Universitas Pancasila melakukan Penandatanganan Nota Kesepahaman dengan Badan keahlian DPR RI tentang Pelaksanaan Perguruan Tinggi dan Pelaksanaan Tridharma Perguruan Tinggi dan Dukungan Keahlian Dalam Pelaksanaan Fungsi dan Tugas Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
Ruang lingkup nota kesepahaman ini salah satunya adalah mengimplementasikan Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) dengan adanya kegiatan magang, yang akan dilakukan oleh Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pancasila di Badan Keahlian DPR RI.
Pihak yang menandatangani Nota Kesepahaman ini dari Universitas Pancasila dilakukan oleh Prof. Dr. Edie Toet Hendratno sebagai Rektor, dari Pihak Badan Keahlian DPR RI akan ditandatangani oleh Dr. Inosentius Samsul, S.H., M.Hum. selaku Kepala Badan keahlian DPR RI.
Baca juga: UP berikan beasiswa untuk mahasiswa baru berprestasi bidang sosial kemasyarakatan
Rektor Prof. Dr. Edie Toet Hendratno dalam keterangannya, Selasa mengatakan dengan ditandatanganinya MoU antara Universitas Pancasila dengan Badan keahlian DPR RI ini diharapkan dapat terimplementasikannya seluruh ruang lingkup dan banyak kegiatan yang dapat mendukung tugas dan fungsi antar Pihak.
Ia mengatakan salah satu yang dapat diimplementasikan adalah program Magang Merdeka Belajar Kampus Merdeka yang akan dikerjasamakan antara Badan Keahlian DPR RI dengan Fakultas Hukum Universitas Pancasila pada September 2021.
Begitu pula dengan Kegiatan FGD yang menjadi rangkaian kegiatan hari ini yang mengangkat tema Urgensi Rancangan Undang-Undang tentang Keimigrasian (Penggantian Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian) yang bekerja sama dengan Fakultas Hukum Universitas Pancasila melibatkan para narasumber luar biasa.
Baca juga: PSP UP: Sosialisasi dan implementasi Pancasila perlu disesuaikan perkembangan zaman
Kepala Badan keahlian DPR RI Dr. Inosentius Samsul mengatakan keahlian DPR RI, yang pada intinya menyampaikan bahwa dengan adanya Penandatangan MoU ini yang kemudian dilanjutkan dengan Forum Grup Discussion (FGD) dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kedua pihak.
Selain itu mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pancasila nantinya dapat banyak belajar di Badan Keahlian DPR RI, yang mana kegiatan ini merupakan kerangka MBKM, serta Badan Keahlian DPR RI juga dapat memberikan dukungan keahlian dalam menjalankan tugas dan fungsi DPR RI.
Dari kedua sambutan yang telah disampaikan, ditekankan bahwa pentingnya penguatan nilai-nilai pancasila, karena di era globalisasi saat ini, nilai pancasila semakin terkikis, sehingga bagaimana upayanya kerja sama ini dapat memberikan penguatan Pancasila bagi mahasiswa yang mengikuti program MBKM.
Dalam FGD sebagai pembicara pertama Guru Besar Hukum Keimigrasian, Fakultas Hukum Universitas Krisnadwipayana Prof. Dr. Iman Santoso, S.E., S.H., M.H., M.M. yang menyampaikan mengenai Perubahan Paradigma Keimigrasian Dunia dan Pengaruhnya Pada Politik Hukum Keimigrasian Indonesia.
Ia mengatakan bahwa Masyarakat yang pada tiap detiknya mengalami penambahan, menyebabkan timbulnya masalah kompleks dalam bidang Imigrasi dikarenakan berbagai aspek dirinya ikut bergerak.
Ideologi, pemahaman, aliran, politik, sosial budaya dan masih banyak lagi. Usia UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian yang 9 tahun dan dinamisnya bidang keimigrasian maka, Beliau juga menyarankan untuk Perlu diadakannya perubahan dan evaluasi secara mendalam terhadap UU tersebut dan untuk segera disusun draft penyempurnaan sesuai dengan paradigma keimigrasian saat ini.
Dekan Fakultas Hukum Universitas Pancasila, Prof. Eddy Pratomo, S.H., M.A. yang menyampaikan hukum keimigrasian berada pada 2 (dua) lingkup hukum, yaitu Hukum Internasional yang mengatur kinerja dan hubungan antar bangsa-bangsa dan negara-negara di dunia; dan Hukum Nasional yang mengatur kedaulatan dan keamanan nasional dengan menjaga dan mengawasi alur keluar masuk.
Keimigrasian merupakan penegak kedaulatan negara dan garda terdepan dalam menjaga kedaulatan Indonesia.
Pemateri ketiga Dr. M. Alvi Syahrin, S.H., M.H., C.L.A dari Politeknik Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM RI Alvi. Beliau mengatakan bahwa upaya rekonstruksi norma pemidanaan RUU Keimigrasian dapat dilakukan melalui 4 cara, yaitu pertama ditetapkan batasan norma tindakan administrasi keimigrasian dan penyidikan terhadap suatu peristiwa hukum.
Kedua adanya kategorisasi pelanggaran kejahatan dan pelanggaran keimigrasian. Ketiga perumusan konsep pidana minimum dalam ketentuan pidana keimigrasian. Keempat penambahan asas ultimum remedium dalam penegakan hukum pidana keimigrasian.
Alvi Syahrin memberikan empat usulan mengenai penguatan norma dalam RUU Keimigrasian, Pertama, Prinsip Kebijakan Selektif Keimigrasian harus dimasukkan dalam batang tubuh undang-undang dalam bentuk pasal, bukan hanya disebutkan di bagian penjelasan undang-undang.
Kedua, hadirnya konsep Pengadilan Keimigrasian untuk merespon upaya hukum keberatan terhadap proses Tindakan Administratif Keimigrasian, sebagaimana yang telah diterapkan di Inggris dan Selandia Baru; Immigration Tribunal.
Ketiga, penguatan konsep pencegahan (preventif) berupa penolakan dan penangkalan, bukan penindakan (represif) karena tugas dan fungsi keimigrasian menitikberatkan kepada selektifitas, keamanan, dan kedaulatan negara.
Dan keempat yaitu Integrasi Konsep Perbatasan CIQ+ (Customs, Immigration, Quarantine) yang dalam pelaksanaannya didukung oleh Badan Nasional Penjaga Perbatasa (BNPP).
Pemaparan akhir dari Dosen Fakultas Hukum Universitas Pancasila, Dr. Lisda Syamsumardian, S.H., M.H. Beliau membuka pemaparannya dengan meninjau hukum keimigrasian perspektif kedaulatan negara.
Keimigrasian merupakan ilmu yang mutidisipliner, sehingga dalam pembahasan dan penyusunannya tidak hanya dilihat dari satu persepektif (perspektif HAM) saja.
Ia sampaikan tiga saran mengenai pengaturan pengawasan pengungsi yang dapat diimplementasikan dalam RUU Keimigrasian, Indonesia perlu mengajak 3 pihak terkait pengungsi (negara asal, negara transit, dan negara tujuan).
Yaitu Pengaturan pengawasan imigrasi terhadap pengungsi itu melihat perspektif keamanan negara; bukan hanya HAM tapi juga kedaulatan negara; Penerimaan selektif terhadap orang asing dengan mempertimbangkan aspek keamanan, kestabilan politik, sosial, budaya, dan aspek-aspek lainnya; dan Penambahan frasa pencari suaka dan pengungsi sebagai salah satu kategori dalam definisi Orang Asing.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2021
Ruang lingkup nota kesepahaman ini salah satunya adalah mengimplementasikan Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) dengan adanya kegiatan magang, yang akan dilakukan oleh Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pancasila di Badan Keahlian DPR RI.
Pihak yang menandatangani Nota Kesepahaman ini dari Universitas Pancasila dilakukan oleh Prof. Dr. Edie Toet Hendratno sebagai Rektor, dari Pihak Badan Keahlian DPR RI akan ditandatangani oleh Dr. Inosentius Samsul, S.H., M.Hum. selaku Kepala Badan keahlian DPR RI.
Baca juga: UP berikan beasiswa untuk mahasiswa baru berprestasi bidang sosial kemasyarakatan
Rektor Prof. Dr. Edie Toet Hendratno dalam keterangannya, Selasa mengatakan dengan ditandatanganinya MoU antara Universitas Pancasila dengan Badan keahlian DPR RI ini diharapkan dapat terimplementasikannya seluruh ruang lingkup dan banyak kegiatan yang dapat mendukung tugas dan fungsi antar Pihak.
Ia mengatakan salah satu yang dapat diimplementasikan adalah program Magang Merdeka Belajar Kampus Merdeka yang akan dikerjasamakan antara Badan Keahlian DPR RI dengan Fakultas Hukum Universitas Pancasila pada September 2021.
Begitu pula dengan Kegiatan FGD yang menjadi rangkaian kegiatan hari ini yang mengangkat tema Urgensi Rancangan Undang-Undang tentang Keimigrasian (Penggantian Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian) yang bekerja sama dengan Fakultas Hukum Universitas Pancasila melibatkan para narasumber luar biasa.
Baca juga: PSP UP: Sosialisasi dan implementasi Pancasila perlu disesuaikan perkembangan zaman
Kepala Badan keahlian DPR RI Dr. Inosentius Samsul mengatakan keahlian DPR RI, yang pada intinya menyampaikan bahwa dengan adanya Penandatangan MoU ini yang kemudian dilanjutkan dengan Forum Grup Discussion (FGD) dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kedua pihak.
Selain itu mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Pancasila nantinya dapat banyak belajar di Badan Keahlian DPR RI, yang mana kegiatan ini merupakan kerangka MBKM, serta Badan Keahlian DPR RI juga dapat memberikan dukungan keahlian dalam menjalankan tugas dan fungsi DPR RI.
Dari kedua sambutan yang telah disampaikan, ditekankan bahwa pentingnya penguatan nilai-nilai pancasila, karena di era globalisasi saat ini, nilai pancasila semakin terkikis, sehingga bagaimana upayanya kerja sama ini dapat memberikan penguatan Pancasila bagi mahasiswa yang mengikuti program MBKM.
Dalam FGD sebagai pembicara pertama Guru Besar Hukum Keimigrasian, Fakultas Hukum Universitas Krisnadwipayana Prof. Dr. Iman Santoso, S.E., S.H., M.H., M.M. yang menyampaikan mengenai Perubahan Paradigma Keimigrasian Dunia dan Pengaruhnya Pada Politik Hukum Keimigrasian Indonesia.
Ia mengatakan bahwa Masyarakat yang pada tiap detiknya mengalami penambahan, menyebabkan timbulnya masalah kompleks dalam bidang Imigrasi dikarenakan berbagai aspek dirinya ikut bergerak.
Ideologi, pemahaman, aliran, politik, sosial budaya dan masih banyak lagi. Usia UU No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian yang 9 tahun dan dinamisnya bidang keimigrasian maka, Beliau juga menyarankan untuk Perlu diadakannya perubahan dan evaluasi secara mendalam terhadap UU tersebut dan untuk segera disusun draft penyempurnaan sesuai dengan paradigma keimigrasian saat ini.
Dekan Fakultas Hukum Universitas Pancasila, Prof. Eddy Pratomo, S.H., M.A. yang menyampaikan hukum keimigrasian berada pada 2 (dua) lingkup hukum, yaitu Hukum Internasional yang mengatur kinerja dan hubungan antar bangsa-bangsa dan negara-negara di dunia; dan Hukum Nasional yang mengatur kedaulatan dan keamanan nasional dengan menjaga dan mengawasi alur keluar masuk.
Keimigrasian merupakan penegak kedaulatan negara dan garda terdepan dalam menjaga kedaulatan Indonesia.
Pemateri ketiga Dr. M. Alvi Syahrin, S.H., M.H., C.L.A dari Politeknik Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM RI Alvi. Beliau mengatakan bahwa upaya rekonstruksi norma pemidanaan RUU Keimigrasian dapat dilakukan melalui 4 cara, yaitu pertama ditetapkan batasan norma tindakan administrasi keimigrasian dan penyidikan terhadap suatu peristiwa hukum.
Kedua adanya kategorisasi pelanggaran kejahatan dan pelanggaran keimigrasian. Ketiga perumusan konsep pidana minimum dalam ketentuan pidana keimigrasian. Keempat penambahan asas ultimum remedium dalam penegakan hukum pidana keimigrasian.
Alvi Syahrin memberikan empat usulan mengenai penguatan norma dalam RUU Keimigrasian, Pertama, Prinsip Kebijakan Selektif Keimigrasian harus dimasukkan dalam batang tubuh undang-undang dalam bentuk pasal, bukan hanya disebutkan di bagian penjelasan undang-undang.
Kedua, hadirnya konsep Pengadilan Keimigrasian untuk merespon upaya hukum keberatan terhadap proses Tindakan Administratif Keimigrasian, sebagaimana yang telah diterapkan di Inggris dan Selandia Baru; Immigration Tribunal.
Ketiga, penguatan konsep pencegahan (preventif) berupa penolakan dan penangkalan, bukan penindakan (represif) karena tugas dan fungsi keimigrasian menitikberatkan kepada selektifitas, keamanan, dan kedaulatan negara.
Dan keempat yaitu Integrasi Konsep Perbatasan CIQ+ (Customs, Immigration, Quarantine) yang dalam pelaksanaannya didukung oleh Badan Nasional Penjaga Perbatasa (BNPP).
Pemaparan akhir dari Dosen Fakultas Hukum Universitas Pancasila, Dr. Lisda Syamsumardian, S.H., M.H. Beliau membuka pemaparannya dengan meninjau hukum keimigrasian perspektif kedaulatan negara.
Keimigrasian merupakan ilmu yang mutidisipliner, sehingga dalam pembahasan dan penyusunannya tidak hanya dilihat dari satu persepektif (perspektif HAM) saja.
Ia sampaikan tiga saran mengenai pengaturan pengawasan pengungsi yang dapat diimplementasikan dalam RUU Keimigrasian, Indonesia perlu mengajak 3 pihak terkait pengungsi (negara asal, negara transit, dan negara tujuan).
Yaitu Pengaturan pengawasan imigrasi terhadap pengungsi itu melihat perspektif keamanan negara; bukan hanya HAM tapi juga kedaulatan negara; Penerimaan selektif terhadap orang asing dengan mempertimbangkan aspek keamanan, kestabilan politik, sosial, budaya, dan aspek-aspek lainnya; dan Penambahan frasa pencari suaka dan pengungsi sebagai salah satu kategori dalam definisi Orang Asing.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2021