Jakarta (Antara-Megapolitan-Bogor) - Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) tidak bisa diatur menggunakan Peraturan Presiden karena bukan merupakan instrumen hukum mandiri, kata pakar hukum dari Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, Ridwan.

"Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara seharusnya diatur dengan undang-undang sesuai dengan rumusan Pasal 23A UUD 1945," ujar Ridwan dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi Jakarta, Kamis (5/3).

Ridwan merupakan ahli Pemohon dari uji materi UU Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Migas).

Ridwan kemudian menjelaskan bahwa pajak dan pungutan untuk keperluan negara pada hakikatnya merupakan pemindahan hak milik pribadi kepada negara atau peralihan kekayaan dari sektor swasta ke publik.

"Oleh sebab itu harus diatur oleh Undang Undang," tegas dia.

Ridwan kemudian menanggapi soal Pasal 48 ayat (2) UU Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas bahwa ketentuan dalam pasal tersebut menimbulkan konsekuensi yuridis berupa ketidakpastian hukum.

Dia berpendapat bahwa peraturan BPH Migas tergolong peraturan perundang-undangan, namun ketika sudah menyangkut pembebanan terhadap warga negara dan peralihan hak milik dari sektor swasta ke publik seharusnya diatur dalam undang-undang.  

Permohonan pengujian atas UU a quo ini diminta oleh PT. Gresik Migas yang menilai UU PNBP bertentangan Pasal 23A dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945.

Akibat ketentuan dalam UU a quo, Pemerintah menerbitkan PP yang mewajibkan Pemohon membayar sejumlah iuran setiap bulannya kepada BPH Migas.

Sementara Pasal 48 ayat (2) UU Migas dianggap oleh Pemohon bersifat multi interpretatif sehingga melanggar asas kejelasan rumus dalam pembentukan peraturan perundang-undangan dan bertentangan dengan Pasal 23A, Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945.

Pewarta: Maria Rosari

Editor : M. Tohamaksun


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2015