Jakarta, (Antara Megapolitan) - Mantan Sekretaris Jenderal Partai Nasdem Patrice Rio Capella berencana menggugat kewenangan pelaksana tugas (Plt) Pimpinan KPK soal keabsahan pimpinan KPK dalam gugatan praperadilan di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan.

"Jadi begini, pimpinan KPK ini diangkat berdasarkan Perppu No 1 tahun 2015. Perppu tersebut menambahkan salah satu pasal, yakni pasal 33 A (UU KPK) yaitu mengenai pengangkatan pimpinan KPK pengganti. Akan tetapi pimpinan KPK pengganti ini di dalam ketentuan Perppu tidak disebutkan dan meskipun disebutkan boleh dilakukan oleh presiden tetapi tidak dikembalikan kepada ketentuan pasal 33 UU KPK yaitu bahwa calon pimpinan KPK harus diangkat berdasarkan persetujuan DPR, ini yang tidak terjadi," kata pengacara Rio, Maqdir Ismail di gedung KPK Jakarta, Senin.

Sidang praperadilan Rio Capella rencananya akan dilaksanakan di PN Jakarta Selatan pada Jumat (30/10) dipimpin hakim tunggal I Ketut Tirta.

Pada 24 April 2015, anggota DPR menyetujui Perppu No 1 tahun 2015 menjadi UU atas perubahan UU No 30 tahun 2002 tentang KPK yang mengesahkan tiga Plt Pimpinan KPK yaitu Taufiequrachman Ruki, Indriyanto Seno Adji dan Johan Budi untuk melanjutkan kepemimpinannya hingga Desember 2015.

Memang persoalan ini muncul karena usia Taufiequrachman Ruki sudah mencapai 69 tahun, padahal dalam pasal 29 huruf e UU KPK No 30 tahun 2002, disebutkan bahwa komisoner KPK sekurang-kurangnya berusia 40 tahun dan setinggi-tingginya berusia 65 tahun pada proses pemilihan.

Namun pasal tersebut dihapuskan dengan menambahkan peraturan baru di pasal 33A ayat (3) yang berbunyi: Calon anggota sementara Pimpinan KPK harus memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 kecuali huruf e yang berkaitan dengan syarat usia setinggi-tingginya 65 (enam puluh lima) tahun.

"Nah, kenapa yang dikecualikan oleh Perppu No 1 tahun 2015 itu hanya mengenai batas umur? Ini kan agar pak Ruki bisa masuk (sebagai pimpinan KPK?). Karena batas umur UU KPK maksimal 65 tahun ketika diangkat. Ini persoalan pokok kita di situ. Ini yang barangkali kita alpa selama ini untuk melihat apakah pengangkatan ketiga pimpinan KPK kemarin sah atau tidak sah. Kalau kita kembalikan kepada pasal 33 UU KPK, mereka bertiga itu tidak sah," tambah Maqdir.

Maqdir pun menilai penetapan sejumlah tersangka KPK oleh tiga plt pimpinan tersebut tidak sah.

"Banyak tersangka, begitu banyak perkara yang menjadi tidak sah, sejak mereka bertiga jadi pimpinan KPK. Ini salah satu poin (untuk praperadilan). Setelah kami lihat kemarin surat perintah penahanan (Rio Capella)," jelas Maqdir.

Maqdir mengungkapkan butir gugatan tersebut sudah dimasukkan ke permohonan praperadilan.

"Ketentuan dari UU KPK, pimpinan atau pimpinan pengganti, atau calon pimpinan harus diangkat dengan persetujuan DPR. Akan tetapi terhadap ketiga pimpinan itu, hanya diangkat berdasar putusan presiden," jelas Maqdir.

Rio Capella menjadi tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi suap kepada anggota DPR terkait penyelidikan di Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara dan atau Kejaksaan Agung dan sudah ditahan di rumah tahanan (rutan) kelas 1 Jakarta Timur cabang gedung KPK selama 20 hari pertama sejak Jumat (23/10).

Dalam kasus ini, Rio diduga menerima uang Rp200 juta dari istri Gubernur Sumatera Utara Evy Susanti untuk mengamankan perkara suaminya, Gatot Pujo Nugroho yang mendapatkan status tersangka dari Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara dalam perkara dugaan korupsi Dana Bantuan Sosial (Bansos), Bantuan Daerah Bawahan (BDB), Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan tunggakan Dana Bagi Hasil (DBH) dan Penyertaan Modal pada sejumlah BUMD.

Menurut Gatot seusai menjalani sidang pada Kamis (22/10), Rio menyanggupi untuk menyampaikan permasalahan Gatot tersebut kepada Jaksa Agung HM Prasetyo yang merupakan kader Partai Nasdem.

Uang itu diberikan melalui seorang perantara bernama Fransisca Insani Rahesti yang merupakan teman kampus Rio. Namun Rio Capella mengaku sudah mengembalikan uang Rp200 juta itu ke KPK.

Patrice Rio Capella dalam kasus ini juga sudah ditetapkan sebagai tersangka dan disangkakan pasal 12 huruf a, huruf b atau pasal 11 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pasal tersebut mengatur tentang pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya dengan ancaman terhadap pelanggar pasal tersebut adalah penjara paling sedikit 4 tahun dan paling lama 20 tahun penjara ditambah denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar.

Pewarta: Desca Lidya Natalia

Editor : Andi Firdaus


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2015