Dua bangkai perahu kayu berukuran 21 kaki teronggok di pekarangan samping sekitar 10 meter dari rumah Aidi di perkampungan nelayan Gang Meriam, Lingkungan V, Desa Sei Bilah Barat, Kecamatan Sei Lepan, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara.

"Perahu-perahu itu masih bisa diperbaiki kalau pemiliknya mau," katanya membuka pembicaraan dengan Antara yang mengunjunginya di rumah tipe-36 yang berbatasan langsung dengan paluh Desa Sei Bilah Barat pada 30 Mei silam.

Untuk sampai ke rumah berlantai papan  yang dihuni Aidi dan keluarganya itu, setiap orang harus melintasi titi papan berpenopang pilar-pilar beton setinggi sekitar dua meter. Beberapa lembar papan titi sepanjang 14 meter itu pun sudah tampak lapuk dimakan usia.

Aidi dikenal nelayan setempat maupun tetangganya sebagai pembuat kapal rakyat.

"Di Gang Meriam ini, hanya ada lima orang yang bisa membuat perahu, yakni bang Aidi, Zainuddin, Nurdin, Buyung dan Irwansyah," kata Fatimah (41), tetangga Aidi di Desa Sei Bilah Barat itu.

Apa yang disampaikan Fatimah, ibu rumah tangga yang lahir dan besar di kampung nelayan itu, diamini Aidi. Pria berusia 52 tahun itu mengatakan tidak banyak pembuat kapal kayu tradisional yang aktif di daerah ini.

"Di Kota Pangkalan Brandan dan sekitarnya, selain di Gang Meriam, hanya ada lima orang di Jalan Pelabuhan, empat orang di daerah Pajak Ikan Lama dan empat orang lainnya di Kampung Perlis," kata mantan pengurus ranting PDIP Desa Sei Bilah Barat ini.

Ayah empat orang anak ini menuturkan tentang awal perkenalannya dengan dunia konstruksi perahu kayu berukuran 23 dan 25 kaki ini. Perjalanan karirnya sebagai pembuat kapal nelayan itu bermula pada 1980-an. Tanpa berfikir tentang besar gaji yang bakal dia terima, Aidi bergabung dengan CV Amal yang bergerak di bidang pembuatan perahu milik mendiang Ibrahim.

"Saya tak mementingkan gaji tapi bagaimana saya bisa menimba ilmu membuat 'boat' (kapal) berukuran 23 dan 25 kaki dari Pak Ibrahim. Saat itu, saya hanya punya keterampilan sebagai tukang. Adalah Pak Ibrahim yang mengajari saya tentang cara membuat 'boat'," katanya.
    
Terinspirasi larangan

Pendirian CV Amal itu sendiri terinspirasi oleh keputusan pemerintah tentang pelarangan penggunaan pukat harimau sehingga memberikan ruang bagi para nelayan tradisional yang hanya mengandalkan perahu-perahu kecil berukuran 18 dan 21 kaki untuk mencari ikan di perairan Pantai Timur Sumatera Utara.

Dibandingkan tahun 1980-an, pembuatan kapal-kapal nelayan sekarang ini dirasakan Aidi lebih pesat.

"Dulu nelayan-nelayan itu hanya tahu menjaring dengan perahu berukuran 18 sampai 21 kaki. Ukuran segitu sudah dianggap cukup besar. Tapi sekarang ini, banyak nelayan yang sudah memakai perahu berukuran 23 dan 25 kaki sehingga mereka bisa melaut hingga ke tengah".

Bahkan, seiring dengan kebijakan pemerintahan Presiden Joko Widodo terhadap sektor kemaritiman, banyak nelayan yang melengkapi perahu-perahu mereka dengan mesin 28 - 30 PK atau jauh di atas kapasitas mesin perahu-perahu penangkap udang yang dulu hanya lima sampai tujuh PK.

Menurut Aidi, permintaan akan perahu-perahu baru relatif "baik" seiring dengan bertambahnya jumlah warga masyarakat Pangkalan Brandan dan wilayah-wilayah di sekitarnya yang beralih pekerjaan buruh pabrik ke nelayan.

Konsumennya tidak terbatas pada nelayan-nelayan asal Pangkalan Brandan dan daerah-daerah di sekitarnya tetapi juga ada beberapa  yang datang dari wilayah Provinsi Aceh.

"Sepanjang 2014, ada dua perahu baru yang saya buat dan 30 perahu yang saya renovasi," kata pria kelahiran Pangkalan Brandan, 12 Mei 1963, ini.

Ada pun, pada 2015, sudah ada enam kapal yang direnovasi.

"Biasanya, setahun sekali, kapal yang beroperasi memerlukan renovasi dengan mengganti papan dek atas dan papan bagian bawah yang bersentuhan langsung dengan air laut".

Untuk keperluan renovasi yang memakan waktu pengerjaan selama setengah sampai satu bulan itu, para nelayan harus menyisihkan uang sebesar Rp12 juta.

"Insya Allah, nelayan kita mampu karena mereka sudah menyisihkan uang untuk keperluan renovasi perahu mereka dari penjualan hasil tangkapan," katanya.    

Dana renovasi sebesar itu dialokasikan untuk keperluan pembelian bahan dan pembayaran ongkos kerja enam orang personel.

"Untuk membuat kapal baru, jumlah pekerjanya juga enam orang. Mereka bekerja selama tiga bulan untuk merampungkan pembuatan kapal baru itu".

Untuk membangun satu unit kapal berukuran 27 kaki, misalnya, diperlukan berbagai bahan seperti papan meranti, kayu laban, lunas, sepasang pisang-pisang, senta, paku, baut, damar, tali goni, minyak lampu, cat serta mesin.

"Sejauh ini tak ada masalah dengan bahan baku seperti kayu meranti dan laban. Tinggal pesan dari panglong." Total biaya yang diperlukan untuk membangun satu unit perahu baru berukuran 27 kaki hingga siap beroperasi mencapai sedikitnya Rp50 juta, kata Aidi.

Di antara para nelayan setempat yang mampu memiliki kapal berukuran 27 kaki itu adalah Samsul Bahri. Nelayan berusia 50 tahun yang merupakan tetangga Aidi di lingkungan perumahan nelayan yang dibangun Perumnas pada 2012 itu bahkan mengaku mempunyai dua unit.

Dengan dua kapal yang dimilikinya itu, Samsul Bahri yang ditemui di perumahan nelayan Gang Meriam, Lingkungan V, Desa Sei Bilah Barat, itu menafkahi istri dan keempat anaknya. Bahkan, dari hasil melaut, putra pertamanya lulus SMA dan sudah mandiri sedangkan anak kedua dan ketiganya kini duduk di bangku kuliah.

Samsul Bahri adalah satu dari 864 ribu keluarga nelayan tradisional yang membutuhkan perahu buatan anak negeri sendiri untuk dapat mengambil sedikit dari potensi ekonomi kelautan Indonesia yang diperkirakan mencapai Rp7.200 triliun per tahun (Limbong, 2015). Di tangan pembuat kapal rakyat seperti Aidi, masa depan kebaharian Indonesia turut dibangun.

Pewarta: Rahmad Nasution

Editor : M. Tohamaksun


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2015