Berkembang pesat hingga dikenal sebagai wilayah pemilik kawasan industri terbesar se- Asia Tenggara, tak lantas membuat Kabupaten Bekasi kehilangan tapak masa lalunya, termasuk jejak tokoh berandil besar mengusir penjajah dari Tanah Air.

Masyarakat luas tentu sudah tidak asing lagi mendengar nama Kiai Haji Noer Ali, sang pejuang kemerdekaan berjuluk Singa Karawang-Bekasi. Atas jasanya, pemerintah menganugerahi gelar Pahlawan Nasional berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 085/TK/2006 pada 3 November 2006.

Selain sosok agung Kiai Haji Noer Ali, Kabupaten Bekasi sebenarnya mempunyai sederet nama pejuang kemerdekaan yang memiliki sepak terjang tak kalah hebat dalam mengusir penjajah.

Beberapa nama pejuang kemerdekaan asal Kabupaten Bekasi antara lain KH Djahari, KH Raden Abdul Rosyad, KH Muhammad Fudholi, KH Mahmud Ma'sum, KH Abu Bakar, KH Muhammad Salim, KH Awing Syuhada, serta KH Raden Ma'mun Nawawi.

Seperti ungkapan 'Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah' (Jasmerah) yang diucapkan pendiri bangsa, Insinyur Soekarno, dalam pidato terakhirnya saat Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI 17 Agustus 1966. Tapi tahukah anda, sejauh mana peran ulama-ulama pejuang ini?

ANTARA berkesempatan mengunjungi jejak peninggalan salah satu pejuang kemerdekaan Republik Indonesia yang berjarak belasan kilometer dari hiruk pikuk salah satu kawasan industri terbesar di daerah itu.

Di sudut selatan Kabupaten Bekasi, tepatnya Kampung Cibogo RT 03/01 Desa Sindangmulya, Kecamatan Cibarusah, terdapat sejumlah bangunan tempat para santri ditempa ilmu agama serta pengetahuan umumnya.

Adalah Pondok Pesantren Al-Baqiyatus Sholihat yang didirikan pejuang kemerdekaan KH Raden Ma'mun Nawawi pada 1938 silam sekaligus menjadi saksi bisu tempat lahirnya para Laskar Hizbullah yang ditempa fisik dan mentalnya sebelum bertempur melawan penjajah.

Salah satu bangunan pondok tepat di depan makam sang pendiri dan menjadi bangunan utamanya bahkan masih berdiri kokoh mengelilingi bangunan pondok lainnya serta masjid, serupa saat pertama kali dibangun meski sudah beberapa kali mengalami renovasi.

Beruntung saat ANTARA berkunjung dapat dipertemukan langsung dengan Pimpinan Pondok Pesantren Al-Baqiyatus Sholihat yakni KH Jamaluddin Nawawi bin KH Raden Ma'mun Nawawi yang sudi bercerita banyak tentang kisah kehidupan serta perjuangan ayahnya itu.


Lahirnya Laskar Hizbullah

KH Raden Ma'mun Nawawi atau yang akrab disapa Mama Cibogo (Mama adalah istilah panggilan untuk sesepuh ulama atau tokoh laki-laki di tatar Sunda) sedangkan Cibogo adalah nama kampung tempat kelahirannya, turut berperan aktif dalam pembentukan Laskar Hizbullah.

Di pondok pesantren miliknya inilah, para Laskar Hizbullah mendapatkan pelatihan militer, mental, serta pendalaman ibadah dan Mama Cibogo sendiri yang menggembleng laskar pejuang itu.

Pelatihan fisik Laskar Hizbullah dilakukan di perkebunan karet yang kala itu lokasinya masih di area pesantren, hanya berjarak sekira 20-30 meter dari makam Mama Cibogo. Sedangkan latihan mental dan spiritual di bangunan utama pondok.

"Dulunya itu perkebunan karet, di situ Laskar Hizbullah digembleng fisiknya, di belakang makam ayah saya. Sekarang sudah jadi kampung warga," kata KH Jamaluddin Nawawi.

Pelatihan Laskar Hizbullah digagas Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) yang saat itu dinahkodai KH Hasyim Asy'ari. Pelatihan dimulai 28 Februari 1945, diikuti sekitar 500 orang santri dan pemuda. Setiap pesantren se- Jawa dan Madura mengirim lima orang utusan untuk mengikuti pelatihan.

Dipilihnya Pondok Pesantren Al-Baqiyatus Sholihat sebagai tempat pelatihan bukan tanpa alasan. Selain lokasinya yang strategis karena dekat pusat pemerintahan militer Jepang, sosok Mama Cibogo secara emosional juga dekat dengan KH Hasyim Asy'ari.

Mama Cibogo merupakan santri di Pesantren Tebuireng, Jawa Timur yang diasuh langsung KH Hasyim Asy'ari pada 1936. Ia juga teman sejawat dari KH Wahid Hasyim, putra Pendiri Nahdlatul Ulama itu.

"Selain menggembleng fisik, Mama Cibogo juga ditugaskan langsung oleh Mbah Hasyim untuk membina mental dan menempa spirit perjuangan para laskar," kata KH Jamaluddin.

Selain berlatih perang, laskar ini juga dilatih bahan peledak serta mengaji di malam hari bersama ulama dan setelah tiga bulan menjalani pelatihan, mereka diperkenankan kembali ke daerah masing-masing untuk membuat pelatihan serupa. Mereka ditugaskan melatih milisi di daerah asal.

Laskar Hizbullah diterjunkan ke berbagai medan pertempuran seperti di Surabaya saat perang 10 November 1945. Di bawah komando Bung Tomo, Surabaya menjadi daerah terbanyak alumni pelatihan dari pesantren Cibogo, Kecamatan Cibarusah.

Begitu pula di daerah lain seperti Jombang di bawah pimpinan KH Wahid Hasyim dan di Bekasi sendiri di bawah komando KH Noer Alie. Dari situ terlihat nyata peran Laskar Hizbullah dalam mengusir penjajah dari Indonesia.


Riwayat Mama Cibogo

Mama Cibogo lahir pada Kamis Bulan Jumadil Akhir 1330 Hijriah atau 1912 Masehi dari pasangan Raden Haji Anwar dan Hajah Romlah. Dari silsilah ayahnya, Mama Cibogo terhubung hingga Rasulullah.

Ia adalah keturunan ke-12 dari Sunan Gunung Jati atau ke-11 dari Raja Pertama Kesultanan Banten Maulana Hasanudin, dan keturunan ke-36 dari Rasulullah.

Mama Cibogo sejak kecil dikenal sebagai seorang yang giat belajar. Ia digembleng ayahnya hingga usia delapan tahun untuk belajar memahami dasar-dasar agama.

Selanjutnya ia mulai belajar di Sekolah Rakyat (SR) di bawah pemerintahan Hindia Belanda dan menjadi lulusan terbaik serta memiliki keilmuan umum yang unggul.

Ia tak langsung melanjutkan pendidikan ke pondok pesantren namun terlebih dahulu membantu ayahnya untuk berjualan kitab dan mengajar ilmu agama masyarakat sekitar.

Barulah pada usia 15 tahun Mama Cibogo menjadi santri di Pesantren Plered Purwakarta pimpinan KH Tubagus Ahmad Bakri As-Sampuri atau Mama Sempur, ulama NU yang berpengaruh di Jawa Barat dan Banten.

Setelah dirasa cukup berguru kepada Mama Sempur, Mama Cibogo melanjutkan menimba ilmu ke Mekkah untuk belajar banyak ke mualim para pengarang kitab di antaranya Sayyid Alwi Al-Maliki dan Syekh Mukhtar bin Atharid Al-Bughuri Al-Batawi Al-Jawi Al-Makki.

Sepulang dari Mekkah, Mama Cibogo langsung belajar ke beberapa pesantren di Tanah Jawa, salah satunya Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur dan belajar langsung kepada Hadlratussyekh KH Hasyim Asy'ari.

Keilmuan Mama Cibogo diakui oleh KH Hasyim Asy'ari bahkan ketika ia ingin melanjutkan nyantri ke Pesantren Jampes, Lirboyo, dan Termas, Kyai Hasyim menyembelih seekor sapi sebagai bentuk syukur karena memiliki murid secerdas KH Raden Ma'mun Nawawi yang kelak diyakini menjadi seorang ulama ahli falak dan tafsir.

Setelah mesantren di Jampes, Lirboyo, dan Termas, Mama Cibogo menekuni ilmu falak ke Jembatan Lima, dibimbing langsung oleh Guru Mansur yang kemudian menganggapnya sebagai murid paling cerdas hingga mengangkatnya satu level di atas teman-teman santri sebayanya.

Ia juga sempat belajar ke ulama Betawi lainnya seperti Habib Usman dan Habib Ali Kwitang sebelum akhirnya menikahi putri Mama Sempur dan mendirikan sebuah pesantren di Pandeglang. Tak lama di sana, ia diminta untuk kembali ke Kampung Cibogo, Cibarusah.

Dia lantas mendirikan Pesantren Al-Baqiyatus Sholihat di Cibogo pada 1938 yang kemudian menjadi tempat berlatih Laskar Hizbullah pada Februari 1945. Banyak orang Pandeglang, Banten yang ikut hijrah untuk belajar ke Al-Baqiyatus Sholihat setelah pesantren ini didirikan.

Mama Cibogo sehari-hari fokus di pesantren. Banyak pengajian yang tidak hanya diperuntukkan bagi santri-santrinya saja. Setiap Selasa pagi dibuka pengajian bagi ustadz atau kyai kampung. Rabu untuk orang-orang lanjut usia, Jumat pagi untuk kalangan ibu, dan Ahad untuk umum.

Selain beraktivitas sebagai pemuka agama dan pemimpin pesantren, ia juga berprofesi sebagai wirausahawan. Mama Cibogo banyak menulis, produksi, dan menjual berbagai kitab saat hendak mendirikan pesantren. Ia juga memproduksi berbagai kebutuhan masyarakat seperti kecap dan jamu yang uang hasil jualannya digunakan untuk membiayai pesantren.

Mama Cibogo wafat pada usia 63 tahun, tepatnya 26 Muharram 1395 atau 7 Februari 1975 dengan meninggalkan 40 anak serta empat istri. Jenazahnya disalatkan langsung oleh KH Noer Ali. Kini di Kabupaten Bekasi dikenal memiliki dua patok. Di sebelah utara ada KH Noer Ali dan selatan ada Mama Cibogo.


Karya Mama Cibogo

Mama Cibogo punya kebiasaan menukil kitab. Sebanyak 63 kitab yang ia tulis lantaran rajin membaca karya ulama terdahulu dan kemudian ditukil untuk menjadi referensi. Ia banyak menulis kitab dengan aksara Arab berbahasa Sunda.

Beberapa hasil karya tulisannya adalah Hikayat al-Mutaqaddimin, Kasyf al-Humum wal Ghumum, Majmu'at Da'wat, Risalah Zakat, Syair Qiyamat, Risalah Syurb ad-Dukhan, I'aanatur Rofiiq Fii Tarjami Sullamuttaufiiq, dan Mahasinul Khutbah.

Kemudian Assiraajul Wahhaj Fii Tarjamati Qisshatul Mi'raaj, Taursiiqul Abdi Fii Tarjamati Jauharotittauhiidi, Al-Athiyyatul Haniyyah, Taisiirul Awaam Fii Fiqil Islam, At-Aisiir Fil Auqaat Walqiblati, hingga penerbitan Almanak menurut hidab Hilal Qoth'i.

Kitab yang dia lahirkan bahkan menjadi referensi umum untuk mempelajari ilmu falaq dan astronomi. Tidak hanya di Indonesia, kitabnya digunakan juga oleh para mahasiswa di Asia Tenggara hingga Timur Tengah.

Dari semua pelajaran ilmu agama yang sudah didalami, Ilmu Falak menjadi ciri khasnya. Kevalidan datanya dalam memprediksi sesuatu sudah diakui oleh ulama-ulama lain.

Pesantren Al-Baqiyatus Sholihat bahkan dikenal sebagai pelopor almanak atau kalender yang kemudian disebarkan ke daerah Bogor, Bekasi, Banten, dan Jakarta. Ketika masyarakat butuh rujukan untuk bercocok tanam, memulai puasa dan lebaran, maka rujukan utamanya adalah Mama Cibogo.


"Yang Terlupakan"

Kisah heroik Mama Cibogo dengan sederet kontribusi bagi perjuangan kemerdekaan Indonesia tak lantas membuat sosok kharismatik itu dikenal luas masyarakat bahkan bagi warga Kabupaten Bekasi dan sekitarnya.

Sebuah apresiasi yang sangat layak diberikan kepadanya pun hingga kini belum diberikan pemerintah meski berbagai kalangan sudah mengusulkannya menjadi pahlawan nasional asal Kabupaten Bekasi.

"Sejak tahun 2006 atau saat Kiai Haji Noer Ali ditetapkan sebagai pahlawan nasional, praktis tidak ada lagi pahlawan dari Kabupaten Bekasi," kata Kepala Bagian Kesejahteraan Rakyat pada Sekretariat Daerah Kabupaten Bekasi Bennie Yulianto Iskandar.

Para pegiat sejarah dan budaya setempat pun sepakat berpandangan bahwa nama KH Raden Ma'mun Nawawi sudah cukup memenuhi persyaratan untuk dianugerahi gelar sebagai pahlawan nasional.

Selain turut membantu berjuang meraih serta mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari penjajah, Mama Cibogo juga telah mewarisi sejumlah pemikiran melalui karya-karyanya yang hingga kini masih terus diadopsi masyarakat.

Terlebih beberapa buku yang mengulas kiprah beliau telah diterbitkan sehingga sudah ada modal untuk menerima gelar itu, bahkan jalan menuju pondok pesantrennya kini sudah dinamai sesuai namanya.

Di sisi lain Pemerintah Kabupaten Bekasi juga tengah melakukan kajian pahlawan nasional asal Kabupaten Bekasi yang nantinya akan diusulkan ke Pemerintah Pusat melalui Pemerintah Provinsi Jawa Barat.

Sebuah upaya positif untuk menghargai jasa pahlawan. Semoga pemerintah sudi menyematkan gelar pahlawan nasional kepada KH Raden Ma'mun Nawawi sebab bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa pahlawannya.

Atau Mama Cibogo hanya menjadi sebuah cerita perjuangan yang terlupakan begitu saja, hanya dikenang oleh sebagian masyarakat yang mengenal sejarahnya, juga bagi 300 santri yang kini tinggal di Pondok Pesantren Al-Baqiyatus Sholihat.
 

Pewarta: Pradita Kurniawan Syah

Editor : Budi Setiawanto


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2022