Sutradara dan penulis naskah Randolph Zaini saat ditemui di Jakarta, Jumat (3/21) malam, mengatakan bahwa film "Preman" sangat identik dengan Indonesia dan menampilkan lingkaran setan dari perundungan atau bullying yang banyak terjadi di masyarakat.

"Preman itu asalnya waktu zaman penjajahan belanda, VOC mengangkat beberapa orang kuat sebagai preman untuk memandorkan budak-budak yang lain. Kita bisa bertanya ke diri sendiri, siapa yang lebih parah diperbudak? Orang yang diperbudak lalu menderita, atau orang yang diperbudak untuk menindas sesamanya secara tidak sadar?" kata Randolph.

"Itulah lingkaran setan dari bullying. Premanisme atau bullying itu bisa terjadi di rumah tangga, kantor, bisnis, politik, semuanya," lanjutnya.

Mengenai karakter utama bernama Sandi yang merupakan seorang disabilitas tuli, Randolph mengatakan bahwa dia berusaha merepresentasikan orang-orang yang selalu dimarjinalkan di masyarakat.

"Sebagai kaum tuli, seringkali hidup mereka termarjinalisasi. Di dalam film ini, banyak representasi dari kawan-kawan yang dimarjinalkan," ujarnya.

Selain itu, tambah Randolph, karakter yang merupakan seorang tuli juga dipilih agar tokoh Sandi didefinisikan dengan perbuatan yang dia lakukan, bukan kata-katanya.

Baca juga: Trailer Film Sepeda Presiden siap ramaikan sosial media

Sebagai informasi, tokoh Sandi diceritakan bergabung dengan geng preman bernama Perkasa karena sebuah alasan. Namun, dia kerap kali tidak setuju dengan apa yang dilakukan oleh komplotannya sehingga dia selalu terisolasi.

Meski banyak menampilkan adegan perkelahian, Randolph mengatakan dia tak mau film "Preman" menjadi film aksi yang menampilkan seni bela diri.

"Ini adalah film drama yang berbalut laga. Preman adalah manusia, preman yang bukan ahli bela diri. Cara berantem mereka sangat kasar dan ceroboh," kata dia.

Bahkan, lanjut Randolph, senjata yang dipakai Sandi sebenarnya bukan benar-benar senjata, melainkan kepalan monyet, sebuah untaian yang dipakai oleh pelaut zaman dulu.

Baca juga: Komposer musikal Stephen Sondheim meninggal dunia

"Ketika mereka (para pelaut) sedang mabuk, berkelahi di bar, mereka mengayunkan itu sebagai senjata improvisasi. Kita benar-benar meng-embrace sisi keteledoran, kecerobohan, dan berantakannya dari sebuah pertarungan," imbuhnya.

Selama proses produksi film, Randolph mengatakan hal yang paling berpengaruh adalah kekompakan dari seluruh tim dan kemampuan akting dari para pemain.

Menurut Randolph, ketika di lokasi syuting, para pemain menyisipkan elemen-elemen trauma masa lalu untuk menghidupkan karakter masing-masing.

Baca juga: Film panjang "Penyalin Cahaya" borong 12 Piala Citra FFI 2021

"Hal-hal pribadi yang tidak pernah mereka ceritakan kepada siapapun, mereka curahkan ke dalam karakter itu. Script yang saya tulis itu mungkin sekitar 50 persen saja yang sampai di layar. Sisanya, para cast mengambil alih karakter itu," kata Randolph.
 

Pewarta: Suci Nurhaliza

Editor : Feru Lantara


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2021