Solo,  (Antaranews Bogor) - Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) telah diterima resmi 28 negara anggota Uni-Eropa sehingga produk ekspor perkayuan Indonesia yang dilengkapi dokumen "V-Legal" tidak terkena uji-tuntas (due dilligence), kata pejabat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

"Dengan SVLK (Sistem Verifikasi Legalitas Kayu) kepedulian pelaku usaha terhadap kelengkapan perizinan serta dokumentasi pencatatan bahan baku dan produk semakin baik," kata Dirjen Bina Usaha Kehutanan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Bambang Hendroyono di Solo, Jawa Tengah, Selasa.

Pada kegiatan sosialisasi kebijakan "Pengembangan Industri Kehutanan Menyongsong Implementasi Penuh SVLK 2015" yang diikuti pemangku kepentingan kehutanan, LSM, pelaku usaha se-Jawa Tengah, ia mengatakan SVLK merupakan komitmen pemerintah dalam rangka pemberantasan pembalakan liar kayu (illegal logging), perbaikan tata kelola kehutanan, serta meningkatkan martabat bangsa.

"Dan itu terbukti mendapat apresiasi internasional dan menjadi sarana perluasan pasar (tidak perlu `due dilligence`), serta meningkatkan ekspor," katanya dalam sambutan yang dibacakan Direktur Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hutan Dwi Sudharto.

Ia menjelaskan perkembangan ekspor produk industri kehutanan berdasarkan penerbitan dokumen "V-Legal" dari 1 Januari hingga 18 November 2014, yaitu sebanyak 161.310 dokumen, 173 negara tujuan (termasuk 28 negara Uni-Eropa), 42 jenis pos tarif (4 digit), 75 pelabuhan asal/muat, 1.506 pelabuhan bongkar, dengan berat bersih 16, 378 juta ton senilai 11,87 miliar dolar AS.

Nilai ekspor produk kehutanan pada data Januari-Oktober 2014 itu lebih tinggi sekitar 18 persen dibandingkan sebelum pemberlakuan SVLK pada periode sama pada 2012.

Sedangkan kemajuan penerbitan sertifikat Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) dan VLK pada unit manajemen (UM) dan hutan hak sampai saat ini, yakni PHPL pada hutan tanaman (HT) sebanyak 46 UM dengan luas 4,3 juta hektare (ha).

Untuk PHPL hutan alam (HA) sebanyak 115 UM dengan luas 9,2 juta ha, VLK pada Kesatuan Pengelola Hutan (KPH) Perhutani sebanyak 57 UM, dengan luas 2,4 juta ha, VLK pada HT sebanyak 42 UM dengan luas 1,5 juta ha, VLK pada HA sebanyak 15 UM dengan luas 1,0 juta ha, VLK pada hutan hak (HH) 93 unit dengan luas 48.665 ha, serta VLK pada industri (primer dan lanjutan) sebanyak 909 unit.

Menurut Bambang Hendroyono pelaksanaan uji-tuntas terhadap produk yang diekspor biayanya dibebankan kepada eksportir yang pada akhirnya menurunkan daya saing.

Karena itu, kata dia, dalam rangka memberikan kemudahan bagi industri kecil menengah (IKM) dan hutan hak, telah dilakukan penyederhanaan peraturan dan biaya melalui skema Deklarasi Kesesuaian Pasok (DKP), di mana saat ini perundingan keberterimaan SVLK juga sedang dilakukan dengan negara lain seperti Jepang, Korsel, Amerika Serikat, Tiongkok dan lainnya.

Karena itu, katanya, guna menuju pelaksanaan penuh SVLK pada 1 Januari 2015 kegiatan sosialisasi menjadi sangat penting dalam upaya penyebarluasan informasi terbaru, terkait dengan kebijakan SVLK dan industri kehutanan.


Dampak Positif

Pada bagian lain, Bambang Hendroyono menyatakan salah satu dampak positif dari keberhasilan SVLK adalah berhasilnya perundingan FLEGT-VPA (Forest Law Enforcement Governance and Trade-Voluntary Partnership Agreement Project) Indonesia dengan Uni-Eropa.

Dalam kaitan itu, dengan sertifikat LK (S-LK) akan otomatis menjadi "FLEGT Lisence".

Dengan disertai dokumen "FLEGT Lisence", katanya, maka saat produk kayu Indonesia diekspor ke Uni-Eropa dapat langsung diterima tanpa melalui pemeriksaan karena S-LK sudah dipercaya oleh pemerintah Uni-Eropa, yang menegaskan produk kayu yang ber-S-LK terjamin legal dari hulu sampai hilir.

Ia menambahkan rekognisi juga sudah dilakukan dengan Australia ketika disetujuinya "Country Specific Guideline for Indonesia".

Pemerintah Australia, katanya, memandang FLEGT-VPA sejalan dengan "Illegal Logging Prohibition Act" sehingga memberikan kepercayaan kepada Indonesia untuk melakukan kerja sama serupa.

Dengan penandatanganan tersebut, katanya, diharapkan produk kayu dari Indonesia yang masuk ke Australia bebas uji-tuntas sehingga memberikan insentif dan keuntungan komparatif bagi Indonesia di pasar Australia.

Sementara itu, Direktur Program MFP-3 Asep Sugih Suntana menambahkan sosialisasi itu digagas bersama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, pihaknya dan Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Tengah.

MFP adalah program kerja sama bilateral Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dengan Pemerintah Inggris.

Dalam kegiatan itu juga dihadirkan narasumber antara lain Wakil Direktur MFP3 Inggris Andy Roby yang sekaligus mewakili Wakil Dubes Uni-Eropa untuk Indonesia Colin Crooks dan "Minister Counsellor" pertanian Kedubes Australia di Indonesia Dean Merilles.

Pewarta: Andi Jauhari

Editor : Naryo


COPYRIGHT © ANTARA News Megapolitan 2014