Jakarta (Antara Megapolitan) - Ketua Asosiasi "Amyotrophic Lateral Sclerosis" (ALS) Indonesia Dr Premana Premadi mengemukakan bahwa informasi tertulis yang baik tentang penyakit ALS dalam Bahasa Indonesia sangat dibutuhkan.
"Informasi tersebut dalam Bahasa Indonesia hampir tidak ada, dan ini berkorelasi ketat dengan rendahnya pemahaman masyarakat kita tentang penyakit ini," katanya seperti disampaikan Communication & Media Relationship Asosiasi ALS Indonesia Johanna Ernawati kepada Antara di Jakarta, Rabu.
RS itu bersama Asosiasi ALS Indonesia sepanjang Juni 2015 mengusung kampanye untuk mengajak masyarakat Indonesia mengenal sebuah penyakit baru yang patut dikenali dan diwaspadai masyarakat Indonesia, yakni ALS atau disebut juga Motor Neuron Disease (MND).
ALS atau MND dikenal sebagai sebuah penyakit degeneratif yang melumpuhkan fisik pasien, sementara otak pasien tetap bisa jernih berpikir dan bekerja.
"Penyakit ALS/MND menyebabkan sel-sel syaraf (neurons) pengendali gerak otot mengalami degenerasi terlalu cepat dan mati," katanya.
Ia menjelaskan, karena informasi dan rujukan tertulis mengenai penyakit ALS/MND dalam Bahasa Indonesia hampir tidak ada, maka keluarga pasien ALS sering mengalami kebingungan saat anggota keluarga didiagnosa menderita ALS.
"Apalagi di Indonesia, masih sedikit dokter yang mengenali gejala penyakit ALS," katanya menegaskan.
Berkaitan dengan kondisi tersebut, maka Asosiasi ALS Indonesia berusaha menjadi sistem dukungan bagi pasien ALS, keluarga pasien ALS, dan dokter di Indonesia.
Ia mengatakan, keluarga dan pasien ALS dapat berkomunikasi melalui Asosiasi ALS Indonesia untuk memperoleh informasi mengenai penyakit ALS.
Di masa mendatang, kata dia, Asosiasi ALS Indonesia mengharapkan dapat mendorong tumbuhnya lingkungan sosial dan medis yang kondusif bagi pasien ALS di Indonesia.
Terkait ikhtiar Asosiasi ALS Indonesia mencanangkan bulan Juni sebagai "Bulan ALS Awareness Indonesia", maka kedua belah pihak menggagas seminar bagi publik dan media massa dengan tema "Mengenal Penyakit ALS dan Bagaimana Menjaga Kualitas Hidup Pasien ALS", yang dijadwalkan pada Sabtu (6/6) di RS Mayapada, Lebak Bulus, Cilandak, Jakarta Selatan, pada pukul 09.00 WIB hingga 13.00 WIB.
"Besar harapan kami media turut berpartisipasi untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat Indonesia tentang keberadaan penyakit ALS ini, dan mendukung tumbuhnya lingkungan sosial dan medis yang kondusif bagi pasien ALS di Indonesia," katanya.
Gejala
Menurut Johanna Ernawati, gejala dari penyakit tersebut berupa pelemahan otot dan kelumpuhan yang berwujud pada kecacatan dalam menggerakkan tangan, kaki, menelan, berbicara, dan bernafas.
Sel-sel saraf motor ini mengendalikan otot yang membuat seseorang dapat bergerak, berbicara, menelan, bahkan yang paling krusial bernafas.
"Tanpa diaktifasi oleh saraf, otot-otot ini melemah dan berangsur habis," katanya.
Pada umumnya kemampuan mengindera, intelektual, dan daya ingat tidak terpengaruh.
Penyakit ALS melumpuhkan fisik pasien sementara otak pasien tetap bisa jernih berpikir dan bekerja. Akibatnya, pemikiran pasien seperti terpenjara di dalam kelumpuhan bicara dan gerak anggota tubuhnya.
"Menjadi kepedulian kita sebagai masyarakat, keluarga, dan perawat pasien untuk memberikan kualitas hidup yang sebaik mungkin agar pasien ALS tetap dapat hidup dalam martabat luhur, berkontribusi sesuasi potensi dan kompetensinya," katanya.
Hanya, disayangkan biaya untuk mempertahankan kualitas hidup pasien ALS sangat mahal, karena selain belum ditemukannya obat untuk penyakit ALS, cepatnya "progress" penyakit juga mengharuskan adaptasi yang terus menerus dan kebutuhan bantuan yang terus meningkat menyesuaikan dengan pertambahan tingkat disabilitas pasien.
Johanna Ernawati menjelaskan pula bahwa penyakit ALS dapat menyerang kelompok usia anak-anak, usia produktif, dan usia lanjut.
Penyakit ini menyebabkan dampak yang bervariasi pada pasien, namun semua dampak ini amat memukul pasien, dan juga keluarga, para perawat, serta orang-orang dekat lainnya mengingat pasien ALS hanya memiliki rentang waktu hidup yang terbatas, yaitu sekitar tiga hingga lima tahun.
Namun, daya tahan seseorang terhadap penyakit ALS jika didukung prasarana penunjang kualitas hidup yang memadai, juga dapat menakjubkan.
Hal itu sebagaimana yang ditunjukkan ilmuwan Stephen Hawking yang menderita ALS sejak kecil.
Dijelaskannya lagi bahwa melalui pelayanan BPJS, seorang pasien ALS dapat memperoleh fasilitas diagnostik, namun tidak termasuk prasarana untuk menunjang kualitas hidup selama sakit.
"Padahal prasarana penunjang kualitas hidup inilah yang membebani dan dapat memperburuk kualitas hidup seorang pasien ALS," katanya.
Ia memberi contoh, misalnya seorang pasien memerlukan tabung oksigen dan ventilator pernapasan untuk alat bantu pernapasan atau seorang pasien ALS membutuhkan formula air minum khusus untuk membantu asupan air ke tubuh.
Asosiasi ALS Indonesia menyatakan dengan mengasumsikan jumlah penduduk Indonesia berusia di atas 50 tahun adalah 15 persen dari populasi total sekitar 260 juta sekarang, dan dengan prevalensi enam pasien per 100 ribu orang, dapat diestimasi ada sekitar 2.500 orang penderita ALS/MND di Indonesia pada 2015 ini.
"Sayangnya, informasi tentang keberadaan dan bagaimana kondisi pasien ALS tidak diketahui, mengingat penyakit ALS masih amat sedikit dipahami dan minimnya bantuan perawatan medis pasca-diagnosa," demikian Johana Ernawati.`
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2015
"Informasi tersebut dalam Bahasa Indonesia hampir tidak ada, dan ini berkorelasi ketat dengan rendahnya pemahaman masyarakat kita tentang penyakit ini," katanya seperti disampaikan Communication & Media Relationship Asosiasi ALS Indonesia Johanna Ernawati kepada Antara di Jakarta, Rabu.
RS itu bersama Asosiasi ALS Indonesia sepanjang Juni 2015 mengusung kampanye untuk mengajak masyarakat Indonesia mengenal sebuah penyakit baru yang patut dikenali dan diwaspadai masyarakat Indonesia, yakni ALS atau disebut juga Motor Neuron Disease (MND).
ALS atau MND dikenal sebagai sebuah penyakit degeneratif yang melumpuhkan fisik pasien, sementara otak pasien tetap bisa jernih berpikir dan bekerja.
"Penyakit ALS/MND menyebabkan sel-sel syaraf (neurons) pengendali gerak otot mengalami degenerasi terlalu cepat dan mati," katanya.
Ia menjelaskan, karena informasi dan rujukan tertulis mengenai penyakit ALS/MND dalam Bahasa Indonesia hampir tidak ada, maka keluarga pasien ALS sering mengalami kebingungan saat anggota keluarga didiagnosa menderita ALS.
"Apalagi di Indonesia, masih sedikit dokter yang mengenali gejala penyakit ALS," katanya menegaskan.
Berkaitan dengan kondisi tersebut, maka Asosiasi ALS Indonesia berusaha menjadi sistem dukungan bagi pasien ALS, keluarga pasien ALS, dan dokter di Indonesia.
Ia mengatakan, keluarga dan pasien ALS dapat berkomunikasi melalui Asosiasi ALS Indonesia untuk memperoleh informasi mengenai penyakit ALS.
Di masa mendatang, kata dia, Asosiasi ALS Indonesia mengharapkan dapat mendorong tumbuhnya lingkungan sosial dan medis yang kondusif bagi pasien ALS di Indonesia.
Terkait ikhtiar Asosiasi ALS Indonesia mencanangkan bulan Juni sebagai "Bulan ALS Awareness Indonesia", maka kedua belah pihak menggagas seminar bagi publik dan media massa dengan tema "Mengenal Penyakit ALS dan Bagaimana Menjaga Kualitas Hidup Pasien ALS", yang dijadwalkan pada Sabtu (6/6) di RS Mayapada, Lebak Bulus, Cilandak, Jakarta Selatan, pada pukul 09.00 WIB hingga 13.00 WIB.
"Besar harapan kami media turut berpartisipasi untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat Indonesia tentang keberadaan penyakit ALS ini, dan mendukung tumbuhnya lingkungan sosial dan medis yang kondusif bagi pasien ALS di Indonesia," katanya.
Gejala
Menurut Johanna Ernawati, gejala dari penyakit tersebut berupa pelemahan otot dan kelumpuhan yang berwujud pada kecacatan dalam menggerakkan tangan, kaki, menelan, berbicara, dan bernafas.
Sel-sel saraf motor ini mengendalikan otot yang membuat seseorang dapat bergerak, berbicara, menelan, bahkan yang paling krusial bernafas.
"Tanpa diaktifasi oleh saraf, otot-otot ini melemah dan berangsur habis," katanya.
Pada umumnya kemampuan mengindera, intelektual, dan daya ingat tidak terpengaruh.
Penyakit ALS melumpuhkan fisik pasien sementara otak pasien tetap bisa jernih berpikir dan bekerja. Akibatnya, pemikiran pasien seperti terpenjara di dalam kelumpuhan bicara dan gerak anggota tubuhnya.
"Menjadi kepedulian kita sebagai masyarakat, keluarga, dan perawat pasien untuk memberikan kualitas hidup yang sebaik mungkin agar pasien ALS tetap dapat hidup dalam martabat luhur, berkontribusi sesuasi potensi dan kompetensinya," katanya.
Hanya, disayangkan biaya untuk mempertahankan kualitas hidup pasien ALS sangat mahal, karena selain belum ditemukannya obat untuk penyakit ALS, cepatnya "progress" penyakit juga mengharuskan adaptasi yang terus menerus dan kebutuhan bantuan yang terus meningkat menyesuaikan dengan pertambahan tingkat disabilitas pasien.
Johanna Ernawati menjelaskan pula bahwa penyakit ALS dapat menyerang kelompok usia anak-anak, usia produktif, dan usia lanjut.
Penyakit ini menyebabkan dampak yang bervariasi pada pasien, namun semua dampak ini amat memukul pasien, dan juga keluarga, para perawat, serta orang-orang dekat lainnya mengingat pasien ALS hanya memiliki rentang waktu hidup yang terbatas, yaitu sekitar tiga hingga lima tahun.
Namun, daya tahan seseorang terhadap penyakit ALS jika didukung prasarana penunjang kualitas hidup yang memadai, juga dapat menakjubkan.
Hal itu sebagaimana yang ditunjukkan ilmuwan Stephen Hawking yang menderita ALS sejak kecil.
Dijelaskannya lagi bahwa melalui pelayanan BPJS, seorang pasien ALS dapat memperoleh fasilitas diagnostik, namun tidak termasuk prasarana untuk menunjang kualitas hidup selama sakit.
"Padahal prasarana penunjang kualitas hidup inilah yang membebani dan dapat memperburuk kualitas hidup seorang pasien ALS," katanya.
Ia memberi contoh, misalnya seorang pasien memerlukan tabung oksigen dan ventilator pernapasan untuk alat bantu pernapasan atau seorang pasien ALS membutuhkan formula air minum khusus untuk membantu asupan air ke tubuh.
Asosiasi ALS Indonesia menyatakan dengan mengasumsikan jumlah penduduk Indonesia berusia di atas 50 tahun adalah 15 persen dari populasi total sekitar 260 juta sekarang, dan dengan prevalensi enam pasien per 100 ribu orang, dapat diestimasi ada sekitar 2.500 orang penderita ALS/MND di Indonesia pada 2015 ini.
"Sayangnya, informasi tentang keberadaan dan bagaimana kondisi pasien ALS tidak diketahui, mengingat penyakit ALS masih amat sedikit dipahami dan minimnya bantuan perawatan medis pasca-diagnosa," demikian Johana Ernawati.`
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2015