Jakarta (Antara Megapolitan) - Pemohon praperadilan Novel Baswedan menyatakan bahwa keterangan saksi-saksi yang dihadirkan oleh Tim Divisi Hukum Mabes Polri dalam sidang lanjutan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jumat, telah menguntungkan dirinya.

Dalam sidang yang berlangsung pukul 10.00 WIB hingga 18.00 WIB tersebut, pihak Polri menghadirkan lima saksi yaitu ahli hukum pidana Chairul Huda, salah satu korban penembakan Irwansyah Siregar, pengacara Irwansyah, Yuliswan, petugas Polres Bengkulu Doni Juniansyah dan penyidik Bareskrim Polri Suradi.

"Dari yang disampaikan oleh saksi-saksi fakta serta ahli-ahli yang diajukan baik dari saya sebagai pemohon maupun Polri sebagai termohon, hal-hal yang kami dalilkan (dalam permohonan praperadilan) saya kira bersesuaian semua (dengan keterangan saksi)," ujar Novel usai menjalani sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jumat malam.

Poin-poin yang dianggap menguntungkan itu antara lain terkait keterangan saksi Suradi yang menyebutkan bahwa penangkapan harus disertai dengan surat perintah penangkapan yang masing-masing diberikan kepada tersangka dan keluarga, sedangkan dalam kasus Novel, surat perintah penangkapan tersebut hanya diberikan untuk pihak keluarga yang dititipkan ke Ketua RT tempat Novel tinggal.

Kedua, kata Novel, bahwa surat perintah penangkapan harus mencantumkan alasan penangkapan dan tempat di mana akan dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat 1 KUHAP.

Sementara dalam keterangannya saksi Suradi tidak dapat menyebutkan apa alasan di balik penangkapan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu.

"Selain itu, disampaikan juga bahwa tempat di mana diperiksanya dicantumkan hal yang sangat umum sehingga tidak mudah dideteksi. Contohnya anda kalau ditulis diperiksa di kantor polisi, apa anda bisa tahu di Jakarta ini kantor polisi mana yang dimaksud? Saya kira itu jadi hal yang membingungkan karena tidak bisa ditentukan kantor polisi mana yang dimaksud," ujar Novel kepada awak media.

Meskipun merasa diuntungkan, Novel juga memiliki keprihatinan bahwa proses praperadilan yang seharusnya dimaksudkan untuk menguji prosedur penangkapan dan penahanan yang dimohonkan olehnya, justru melenceng jauh hingga ke pemeriksaan terkait pokok perkara.

"Bagi saya, saya prihatin karena saya merasa proses itu dilakukan dengan cara yang tidak adil. Kalau  dalam proses peradilan tentunya saya diberikan hak untuk membela diri, tapi tadi (dalam persidangan) kan tidak. Saya khawatir proses itu kemudian menjadi sesat, menjadi asumsi, dan itu berbahaya," Novel menjelaskan.

Pernyataan tersebut berkaitan dengan keterangan dari saksi Irwansyah selaku korban penembakan yang diduga kuat dilakukan oleh Novel di Bengkulu tahun 2004.
    
Pokok Perkara

Terkait saksi-saksi yang dihadirkan Polri dalam sidang praperadilan, kuasa hukum Novel, Muji Kartika Rahayu menyatakan bahwa dari lima saksi yang memberi keterangan, hanya ada satu saksi yang berkaitan dengan penangkapan dan penahanan Novel yaitu penyidik Bareskrim Mabes Polri yang bernama Suradi.

Selebihnya adalah saksi-saksi yang berkaitan dengan pokok perkara tentang peristiwa penembakan yang terjadi tahun 2004.

"Kami melihat ini sebagai suatu kesengajaan," kata Muji.

Ia pun menilai pihak Polri telah "curi start" dengan sengaja menghadirkan saksi-saksi dan bukti yang seharusnya baru boleh diungkap jika perkara pokok Novel sudah disidangkan.

"Mereka tahu ini sebenarnya tidak pada tempatnya dan tidak ada waktunya tapi mereka sengaja, tujuannya untuk bisa mengecoh agar yang penting publik mengetahui perkara pokok dan saksi-saksi kuncinya," tutur dia.

Kendati demikian ia mengapresiasi keputusan hakim Suhairi untuk tidak mengizinkan tiga saksi lain yang dinilai tidak ada relevansinya dengan peristiwa penangkapan dan penahanan Novel.

"Jadi kami memang menolak saksi-saksi yang berhubungan dengan peristiwa tahun 2004. Penolakan kami disetujui hakim sehingga pihak termohon tidak jadi menghadirkan tiga saksi tersebut," katanya.

Tiga saksi yang dimaksud yaitu dua orang petugas Polresta Bengkulu atas nama Rahmat dan Lutfianto. Selanjutnya adalah satu orang penyidik Bareskrim Polri bernama Purwantoro.

Novel dan tim kuasa hukumnya mempraperadilankan tindakan penangkapan dan penahanan yang dilakukan penyidik Bareskrim Mabes Polri pada 1 Mei 2015.

Karena menilai adanya kesalahan prosedur dalam tindakan tersebut, maka kuasa hukum Novel Baswedan meminta hakim praperadilan memutuskan tidak sah penangkapan berdasarkan surat perintah penangkapan tertanggal 24 April 2015 dan penahanan berdasarkan surat perintah penahanan tertanggal 1 Mei 2015.

Proses hukum terhadap Novel dimulai sejak Jumat (1/5) pagi yaitu sekitar pukul 00.30 WIB Novel dijemput paksa oleh penyidik Bareskrim Polri untuk dibawa ke Bareskrim.

Dalam perkara ini, Novel diduga keras melakukan tindak pidana penganiayaan yang mengakibatkan luka berat dan atau seseorang pejabat yang dalam suatu perkara pidana menggunakan sarana paksaan, baik untuk memeras pengakuan maupun untuk mendapat keterangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 351 ayat 2 KUHP dan atau pasal 422 KUHP jo Pasal 52 KUHP yang terjadi di Pantai Panjang Ujung Kota Bengkulu tanggal 18 Februari 2004 atas nama pelapor Yogi Hariyanto.

Novel Baswedan dituduh pernah melakukan penembakan terhadap enam pelaku pencuri sarang burung walet di Bengkulu pada 2004. Penembakan tersebut diyakini menjadi penyebab utama tewasnya salah satu pelaku yaitu Mulia Johani alias Aan.

Novel yang saat itu berpangkat inspektur satu (iptu) polisi dan menjabat Kasat Reskrim Polres Bengkulu dianggap melakukan langsung penembakan tersebut.

Pewarta: Yashinta Difa P.

Editor : M. Tohamaksun


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2015