Bogor, (Antara Megapolitan) - Penangkapan lima oknum wartawan yang melakukan pemerasan terhadap seorang pegawai negeri sipil (PNS) di wilayah Kabupaten Bogor, Jawa Barat, telah merusak citra jurnalistik.
"Masyarakat harus bisa membedakan antara oknum wartawan dengan wartawan gadungan," kata Ketua Forum Wartawan Harian Bogor (FWHB) Haryudi di Bogor, Minggu.
Jika mereka memiliki media yang benar lanjutnya, mereka adalah oknum wartawan. Tapi kalau tidak punya medianya, berarti wartawan gadungan yang mengaku-ngaku wartawan.
Menurut Yudi, pelaku pemerasan bisa saja mengaku sebagai wartawan yang melengkapi diri dengan kartu pers yang bisa dibuat dimana saja. Namun, identitas tersebut, tidak menjadi jaminan pelaku pemerasan memiliki media yang menaunginya sebagai wartawan.
Yudi mengatakan, kalimat oknum wartawan harus diklarifikasi. Menurutnya, pelaku pemerasan bukanlah oknum wartawan tapi orang atau preman yang mengaku-ngaku sebagai wartawan.
"Kalau wartawan benar-benar melakukan pemerasan itu sudah masuk tindak pidana, dan pelaku adalah wartawan gadungan," katanya.
Ia menyebutkan, perbuatan pemerasan yang dilakukan enam oknum wartawan gadungan telah melanggar kode etik jurnalistik, melanggar hukum dan sudah sepantasnya disikapi bersama khususnya oleh organisasi profesi jurnalistik, dewan pers dan stakeholder terakit untuk menyosialisasikan tentang pers yang profesional.
"Jurnalistik profesional diatur kode etik dan undang-undang. Jadi bagi narasumber yang merasa diperas atau dirugikan oleh wartawan maupun yang mengaku wartawan jangan segan-segan atau takut untuk melapor kepada kepolisian," kata Yudi.
Seperti diberitakan sebelumnya, Kepolisian Resor Bogor menangkap lima oknum wartawan dan seorang aktivisi LSM yang diduga telah memeras pegawai negeri sipil di daerah tersebut.
"Benar, mereka ditangkap dan sudah kita amankan di Satuan Reskrim Polres Bogor, kemarin," kata Kapolres Bogor, AKBP Suyudi Ario Seto.
AKBP Suyudi menyebutkan, enam orang pelaku pemerasan tersebut sedang menjalani pemeriksaan dan dilakukan penahanan di Mapolres Bogor. Masing-masing pelaku berinisial KS, Z, S, HS, H dan RE.
Ia mengatakan kronologis kejadian berawal saat pelaku memergoki korban sedang bersama teman wanitanya masuk ke dalam sebuah hotel. Kemudian, pelaku mencari tahu identitas korban dengan cara membututinya sampai ke rumahnya.
"Setelah para pelaku memastikan korbannya berprofesi sebagai PNS, kemudian mereka meminta uang sebesar Rp100 juta supaya tidak diberitakan ke media dengan tuduhan perselingkuhan," katanya.
Karena merasa terancam, korban langsung melaporkan kejadian kepada pihak kepolisian. Lalu melakukan penjebakan saat transaksi penyerahan uang dilakukan di sebuah mal di wilayah Cibinong.
"Saat korban menyerahkan uang kepada para pelaku, polisi langsung melakukan penangkapan," katanya.
Dari hasil pemeriksaan yang telah dilakukan, para pelaku diketahui berprofesi sebagai wartawan yang bekerja di wilayah Jakarta dan Bogor, serta satu pelaku lainnya berprofesi sebagai LSM.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2015
"Masyarakat harus bisa membedakan antara oknum wartawan dengan wartawan gadungan," kata Ketua Forum Wartawan Harian Bogor (FWHB) Haryudi di Bogor, Minggu.
Jika mereka memiliki media yang benar lanjutnya, mereka adalah oknum wartawan. Tapi kalau tidak punya medianya, berarti wartawan gadungan yang mengaku-ngaku wartawan.
Menurut Yudi, pelaku pemerasan bisa saja mengaku sebagai wartawan yang melengkapi diri dengan kartu pers yang bisa dibuat dimana saja. Namun, identitas tersebut, tidak menjadi jaminan pelaku pemerasan memiliki media yang menaunginya sebagai wartawan.
Yudi mengatakan, kalimat oknum wartawan harus diklarifikasi. Menurutnya, pelaku pemerasan bukanlah oknum wartawan tapi orang atau preman yang mengaku-ngaku sebagai wartawan.
"Kalau wartawan benar-benar melakukan pemerasan itu sudah masuk tindak pidana, dan pelaku adalah wartawan gadungan," katanya.
Ia menyebutkan, perbuatan pemerasan yang dilakukan enam oknum wartawan gadungan telah melanggar kode etik jurnalistik, melanggar hukum dan sudah sepantasnya disikapi bersama khususnya oleh organisasi profesi jurnalistik, dewan pers dan stakeholder terakit untuk menyosialisasikan tentang pers yang profesional.
"Jurnalistik profesional diatur kode etik dan undang-undang. Jadi bagi narasumber yang merasa diperas atau dirugikan oleh wartawan maupun yang mengaku wartawan jangan segan-segan atau takut untuk melapor kepada kepolisian," kata Yudi.
Seperti diberitakan sebelumnya, Kepolisian Resor Bogor menangkap lima oknum wartawan dan seorang aktivisi LSM yang diduga telah memeras pegawai negeri sipil di daerah tersebut.
"Benar, mereka ditangkap dan sudah kita amankan di Satuan Reskrim Polres Bogor, kemarin," kata Kapolres Bogor, AKBP Suyudi Ario Seto.
AKBP Suyudi menyebutkan, enam orang pelaku pemerasan tersebut sedang menjalani pemeriksaan dan dilakukan penahanan di Mapolres Bogor. Masing-masing pelaku berinisial KS, Z, S, HS, H dan RE.
Ia mengatakan kronologis kejadian berawal saat pelaku memergoki korban sedang bersama teman wanitanya masuk ke dalam sebuah hotel. Kemudian, pelaku mencari tahu identitas korban dengan cara membututinya sampai ke rumahnya.
"Setelah para pelaku memastikan korbannya berprofesi sebagai PNS, kemudian mereka meminta uang sebesar Rp100 juta supaya tidak diberitakan ke media dengan tuduhan perselingkuhan," katanya.
Karena merasa terancam, korban langsung melaporkan kejadian kepada pihak kepolisian. Lalu melakukan penjebakan saat transaksi penyerahan uang dilakukan di sebuah mal di wilayah Cibinong.
"Saat korban menyerahkan uang kepada para pelaku, polisi langsung melakukan penangkapan," katanya.
Dari hasil pemeriksaan yang telah dilakukan, para pelaku diketahui berprofesi sebagai wartawan yang bekerja di wilayah Jakarta dan Bogor, serta satu pelaku lainnya berprofesi sebagai LSM.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2015