotel Amarossa yang secara estetika telah melanggar, karena mengurangi nilai kearifan Tugu Kujang dan menutup pemandangan Gunung Salak.

"Kan sudah ada contoh Hotel Amarossa, kenapa diulang lagi dengan membangun pilar-pilar bercirikan Romawi kuno," katanya.

Dewi mengatakan, melalui acara bincang Refleksi Pelestarian Warisan Budaya Bogor yang dihadiri tim pakar KPPBB, pemerintah daerah, akademisi, budayawan, dan mahasiswa, pihaknya akan mengirimkan surat kepada Pemerintah Kota Bogor untuk mempertanyakan konsep pembangunan Lawang Salapan.

"Kami ingin mempertanyakan, konsep Lawang Salapan itu dari mana, apa dasarnya, dan apa hukumnya. Kenapa memilih replika Istana Bogor dan makan Lady Raffles sebagai penciri Kota Pusaka Bogor, dan lokasinya berdampingan dengan Tugu Kujang yang menjadi simbol kearifan lokal," katanya.

Keprihatinan serupa juga disampaikan Siti Nurisyah, dosen dan peneliti pertamanan dari IPB. Menurutnya, Kota Bogor tidak memiliki wajah depan yang menampilkan karakter daerahnya.

"Bagian depan Bogor itu di mana sih?," katanya.

Menurut Siti, di zaman Belanda, bagian depan Kota Bogor adalah Jalan A Yani, dengan dibuatnya Tugu Titik Nol (Witte Pall-1839) yang kini menjadi Taman Air Mancur. Warga yang mau datang ke Bogor melewati Cibinong lalu lurus ke Jalan A Yani yang langsung berhadapan dengan Istana Bogor.

"Teman saya dari Amerika datang ke Bogor. Dia bilang `kota mu namanya Bogor kan` tapi kenapa tulisanya Bimoli (iklan). Karena untuk masuk Bogor melalui Jagorawi, pemadangan yang disuguhkan pertama kali masuk Bogor adalah papan reklame yang berganti-ganti merk," katanya.

Siti menambahkan, Kota Bogor belum memiliki perencanaan wajah kota, seperti tulisan Hollywood di California. Sehingga Bogor tidak memiliki ciri yang jelas karakter kotanya seperti apa.

"Penciri Kota Bogor dulunya ada Kebun Raya, istana, elemen kota seperti pohon-pohon besar, pemandangan, kenyaman dan jajanan (kuliner). Sekarang yang tersisa hanya istana, kebun raya dan kuliner," katanya.

Pewarta: Laily Rahmawati

Editor : Naryo


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2015