(13 Juli 2020) - Beberapa pemerintah daerah di Indonesia telah melarang masyarakatnya untuk menggunaan kantong plastik sekali pakai (kantong kresek) di tempat-tempat perbelanjaan seperti toko, swalayan, dan pasar rakyat. Alasannya, kantong kresek itu merupakan sampah yang jumlahnya sangat signifikan kontribusinya di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah. Benarkah pelarangan ini bisa mengatasi permasalahan sampah plastik di Indonesia? Benarkah kresek ini menjadi penyumbang terbesar di TPA?.

Berdasarkan audit merek yang dilakukan lembaga pemerhati lingkungan, Greenpeace Indonesia, pada tahun 2019, salah satu penyumbang sampah terbesar di Indonesia adalah sampah plastik dari industri makanan dan minuman. Banyaknya temuan sampah-sampah plastik itu salah satunya dikarenakan masih kurangnya kesadaran masyarakat untuk memilah sampah plastik, terlebih bagi para produsen yang kini justru gencar menjual produk dalam kemasan ekonomis seperti kemasan sachet.

“Ketika industri terus bertumbuh, volume sampah plastik pun akan meningkat, karena industri masih mengandalkan plastik sekali pakai sebagai kemasan,” ujar Muharram Atha Rasyadi, Juru kampanye Urban Greenpeace Indonesia.

Secara nasional, hasil audit  Greenpeace itu menunjukkan bahwa penyumbang sampah plastik terbanyak yaitu Indofood dengan 724 item sampah, yang disusul Orang Tua dengan 209 item, Mayora dengan 286 item, dan JS dengan 222 item. Jadi dari temuan ini, jelas bahwa kantong kresek bukan menjadi sumber utama dari melimpahnya timbulan sampah plastik di TPA-TPA ini.

Dari temuan Greenpeace ini, seharusnya para pemerintah daerah itu bukan hanya melarang penggunaan kantong kresek saja melainkan juga kemasan-kemasan berbahan plastik sachet, botol-botol shampo, sabun mandi cair, deterjen, dan bungkus-bungkus mie instan. Ini jelas menjadi pertanyaan.   

Karenanya, Direktur Eksekutif  Federasi Pengemasan Indonesia, Hengky Wibawa, menilai pelarangan penggunaan kantong plastik sekali pakai untuk mengatasi permasalahan sampah plastik ini  kurang tepat. Menurutnya, pelarangan itu hanya bersifat sementara dan tidak menyelesaikan persoalan limbah sampah plastik yang ada saat ini.
"Pelarangan kantong plastik itu bukan solusi, pelarangan itu sifatnya hanya sementara. Seharusnya kita mencari solusi dengan berkolaborasi. Kalau pelarangan itu menurut saya karena panik saja," ujarnya. 

Dia pun menyarankan bahwa yang perlu dilakukan sebenarnya adalah pembuatan Tempat Penampungan Sementara Terpilah (TPST) yang tidak hanya memilah jenis sampah dari rumah, tapi pengangkutan sampahnya juga sudah dilakukan secara terpilah sesuai jenis sampahnya.

Jadi sebenarnya langkah yang paling baik dan berkelanjutan dalam menangani masalah sampah plastik ini adalah edukasi yang terus menerus dilakukan kepada masyarakat agar bijak berplastik, mulai dari mengkonsumsi plastik sesuai kebutuhan (reduce), memilah-milah sampahnya dari rumah agar bisa di daur ulang (recycle) dan terakhir mengguna plastik-plastik yang masih bisa digunakan kembali (reuse). Nyatanya, Surabaya bisa melakukannya. 

Surabaya menjadi salah satu kota di Indonesia yang dinilai mampu mengelola sampah dengan baik, melalui program 3R (reduce, reuse, recycle). Tidak hanya itu, Program 3R dinilai telah menjadi landasan upaya pengelolaan sampah secara mandiri oleh masyarakat di sana dalam rangka mengurangi sampah dan mengambil nilai ekonomis dari sampah.

Bahkan, dengan keberhasilan masyarakatnya  mengelola sampah dengan baik, Surabaya bisa menjadi menjadi role model negara-negara di Asia Pasifik

Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini mengungkapkan kunci sukses keberhasilan pengolahan sampah di Kota Surabaya ini terletak pada peran serta aktif masyarakat beserta seluruh elemen yang ada. Keterlibatan semua pihak dalam upaya mengurangi sampah, menjadikan program 3 R dapat berjalan dengan baik.

Kalau Surabaya bisa berhasil melakukan edukasi mengenai pengelolaan sampah yang baik ini kepada masyarakatnya, seharusnya daerah-daerah lain di Indonesia juga bisa mencontohnya. Jangan terlalu cepat mengeluarkan kebijakan pelarangan yang sifatnya mungkin hanya sementara saja. Ingat saat ini sektor industri daur ulang mampu menyerap lebih kurang 4 juta lapangan kerja.

Perlu Tiru Negara Lain

Indonesia perlu mencontoh negara-negara lain dalam menerapkan bijak berplastik.  Di Jepang misalnya, kita jarang menemukan sampah berserakan di jalanan. Itu karena setiap rumah tangga di Jepang tidak bisa begitu saja memasukkan semua sampah ke dalam satu kantong. Sampah-sampah mereka harus dimasukkan ke dalam kantong terpisah. 

Begitu juga di negara Jerman, di setiap rumah tersedia empat macam tempat sampah sesuai fungsinya. Kalau ada kesalahan, sampah tersebut bahkan tidak akan diambil oleh petugas, dan pemilik sampah akan mendapatkan surat teguran dari pemerintah. 

Pemerintah Swedia juga menyediakan fasilitas dan memberikan insentif kepada masyarakat untuk memilah-milah sampah sesuai jenisnya. Di tempat sampah umum juga dikelompokan sesuai jenisnya yaitu sampah organik, plastik, kertas, kaca, dan logam.

Warga Korea Selatan juga memiliki cara membuang sampah yang termasuk unik. Mereka memiliki kantong kresek khusus untuk sampah. Setiap kantong punya warna berbeda untuk membedakan jenis sampah yang dibuang. Selain itu sudah tertera informasi mengenai wilayah di mana Anda tinggal. Jadi kalau membuang sampah sembarangan sudah pasti dapat dilacak keberadaannya.

Kalau di Inggris, setiap rumah diberikan tiga buah tempat sampah ukuran sedang dan dengan warna yang berbeda pula. Ada warna hijau,cokelat dan biru tua. Ditutup masing-masing kotak sampah ini memiliki informasi sampah apa saja yang harus dimasukkan.

Jadi kunci keberhasilan pengelolaan sampah di negara-negara itu adalah adanya edukasi dan keseriusan dalam menjalankan pengelolaan sampah dengan baik. Justru yang menjadi pertanyaan adalah, jika mereka bisa, kenapa Indonesia tidak bisa? Seharusnya Indonesia kan bisa mencontohnya. 

Peran Industri  

Selain masyarakat, industri yang memproduksi produk-produk kemasan plastik juga harus ikut berperan dalam pengurangan hadirnya sampah plastik ini. Salah satu yang sudah berperan untuk itu adalah Danone-Aqua dengan meluncurkan gerakan #BijakBerplastik. Gerakan yang sudah dimulai sejak tahun 2018 ini aktif menyebarkan pemahaman mengenai pengelolaan sampah plastik yang baik melalui pengumpulan sampah, edukasi 3R (reduce, reuse, recycle), dan inovasi kemasan produk.

Melalui gerakan ini Danone-Aqua mengingatkan masyarakat dan pemangku kepentingan soal pentingnya menjalin kolaborasi lintas sektor untuk mendorong inovasi dalam mengembangkan ekonomi sirkular di Indonesia, sebagai salah satu solusi pengelolaan sampah plastiknya.

Direktur Sustainable Development Danone Indonesia, Karyanto Wibowo, menjelaskan gerakan #BijakBerplastik  Danone-Aqua ini berfokus kepada tiga komitmen untuk mengatasi permasalahan sampah plastik di Indonesia, yaitu pengembangan infrastruktur pengumpulan sampah, edukasi konsumen terkait pengelolaan sampah, dan inovasi kemasan produk.

“Sebetulnya kami telah memulai inisiatif ini sejak tahun 2010 dengan mendorong pengumpulan plastik secara inklusif, dan kini telah mampu mengumpulkan 12.000 ton botol per tahun untuk didaur ulang menjadi Recycled  polyethylene terephtalate (R-PET) yang kembali menjadi bahan kemasan botol sesuai dengan food grade dan SNI,” kata Karyanto.

Tidak tanggung-tanggung, Danone-Aqua bahkan menargetkan pada 2025 dapat mengumpulkan lebih banyak plastik daripada yang digunakan, mengedukasi 100 juta konsumen, memastikan 100 persen kemasan minuman dapat digunakan ulang untuk kompos, dan meningkatkan kandungan material daur ulang dalam botol menjadi 50 persen.

“Untuk mencapai target-target tersebut, saat ini kami telah melakukan berbagai inisiatif. Di antaranya membangun Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu (TPST) bersama Pemerintah Kabupaten Lamongan, menyusun modul pembelajaran Sampahku Tanggung Jawabku untuk anak SD dan buku cerita untuk TK, serta terus melakukan riset dan uji coba untuk inovasi kemasan yang lebih ramah lingkungan," ujarnya. (RLs/Ind/31*).

Pewarta: Danone Indonesia PR

Editor : M. Tohamaksun


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2020