Jakarta, (Antara Megapolitan) - Organisasi Forest Stewardship Council (FSC) memaparkan, ancaman terhadap hutan di Indonesia besar akibat pola konsumtif masyarakatnya yang juga besar.

"Namun, ancaman ini dapat dikurangi melalui penerapan pola konsumsi yang baik," kata FSC Indonesia Representative, Hartono Prabowo, dalam penjelasan kepada Antara, di Jakarta, Kamis.

FSC adalah organisasi global dan nirlaba yang berdedikasi untuk mempromosikan pengelolaan hutan yang bertanggung jawab.

Didampingi Program Officer FSC Indonesia Indra Setia Dewi, ia menjelaskan bahwa Indonesia dengan penduduk lebih dari 250 juta jiwa adalah penduduk dengan usia produktif mencapai lebih dari 60 persen.

"Kondisi menjadikan Indonesia memiliki pola konsumtif yang besar, sehingga ancaman terhadap hutan pun juga besar," katanya.

Ia menjelaskan, hutan alam Indonesia terus mengalami penurunan luasan akibat deforestasi sebesar 1,1 juta ha/tahun, atau hutan seukuran satu lapangan bola habis dalam satu detik.

Diperkirakan, kata dia, jumlah itu terancam terus meningkat.

Deforestasi, katanya, disebabkan oleh perubahan fungsi hutan untuk peternakan, pertanian komersial, perkebunan, dan infrastruktur/pemukiman, belum termasuk pembalakan liar (illegal logging).

Ia menegaskan lagi bahwa ancaman tersebut bisa dikurangi melalui penerapan pola konsumsi yang baik pada masyarakat di Indonesia.

Kehadiran FSC di Indonesia, katanya, adalah membantu dunia usaha dan juga konsumen untuk mendapatkan pilihan informasi mengenai produk dari hasil hutan yang dikelola secara bertanggung jawab dengan melibatkan kekuatan dinamika pasar, yaitu melalui sertifikasi pengelolaan hutan.

Untuk itu, pihaknya mengembangkan standar sertifikasi tertinggi untuk pengelolaan hutan yang bertanggung jawab terhadap lingkungan, bermanfaat secara sosial, dan menguntungkan secara ekonomis.

"FSC hadir di Indonesia selain ingin membantu mendorong pengelolaan hutan yang lebih baik, juga ingin mengedukasi masyarakat tentang pola konsumsi baru yang ramah lingkungan dengan mulai mengkonsumsi produk yang ramah terhadap hutan," katanya.

Dalam kaitan itu, katanya, label FSC pada produk merupakan simbol yang menyatakan produk tersebut dihasilkan dari hutan yang dikelola secara bertanggung jawab baik secara lingkungan maupun sosial.

Artinya, kata dia, hutan dikelola secara berkelanjutan dengan mengedepankan aspek lingkungan dan sosial misalnya konservasi keanekaragaman hayati, pengurangan emisi karbon, rehabilitasi hutan, dan memperhatikan hak-hak masyarakat adat, masyarakat sekitar hutan, dan juga hak pekerja, namun tetap memperhatikan nilai perusahaan dan akses pasar.


Hutan alam

Ia menjelaskan, saat ini terdapat 2.000.000 hektare hutan yang tersertifikasi dengan standar FSC, baik hutan alam (HPH) maupun hutan rakyat.

"Luasannya akan meningkat hingga dua kali lipat dalam tiga hingga empat tahun mendatang, termasuk dengan akan disertifikasinya beberapa perusahaan pengelola hutan alam dalam waktu dekat," katanya.

Namun demikian, jumlah itu hanya 2 persen saja dari total hutan alam yang ada di Indonesia.

"Apalagi belum ada hutan tanaman (HTI) yang tersertifikasi," katanya.

Karena itu, pihaknya ingin mengajak konsumen untuk memilih produk berlabel FSC.

Dengan semakin banyak konsumen yang sadar dan meminta untuk menggunakan produk yang ramah lingkungan, kata dia, akan mendorong semakin banyak pengelola hutan dan perusahaan yang menyadari pentingnya menghasilkan produk yang bernilai ramah lingkungan.

Sementara itu, Indra Setia Dewi menambahkan di Indonesia produk sehari-hari yang menggunakan label FSC di antaranya produk tisu dan kemasan produk minuman seperti susu dan teh.

Di samping itu, juga ada produk pensil sudah menggunakan kayu dari hutan yang bersertifikat FSC.

Selain produk kemasan dan pensil, kata dia, juga banyak perusahaan kayu dan mebel Indonesia yang sudah bersertifikat FSC namun masih lebih banyak yang berorientasi ekspor.

Pewarta: Andi Jauhari

Editor : Naryo


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2015