Sejak berabad-abad silam masyarakat Bekasi, Jawa Barat, merupakan komunitas Betawi Islam yang terbuka dan menjunjung tinggi semangat toleransi bermasyarakat.

Sikap tersebut ditunjukkan dengan situasi harmonis masyarakat di tengah kehadiran kaum pendatang dari berbagai suku dan etnis dengan latar belakang agama yang beragam.

"Buktinya ada banyak tempat ibadah yang berdiri di Bekasi, seperti masjid, gereja, vihara, kelenteng, dan pura," kata anggota Dewan Adat Badan Kekeluargaan Masyarakat Bekasi (BKMB) Bhagasasi Bekasi Muhtadi Muchtar.

Masyarakat setempat akan menerima dengan hormat kaum pendatang yang menerapkan keyakinannya tanpa mengesampingkan budaya Bekasi.

"Bahkan, di Kampung Sawah, Kecamatan Jatisampurna, Kota Bekasi, umat Kristen dan Islam hingga saat ini amat erat dalam menjaga adat," katanya.

Namun, bagi mereka yang menerapkan keyakinan dengan mengabaikan budaya serta tanpa kompromi, akan ditentang.

Ia mengibaratkan saat semua orang tengah menikmati permainan musik topeng Bekasi yang energik tiba-tiba gendangnya dimainkan oleh tukang gendang yang baru dengan irama berbeda.

"Tentu saja, para penonton terusik, dan beberapa marah," kata Muhtadi.

Tokoh Budayawan Bekasi Ali Anwar menilai konflik horizontal yang berlatar belakang masalah budaya, etnis, maupun agama di Bekasi mayoritas dipicu oleh etika bermasyarakat yang tidak baik.

"Oleh karena itu, mari kita belajar dari sejarah dan gunakan falsafah di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung," katanya.

Keyakinan masyarakat Bekasi pada agama Islam tidak lepas dari ajaran yang disebarkan tokoh ulama Kiai Haji Noer Alie, Mochtar Tabrani, dan sejumlah tokoh besar lainnya saat masa penjajahan di Bekasi.

"Mereka mengubah kebiasaan warga Bekasi yang semula mistik menjadi percaya pada agama," katanya.

Pesatnya pertumbuhan penduduk serta roda perekonomian, perlahan mengubah karakteristik warga Bekasi menjadi masyarakat modern di tengah keberagaman masyarakat.

Ia berpesan kepada pemerintah untuk melakukan pembinaan terhadap generasi muda agar memiliki perilaku sopan santun terhadap budaya daerah.

"Misalnya, perbanyak kegiatan diskusi antarpelajar. Ajarkan mereka etika bermasyarakat sejak dini agar saat memiliki peran di tengah masyarakat hal tersebut tidak terlambat," katanya.

Dekan Fakultas Komunikasi Sastra dan Bahasa Universitas Islam `45 (Unisma) Bekasi Andi Sopandi mengatakan bahwa Kota Bekasi sebagai daerah urban dengan jumlah penduduk sekitar 2,5 juta jiwa tingkat permasalahannya sangat kompleks.

"Di satu sisi keberagaman menjadikan penduduk makin memperkuat integrasi. Akan tetapi, di sisi lainnya keberagamaan disikapi dengan penuh kecurigaan yang berpotensi menimbulkan konflik horizontal," katanya.

Andi membagi kehidupan keagamaan di Kota Bekasi menjadi empat karakteristik berdasarkan tinjauan sosiologis, yakni wilayah perkampungan, pusat kegiatan ekonomi atau bisnis, dan perumahan, sertas perpaduan antara perkampungan dan pusat bisnis.

"Pada masyarakat perkampungan, potensi konflik justru lebih tinggi terjadi dalam menyikapi masuknya pengaruh lain. Akan tetapi, pemberontakan masih dapat diredam karena otoritas keagamaan dan juga ketokohan yang berlatar belakang sejarah," katanya.

Namun, bagi masyarakat yang berdomisili di pusat bisnis dan perkotaan, kata dia, cenderung lebih dapat menerima perbedaan dan menjunjung tinggi hukum.


Redam Potensi Konflik

Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Bekasi Abdul Manan sepakat dengan hal tersebut.

Peran tokoh dari masing-masing agama cukup efektif dalam mengatasi potensi konflik di Kota Bekasi yang kini berjuluk sebagai Kota Patriot itu.

"Oleh karena itu FKUB rutin mengadakan pertemuan dengan tokoh-tokoh dari tiap-tiap agama untuk selalu menyegarkan semangat menjaga kerukunan untuk kemudian ditularkan juga kepada umat," katanya.

Selain itu, FKUB juga akan turun langsung ke tengah masyarakat untuk menggelar sosialisasi kerukunan umat beragama hingga ke tingkat rukun warga (RW).

"Dengan kunjungan langsung seperti ini, mudah-mudahan warga bisa mendapatkan pemahaman langsung untuk mewujudkan norma-norma menghormati dan bertenggang rasa dalam kehidupan bermasyarakat," katanya.

Manan memetakan sejumlah potensi konflik yang cukup dominan terjadi di Kota Bekasi, salah satunya adalah pendirian rumah ibadah.

"Konflik antarumat beragama di Kota Bekasi mayoritas karena persoalan rumah ibadah. Penduduk Kota Bekasi saat ini mencapai 2,6 juta, sementara lahannya makin sempit," katanya.

Pertumbuhan penduduk di wilayah setempat juga berkolerasi dengan kebutuhan tempat ibadah bagi masing-masing penganut agama.

"Kerukunan adalah syarat utama kehidupan bermasyarakat dan bernegara demi kelancaran pembangunan," katanya.

Pemerintah Kota Bekasi terus berupaya menengahi persoalan konflik pendirian tempat ibadah mulai dari mediasi musyawarah hingga menempuh jalur hukum.

Pewarta: Andi Firdaus

Editor : Naryo


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2015