Jakarta (Antara Megapolitan) - Tiga sentra usaha kecil menengah (UKM) industri mebel dan kerajinan kayu di Jepara, Pasuruan dan Bali mendapat bantuan dari asosiasi permebelan dan Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) untuk dapat meraih sertifikat SVLK secara berkelompok.

"Fasilitasi berupa persiapan 'assessment' Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK), konsultasi sampai perolehan sertifikat SVLK kelompok," kata Wakil Ketua Umum Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia (Asmindo) Rudy T Luwia melalui penjelasan yang disampaikan di Jakarta, Selasa.

Program bantuan dari  kerja sama antara Asmindo dan  Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (Food and Agriculture Organization/FAO) itu, katanya, didukung oleh Komisi Uni Eropa  melalui program Forest Law
Enforcement, Governance and Trade (FLEGT), yang memfasilitasi usaha kecil menengah (UKM) mebel dan kerajinan di tiga sentra industri itu.

Ia menjelaskan di Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, telah dibentuk dua Kelompok Usaha Bersama (KUB), yaitu KUB Jepara Kota Ukir dan KUB Jepara Sentra Furniture, di mana keduanya telah mendapatkan  sertifikat SVLK, masing-masing dari lembaga sertifikasi PT Sarbi International Certification dan PT SCS Indonesia.

Sedangkan di Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, dibentuk KUB Pasuruan Incorporated, yang akan melakukan proses audit pada tanggal 4 Juni 2015.

Sementara itu untuk di Bali terbentuk KUB Bali Pavilion, yang saat ini masih dalam proses pendampingan dan rencananya akan melakukan audit pada pertengahan Juni 2015.

Ia mengemukakan bahwa kerja sama Asmindo-FAO dan Uni Eropa membantu UKM produsen produk mebel dan kerajinan bertujuan untuk berbisnis secara berkelanjutan/lestari dan bertanggung jawab.

Pembuktian legalitas kayu, kata dia, pada dasarnya adalah salah satu jalan untukmeningkatkan daya saing industri kayu Indonesia, khususnya di pasar internasional seperti Eropa, Amerika Serikat dan Australia.  

"Asmindo dengan bantuan dari FAO dan Uni Eropa mendukung pelaksanaan SVLK di dunia usaha, khususnya industri mebel dan kerajinan Indonesia dengan tujuan untuk menciptakan pola praktik usaha berkelanjutan," kata Rudy T Luwia.

Untuk itu, katanya, Asmindo dan FAO mendukung serta memfasilitasi anggota untuk memperoleh dan menerapkan peraturan legalitas kayu (SVLK).  

Sementara itu, Koordinator Program Asmindo-FAO FLEGT Indrawan menjelaskan bahwa program dengan judul "Bridging TLAS to the Small Furniture Industry in Indonesia" itu dilaksanakan setahun dan akan berakhir pada Juli 2015.          

Salah satu kegiatan yang dilaksanakan, kata dia, adalah membantu industri kecil mebel dan kerajinan untuk memperoleh sertifikat SVLK melalui skema sertifikasi kelompok yang dilaksanakan di Jepara, Pasuruan dan Bali.  

Menurut dia fasilitasi dan pelatihan dilakukan terhadap anggota Asmindo dalam rangka meningkatkan pengetahuan mengenai peraturan dan legalitas yang diterapkan dalam dunia perdagangan kayu.

Selain itu, sebagai bentuk penyampaian informasi berkaitan dengan regulasi perdagangan dunia diadakan dialog atau diskusi yang melibatkan sektor pemerintahan terkait dalam memfasilitasi/ menginformasikan adanya  perubahan dalam praktik pengadaan, pengembangan kemitraan dengan pengusaha.

Upaya perbaikan

Ia mengatakan meskipun masih banyak kendala dalam penerapan standar SVLK pada saat ini --utamanya di kalangan industri kecil -- pemerintah Indonesia dan seluruh pemangku kepentingan secara terus menerus melakukan upaya perbaikan.

"Baik terhadap standar maupun pelaksanaan di lapangan," katanya.

Asmindo dan FAO bekerja bersama-sama untuk memastikan bahwa SVLK dapat diadopsi sebagai salah satu standar legalitas kayu yang dapat diterapkan bahkan di usaha industri kayu yang paling sederhana.

Berdasarkan data Sistem Informasi Legalitas Kayu (SILK) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, kata dia, sampai saat ini telah terdaftar pemegang sertifikat legalitas kayu sebanyak 1.028 perusahaan kehutanan, termasuk di dalamnya adalah industri mebel dan kerajinan yang sudah mendapatan SVLK sebanyak 382 perusahaan, dari total sekitar 850 perusahaan pemegang Eksportir Terdaftar Produk Industri Kehutanan (ETPIK) untuk produk mebel dan kerajinan kayu.

Ia mengatakan kebijakan "Deklarasi Ekspor" bagi UKM mebel dan kerajinan yang dikeluarkan Kemendag sebagai pengganti dokumen "V-Legal" akan berakhir pada Desember 2015.

Oleh karena itu, Asmindo bekerja sama dengan berbagai pihak, mendorong seluruh anggotanya untuk segera mendapatkan SVLK.

Ia memberi contoh bahwa di tingkat Komisariat Daerah (Komda) Asmindo membentuk ACC (Asmindo Consulting Care) untuk memberikan pendampingan kepada para anggota dalam mendapatkan SVLK.

Hingga kini, kata dia, dari total jumlah anggota Asmindo sebanyak 2.741 perusahaan, yang aktif melakukan ekspor sekitar 800 perusahaan dan baru sekitar 30 persen di antaranya  yang telah mendapatkan SVLK.

"Jadi, dukungan dari berbagai pihak masih sangat dibutuhkan dalam melakukan proses percepatan SVLK, khususnya untuk para UKM," katanya.

Ia mengakui kendala utama yang dihadapi para UKM mebel dan kerajinan dalam mendapatkan SVLK adalah mahalnya biaya pengurusan legalitas perusahaan, seperti izin gangguan (HO), Izin Usaha Industri (IUI) atau Tanda Daftar Industri (TDI), dokumen lingkungan (UPL/UKL), dan lainnya.

Perizinan-perizinan tersebut merupakan kebijakan pemerintah daerah di tingkat kabupaten, sehingga koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah sangat dibutuhkan.

"Masih perlu dilakukan sosialisasi dan sinergi antara kementerian dengan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) terkait dalam percepatan proses pengurusan legalitas perusahaan," katanya.

Ia memaparkan sektor industri mebel dan kerajinan memberikan kontribusi yang cukup signifikan terhadap perolehan devisa negara.

Tercatat pada periode tiga tahun terakhir yaitu periode 2012-2014 nilai ekspor mebel Indonesia relatif stabil yaitu di kisaran angka 1,8 miliar dolar AS per tahunnya.

Sedangkan untuk  kerajinan sekitar 800 juta dolar AS dengan negara tujuan  ekspor utama adalah negara Eropa, seperti Jerman, Belanda, Inggris, Prancis, Belgia dan Italia  yang mencapai sekitar 40 persen.

Kemudian, Amerika Serikat (29 persen), Jepang (12 persen), Australia (5 persen), dan negara lainnya di bawah itu.  

Indrawan menambahkan SVLK merupakan inisiatif pemerintah Indonesia untuk mengatasi pembalakan liar dan mempromosikan produk kayu legal di Indonesia.

Sistem ini bertujuan untuk memastikan bahwa kayu dan produk kayu yang diproduksi di Indonesia berasal dari sumber-sumber legal yang dapat diverifikasi.

SVLK diterapkan melalui mekanisme sertifikasi oleh pihak independen yaitu Lembaga Verifikasi Legalitas Kayu (LVLK) yang telah terakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN).

Indonesia dan Uni-Eropa pada 30 September 2013 menandatangani perjanjian Voluntary Partnership Agreement (VPA) untuk menyepakati skema ekspor perusahaan produsen dari Indonesia yang telah bersertifikat SVLK agar dapat masuk pasar Eropa tanpa uji tuntas (due dilligence) atau pemeriksaan lanjutan oleh pihak ketiga.

Uni Eropa sendiri telah menerapkan European Union Timber Regulation (EUTR) sebagai regulasi legalitas pembelian kayu dari luar negara-negara kawasan itu.

Pewarta: Andi Jauhari

Editor : M. Tohamaksun


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2015