Jakarta (Antara-Megapolitan-Bogor) - Aksi pembegalan yang selama ini terjadi di jalan raya, kini mulai memasuki babak baru dengan adanya kasus serupa di laut.

Selama ini publik lebih mengenal kejahatan di tengah laut dengan sebutan perompak. Istilah begal tampaknya juga sepadan untuk menyebut aksi kejahatan di lautan itu karena sama-sama bertujuan merampas dan merampok harta atau aset orang di tengah perjalanan.

Yang lebih mengerikan dan menyeramkan adalah asal kawanan begal itu yang berasal dari negara lain. Mereka sebelumnya adalah penjahat di tengah masyarakat, kemudian merambah wilayah lautan.

Mereka beroperasi di wilayah Indonesia dengan kapal-kapal nelayan. Untuk mengelabui petugas, kapal mereka pun diberi label atau nama yang seolah-olah milik orang Indonesia.

Maraknya aksi begal di laut kini menjadi tantangan baru bagi nelayan-nelayan Indonesia. Di tengah seringnya terjadi cuaca ekstrem yang mengganggu aktivitas penangkapan ikan, saat ini mereka harus berhadapan dengan para begal.

Nelayan pun menyandarkan harapan yang sangat besar kepada aparat penegak hukum di lautan dan instansi terkait untuk memberantas begal di lautan.

Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Asep Burhanudin mengungkapkan sebanyak 70 persen anak buah kapal (ABK) ilegal dari kapal nelayan asing di Indonesia merupakan residivis di negaranya masing-masing.

"Orang-orang tersebut memang kebanyakan mantan narapidana setelah ditelusuri asal usulnya di negara masing-masing," kata Asep Burhani usai meninjau lokasi penangkapan kapal asing di perairan Batam, pekan lalu.

Selain menangkap ikan secara ilegal, mereka juga sering mengancam dan meneror nelayan-nelayan lokal. Mereka bahkan berani mengancam nelayan Indonesia, terkadang juga membajak hasil tangkapan para nelayan lokal.

Untuk menghadapi kawanan penjahat dari kapal-kapal nelayan asing, nelayan lokal diminta berkelompok ketika mencari ikan di perairan lepas supaya bisa saling membantu.

Kewaspadaan dan kehati-hatian tinggi harus mereka miliki, terutama nelayan Indonesia yang beraktivitas di dekat perbatasan dengan negara lain. Misalnya, di Natuna, Anambas, dan Maluku.

Nelayan di perairan perbatasan diimbau agar berkelompok saat melaut untuk menghindari kemungkinan pengejaran oleh nelayan asing ilegal. Mereka ditengarai mengumbar marahnya atas peledakan sejumlah kapal nelayan oleh aparat Indonesia.

Nelayan asing marah dan sakit hati atas peledakan kapal nelayan ilegal oleh pemerintah Indonesia, beberapa waktu lalu. Mereka melampiaskan kemarahan dengan mengejar kapal-kapal nelayan Indonesia meski melaut di daerah sendiri.

Kasus pengejaran oleh nelayan-nelayan asing ilegal terhadap nelayan Indonesia sering terjadi di perairan Natuna dan Anambas yang masuk Provinsi Kepulauan Riau (Kepri).

Kapal-kapal nelayan asing ilegal dengan ukuran lebih besar dan dalam jumlah banyak mengejar bahkan menabrak kapal-kapal nelayan lokal yang berukuran lebih kecil.

Meski hingga saat ini belum ada laporan korban jiwa, hal tersebut tampaknya perlu diwaspadai oleh nelayan-nelayan lokal.

"Untuk menghindari kejadian yang tidak diinginkan, sebaiknya nelayan Indonesia bergerombol saat melaut. Dengan cara itu, diharapkan nelayan asing ilegal tidak berani mengejar," kata Asep.

Ia juga mengimbau masyarakat atau nelayan Indonesia melaporkan ke petugas jika melihat kapal asing beroperasi dan mengancam keselamatan mereka selama di laut.

"Petugas kami dan lembaga lain yang bertugas di laut akan selalu siap untuk membantu dan menindaklanjuti setiap laporan, apalagi sebagian besar nelayan ilegal asing yang beroperasi di perairan Indonesia adalah residivis," kata dia.

Upaya agar tidak ada lagi nelayan asing mengambil ikan di perairan Indonesia, menurut dia, tidak akan berhasil tanpa dukungan seluruh masyakarat.

Pada bulan Maret 2015 terdapat 27 kapal yang diamankan. Seluruhnya diproses dan akan ditenggelamkan jika sudah ada ketetapan hukum. Penenggelaman akan terus dilakukan terhadap kapal-kapal nelayan asing ilegal.

"Dari sejumlah patroli dan peledakan yang dilakukan sudah mampu menurunkan jumlah kapal asing di perairan Indonesia," kata Asep.

Berdasarkan informasi terkini, jumlah kapal ilegal yang beroperasi di Indonesia, khususnya wilayah Natuna, berkurang dari ribuan menjadi hanya sekitar 100 unit.

Sebelumnya, kata Bupati Natuna Ilyas Sabli, jika malam tidak tampak lagi lampu-lampu nelayan asing yang beroperasi di kawasan Natuna.

"Dahulu, kalau malam, seperti ada kota di tengah laut. Itu adalah lampu kapal-kapal asing ilegal. Saat ini tidak ada lagi," kata dia.

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui Kapal Pengawas (KP) Perikanan, pekan lalu, telah menangkap tiga kapal asing ilegal di perairan Provinsi Kepulauan Riau. "Kami menangkap tiga kapal tersebut pada minggu kedua Maret 2015 dalam operasi pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan," katanya.

Negara-negara asal kapal yang ditangkap, yaitu satu kapal asal Thailand, dua lainnya berasal dari negara Vietnam yang ditangkap pada waktu berbeda.

Kapal dari Thailand bernama KM Sudita ditangkap pada tanggal 7 Maret sekitar pukul 17.15 WIB di perairan teritorial Laut Anambas, Kepulauan Riau, dengan barang bukti ikan sebanyak 800 kilogram ikan campuran dan membawa 13 warga negara asing (Thailand).

Kemudian, tiga hari berikutnya, 10 Maret 2015, KP Hiu Macan Tutul 002 menangkap dua kapal asal Vietnam, yaitu KM Seroja dengan 15 warga Vietnam dan KM Serasi dengan membawa 15 warga negara tersebut.

Para nelayan beserta barang bukti didakwa telah melanggar Pasal 92 juncto Pasal 26 Ayat (1), Pasal 93 Ayat (1) jo Pasal 27 Ayat (1), Pasal 98 jo Pasal 42 Ayat (3), Pasal 85 jo Pasal 9 Ayat (1) UU Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas UU RI Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan dengan ancaman pidana penjara paling lama enam tahun serta denda paling banyak Rp20 miliar.

Publik percaya bahwa upaya yang dilakukan aparat pemerintah akan mampu menciptakan rasa aman bagi nelayan dalam menjalani aktivitas menangkap ikan sesuai dengan tugas utamanya "melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia".

Pewarta: Sri Muryono

Editor : M. Tohamaksun


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2015