Bogor, (Antaranews Bogor) - Sejumlah peneliti dari negara-negara Asia berkumpul di Kota Bogor, Jawa Barat, dalam Pertemuan Tahunan Ketiga Jejaring Kerja Riset Rendah Karbon di kawasan Asia atau Low Carbon Asia Research Network (LoCARNet), Senin.
Para peneliti bersama wakil pemerintah, swasta, dan LSM dari sejumlah perguruan tinggi di negara-negara Asia itu menggelar pertemuan selama tiga hari untuk berdialog dan mempromosikan penelitian guna mendukung pengembangan kebijakan pertumbuhan rendah karbon.
"Pelaksanaan pembangunan rendah emisi menjadi suatu keniscayaan yang perlu dilakukan oleh semua bangsa," ujar Prof Rizaldi Boer dari Pusat Pengelolaan, Peluang, dan Risiko Iklim Kawasan Asia Tenggara dan Pasifik (CCROM-SEAP) IPB.
Menurut dia, dampak buruk dari pelaksanaan pembangunan yang telah dilakukan selama ini, yakni tingginya laju emisi gas rumah kaca (GKC) sudah dirasakan semua bangsa.
Hasil telaah kelima oleh Panel Antara Pemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC) menunjukkan bahwa pemanasan global akibat naiknya konsentrasi GKC telah menyebabkan perubahan iklim dan semakin seringnya kejadian cuaca dan iklim ekstrem dengan intensitas yang semakin kuat.
"Kejadian iklim ekstrem yang menimbulkan dampak besar yang periode ulang kejadian selama ini masih jarang akan semkin sering di masa depan apabila masyarakat dunia gagal dalam menurunkan tingkat emisi," ujar Rizaldi.
Target global, katanya, diarahkan agar kenaikan suhu global tidak melebihi dua derajat celcius. Dalam laporan IPCC, kuota emisi dunia ke depan untuk dapat mencegah kenaikan suhu global tidak melewati batas 275 giga ton carbon.
Pada 2011, katanya, emisi dunia mencapai 9,9 giga ton carbon, yang artinya apabila kondisi tersebut terus berlanjut, dalam waktu 30 tahun kuota tersebut tercapai.
"Artinya risiko iklim yang dihadapi akan sangat tinggi. Kerugian yang ditimbulkan dan investasi yang harus dikeluarkan untuk mengatasi dampak dari perubahan iklim akan sangat besar dan akan mengancam keberlanjutan pembangunan," katanya.
Pertemuan Tahunan Ketiga Jejaring Kerja Riset Rendah Karbon di Kawasan Asia atau LoCARNet merupakan pertama kali diselenggarakan di luar Jepang sebagai negara yang pelopor.
Pertemuan kali ini dilaksakanan oleh IPB bekerja sama dengan IGES dan mitra kerja lainnya, yakni ITB, NIES, dan didukung Kementerian Lingkungan Hidup Jepang, Badan Perencanaan Pembangunan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia.
Hadir sejumlah pembicara, yakni Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto, Mantan Menteri Lingkungan Hidup Prof Emil Salim, perwakilan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta Deputi Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS), dan Prof Matsuoka dari Universitas Kyoto Jepang.
Wali Kota Bogor Bima Arya menyambut baik pertemuan Jejaring Kerja Riset Rendah Karbon Kawasan Asian di Kota Bogor yang bertepatan dengan dimulai gerakan satu hari tanpa kendaraan yang dicanangkannya.
"Dengan gerakan satu hari tanpa kendaraan ini menjadi salah satu upaya Pemerintah Kota Bogor mengurangi polusi udara, mengurangi kemacetan, dan menumbuhkan budaya naik angkot di masyarakat," kata Bima.
Wakil Rektor Bidang Riset dan Kerja Sama Prof Anas Mifta Fauzi menyebutkan perubahan iklim telah memberikan dampak pada sektor pertanian yang memengaruhi produksi.
Dia mengemukakan tingkat keasaman hujan di wilayah Kabupaten Bogor seperti yang dipaparkan oleh LAPAN adalah akibat dari tingginya emisi karbon dari bahan bakar kendaraan.
"Efek dari pemanasan global menyebabkan perubahan iklim ekstrem sudah berdampak pada sektor pertanian. Tingkat keasaman hujan itu berasal dari sulfur yang dikeluarkan oleh bahan bakar minyak, sulfur yang menguap menjadi sulfat yang menimbulkan keasaman pada udara," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2014
Para peneliti bersama wakil pemerintah, swasta, dan LSM dari sejumlah perguruan tinggi di negara-negara Asia itu menggelar pertemuan selama tiga hari untuk berdialog dan mempromosikan penelitian guna mendukung pengembangan kebijakan pertumbuhan rendah karbon.
"Pelaksanaan pembangunan rendah emisi menjadi suatu keniscayaan yang perlu dilakukan oleh semua bangsa," ujar Prof Rizaldi Boer dari Pusat Pengelolaan, Peluang, dan Risiko Iklim Kawasan Asia Tenggara dan Pasifik (CCROM-SEAP) IPB.
Menurut dia, dampak buruk dari pelaksanaan pembangunan yang telah dilakukan selama ini, yakni tingginya laju emisi gas rumah kaca (GKC) sudah dirasakan semua bangsa.
Hasil telaah kelima oleh Panel Antara Pemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC) menunjukkan bahwa pemanasan global akibat naiknya konsentrasi GKC telah menyebabkan perubahan iklim dan semakin seringnya kejadian cuaca dan iklim ekstrem dengan intensitas yang semakin kuat.
"Kejadian iklim ekstrem yang menimbulkan dampak besar yang periode ulang kejadian selama ini masih jarang akan semkin sering di masa depan apabila masyarakat dunia gagal dalam menurunkan tingkat emisi," ujar Rizaldi.
Target global, katanya, diarahkan agar kenaikan suhu global tidak melebihi dua derajat celcius. Dalam laporan IPCC, kuota emisi dunia ke depan untuk dapat mencegah kenaikan suhu global tidak melewati batas 275 giga ton carbon.
Pada 2011, katanya, emisi dunia mencapai 9,9 giga ton carbon, yang artinya apabila kondisi tersebut terus berlanjut, dalam waktu 30 tahun kuota tersebut tercapai.
"Artinya risiko iklim yang dihadapi akan sangat tinggi. Kerugian yang ditimbulkan dan investasi yang harus dikeluarkan untuk mengatasi dampak dari perubahan iklim akan sangat besar dan akan mengancam keberlanjutan pembangunan," katanya.
Pertemuan Tahunan Ketiga Jejaring Kerja Riset Rendah Karbon di Kawasan Asia atau LoCARNet merupakan pertama kali diselenggarakan di luar Jepang sebagai negara yang pelopor.
Pertemuan kali ini dilaksakanan oleh IPB bekerja sama dengan IGES dan mitra kerja lainnya, yakni ITB, NIES, dan didukung Kementerian Lingkungan Hidup Jepang, Badan Perencanaan Pembangunan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia.
Hadir sejumlah pembicara, yakni Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto, Mantan Menteri Lingkungan Hidup Prof Emil Salim, perwakilan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, serta Deputi Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS), dan Prof Matsuoka dari Universitas Kyoto Jepang.
Wali Kota Bogor Bima Arya menyambut baik pertemuan Jejaring Kerja Riset Rendah Karbon Kawasan Asian di Kota Bogor yang bertepatan dengan dimulai gerakan satu hari tanpa kendaraan yang dicanangkannya.
"Dengan gerakan satu hari tanpa kendaraan ini menjadi salah satu upaya Pemerintah Kota Bogor mengurangi polusi udara, mengurangi kemacetan, dan menumbuhkan budaya naik angkot di masyarakat," kata Bima.
Wakil Rektor Bidang Riset dan Kerja Sama Prof Anas Mifta Fauzi menyebutkan perubahan iklim telah memberikan dampak pada sektor pertanian yang memengaruhi produksi.
Dia mengemukakan tingkat keasaman hujan di wilayah Kabupaten Bogor seperti yang dipaparkan oleh LAPAN adalah akibat dari tingginya emisi karbon dari bahan bakar kendaraan.
"Efek dari pemanasan global menyebabkan perubahan iklim ekstrem sudah berdampak pada sektor pertanian. Tingkat keasaman hujan itu berasal dari sulfur yang dikeluarkan oleh bahan bakar minyak, sulfur yang menguap menjadi sulfat yang menimbulkan keasaman pada udara," katanya.
COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2014